Dokumen Aci Sanghyang Grodog

Aci Sanghyang Grodog

Sejarah panjang telah mengawali catatan awal adanya nama Nusa Lembongan Menurut Jro Mangku Ketut Leser (maestro/Guru Budaya) Sejarah panjang telah mengawali catatan awal adanya nama Nusa Lembongan. Ini tidak lepas dari sejarah besar Nusa Penida sebagai cikal bakal munculnya nama Nusa Lembongan. Berdasarkan cerita epik dan catatan Babad Nusa Penida, asal mula dari sejarah Nusa Lembongan berawal dari kisah atau legenda I Renggan yang merupakan anak dari Aji Dalem Sawang yang juga merupakan cucu dari Dukuh Jumpungan. Beliau adalah seorang undagi (arsitek) yang juga ahli di bidang kemaritiman serta sangat sakti mandraguna. Dukuh Jumpungan merupakan penjelmaan dari Dewa Siwa yang turun ke bumi bersama sakti-Nya yaitu Dewi Uma.

Dewa Siwa turun ke bumi di Puncak Mundi menjelma menjadi seorang pendeta (manusia pendeta) dengan gelar Dukuh Jumpungan, sedangkan Dewi Uma menjelma menjadi seorang perempuan bernama Ni Puri yang kemudian dalam penjelmaan keduanya menjadi sepasang suami istri. Dari penjelmaan manusia pendeta inilah lama kelamaan menjadi Nusa Penida. Dukuh Jumpungan yang dikenal sangat sakti mandraguna, dengan kekuatan adnyana (bathin), beliau menciptakan sebuah perahu besar. Mengingat pulau Nusa Penida dikelilingi lautan maka perlu armada sebuah perahu besar untuk mengarungi lautan sambil menikmati keindahannya. Maka terciptalah perahu besar yang sangat indah yang kemudian diturunkan dari Puncak Mundi dibawa kearah utara menuju laut melalui Tukad Bodong.

I Renggan yang merupakan cucu Dukuh Jumpungan memiliki bakat dan kesaktian yang sama seperti kakeknya. Karena I Renggan sangat suka melakukan tapa yoga, semua hasil karya dan kegemaran Dukuh Jumpungan diwarisi oleh I Renggan. Suatu Ketika I Renggan ingin memamerkan kekuatan perahu besar karya kakeknya, dengan menabrak apapun yang menghalanginya. Semua yang ditabrak dengan perahu besar itu kemudian hancur dan hilang tak berbekas. Kemudian munculah niatnya untuk menabrak Pulau Nusa Penida dengan mendapat restu dari kakeknya Dukuh Jumpungan. Akhirnya pulau Nusa Penida ditabrak dengan perahu besar tersebut hingga terbelah menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh loloan (payau) bernama Loloan Nusa Penida. Dan pulau yang terbelah tersebut bernama Nusa Gede dan Nusa Cenik.

Keberhasilannya ini membuat I Renggan semakin bangga dengan kesaktiannya, hingga muncul niat untuk menabrakan perahunnya menghancurkan Pulau Bali dan kearah utara membelah Gunung Agung. Mengetahui hal tersebut Ida Bhatara Hyang Tohlangkir sebagai penguasa yang berstana di Gunung Agung menjadi marah dan mengutuk I Renggan agar perahunya hanyut dan tenggelam. Maka terciptalah badai topan yang membuat I Renggan tidak mampu mengendalikan perahunya dan terombang-ambing ditengah laut, sehingga terdamparlah perahu I Renggan di Nusa Cenik. Pada bagian belakang perahu tersebut tenggelam, sedangkan layarnya terseret angin kearah barat. Kemudian badan perahu rebah menimpa Nusa Cenik yang mengakibatkan pulau tersebut terbelah menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh laut. Dari pecahan Nusa Cenik terbentuklah dua buah pulau yang kemudian bernama Nusa Ceningan terletak di bagian selatan dan Nusa Lembongan di sebelah utaranya.

Fenomena budaya adiluhung yang dimiliki Nusa Lembongan menjadi sangat menarik mulai dari kepercayaan, tarian, nyanyian, seni rupa dan musik yang biasanya berfungsi sebagai pelengkap pelaksanaan upacara keagamannya, tempat peribadatannya, hingga objek pariwisata. Yang paling menarik dan menonjol menjadikan Nusa Lembongan memiliki identitas tersendiri, salah satunya adalah kehadiran Tari Sanghyang yang berkaitan erat dengan upacara ritual. Keberadaan sanghyang pun mendapatkan posisi dan perlakuan berbeda dengan mempertimbangkan etika dan keterkaitan dengan lokasi, peruntukan serta fungsinya. Sehingga tari sanghyang diklasifikasikan sebagai tari wali (sakral untuk upacara), (Bandem, 1996:17)

Tari wali merupakan jenis tarian upacara atau tari sakral yang ditarikan pada setiap kegiatan upacara adat dan agama Hindu di Bali yang biasanya dipentaskan di area jeroan (area terdalam Pura). Salah satu contoh dari Tari wali adalah Tari Sanghyang. Tari Sanghyang merupakan tari yang identik dengan kerauhan (trance) karena dipercaya tarian tersebut kemasukan roh atau kekuatan gaib lainnya. Akan tetapi di beberapa tempat tari sanghyang tidak selalu identik dengan kerauhan. Dalam Tari Sanghyang Babad Bali, selalu ada tiga unsur penting dalam proses menarikan tari sanghyang yaitu asap/api, gending sanghyang dan medium (orang atau boneka). Penyelenggaraannya biasanya melalui tiga tahap penting yaitu pertama, nusdus yang merupakan upacara penyucian medium dengan asap atau api, kedua mesolah yaitu penari yang sudah kemasukan roh mulai menari, ketiga ngalinggihang adalah mengembalikan kesadaran medium dan melepas roh yang memasuki dirinya untuk kembali ke asalnya. Terdapat beragam jenis tari sanghyang yang hingga kini masih ada di Bali yaitu Tari Sanghyang Jaran, Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Sampat, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng, dan lain-lain. Di Kabupaten Klungkung tepatnya di daerah Nusa Lembongan terdapat tari sakral yang sangat unik dimana sangat berbeda dengan tari sanghyang di tempat lain.  Tari Sanghyang ini tidak ditarikan di area utama atau jeroan pura, melainkan di catus pata (simpang empat jalan) Desa Adat Lembongan. Tari sakral ini disebut Sanghyang Grodog.

Sanghyang Grodog merupakan tarian ritual yang unik yang hanya terdapat di Desa Adat Lembongan Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung. Walaupun tidak diketahui kapan awal munculnya tarian sakral ini, serta tidak adanya bukti-bukti tertulis atau catatan peninggalan tentang adanya Sanghyang Grodog di Desa Adat Lembongan, tetapi kenyataannya bahwa kegiatan budaya ini benar-benar ada. Tari Sanghyang Grodog ini sangat berbeda dibandingkan dengan jenis-jenis sanghyang lainnya yang ada di Bali daratan. Sanghyang Grodog yang sakral ini merupakan perpaduan sempurna antara irama gending (nyanyian, audio, suara/bunyi), rupa (wujud, bentuk, visual) dan gerak/kinetik. Pada Bali daratan, prosesi sanghyang lazimnya dilakukan oleh penari yang mengalami proses trance atau kehilangan kesadaran diri dan melakukan gerakan-gerakan tertentu sesuai dengan karakter sanghyang yang dipentaskan. Sedangkan Tari Sanghyang Grodog di Desa Adat Lembongan sama sekali tidak didasarkan pada proses kehilangan kesadaran terlebih dahulu. Semua dilakukan dengan kesadaran penuh.  Perbedaannya bukan hanya dari jumlah sanghyang yang tergolong banyak, yakni 23 sanghyang tetapi juga penggunaan roda kayu pada masing-masing simbol sanghyang. Kedua puluh tiga sanghyang tersebut disimbolkan dengan media yang dibuat menyerupai sanghyang yang akan ditampilkan, atau dalam sebutan lokal disebut dengan gegulak. Satu hal yang menjadi persamaan adalah bahwa semua tari sanghyang di Bali iringannya menggunakan media gending (nyanyian) yang dilakukan oleh penyanyi perempuan.

Media gegulak dengan roda yang terbuat dari kayu yang selanjutnya akan digerakkan diiringi dengan nyanyian atau gending sanghyang. Istilah “Grodog” muncul dari suara yang ditimbulkan ketika roda kayu tersebut digerakkan dan bersentuhan dengan tanah tempat berlangsungnya prosesi ritual. Walau tidak semua dari ke 23 jenis Tari Sanghyang di Desa Adat Lembongan menggunakan media kereta beroda kayu “grodog” sebagai tempat atau kelengkapannya. Seperti Sanghyang Penyalin, Sanghyang Tiling-tiling, Sanghyang Sampat, Sanghyang Bungbung dan lainnya.

Sanghyang Grodog merupakan ritual “pengaci desa” di Desa Adat Lembongan yang dahulunya selalu dipentaskan setiap satu tahun sekali pada sasih karo penanggal ping 7 sampai panglong ping 3. Dan kini ketika upaya rekonstruksi berhasil dilakukan, setelah sempat ditiadakan selama kurang lebih 29 tahun, Aci Sanghyang Grodog  disepakati dipentaskan setiap 2 tahun sekali. Karena harus bergantian dengan kegiatan adat yang juga berskala besar yaitu upacara Pitra Yadnya khusus pelaksanaan upacara ngaben secara massal, karena juga dilakukan pada hitungan sasih atau pada bulan yang sama. 

Bangkitnya kembali Aci Sanghyang Grodog yang diyakini oleh masyarakat Desa Adat Lembongan sebagai aci (ritual) penolak bala (bahaya), tidak dapat dilepaskan dari peran dan usaha keras yang digagas oleh  tokoh pemuda pelestari bernama I Wayan Swarbawa bersama lima orang temannya. Pemuda ini dan teman-temannya merasa terpanggil, dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, berusaha kembali menghidupkan warisan tradisi adilihung yang pernah ada. Karena menurutnya Aci Sanghyang Grodog yang memiliki nilai magis serta menjadi identitas Desa Adat Lembongan, sangat disayangkan jika punah secara perlahan. Khawatir generasi Desa Adat Lembongan tidak akan pernah lagi melihat fenomena religius tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mendata kembali semua lirik gending (nyanyian) Sanghyang Grodog yang merupakan unsur paling penting sebagai bagian kesempurnaan Sanghyang Grodog. Mengingat Sanghyang Grodog hanya bisa berjalan sempurna jika diiringi nyanyian untuk masing-masing jenis Sanghyang Grodog. Usaha yang dilakukan dengan cara menanyakan kepada tokoh-tokoh pelaku Sanghyang Grodog pada masa lalu, yang hanya tinggal beberapa orang dan usianya sudah sangat sepuh, tentu sangat sulit. Ada yang hanya ingat beberapa bait, bahkan ada yang lupa sama sekali. Tetapi dengan kegigihan upaya ini tetap dilakukan, hingga mendapatkan hasil seperti yang diinginkan. 

Akhirnya semua lirik nyanyian Sanghyang Grodog berhasil dihimpun kembali. Walaupun jumlah nyanyian pada setiap jenis Sanghyang Grodog tidak selalu sama. Ada yang hanya memiliki satu nyanyian, tetapi ada juga yang memiliki dua atau bahkan tiga nyanyian. Usaha ini cukup memakan waktu lama hingga berlangsung selama 8 tahun, sampai akhirnya berdasarkan hasil rapat sabha pinandita (pertemuan pemangku adat) di Desa Adat Lembongan, eksistensi Sanghyang Grodog dibuatkan Aci Sesolahan (ritual pementasan) pada tahun 2012 yang lalu. Saat itulah menjadi titik awal bangkitnya kembali Aci Sanghyang Grodog Desa Adat Lembongan yang hingga saat ini dipergelarkan setiap 2 tahun sekal. Pelaksaan Aci Sanghyang Grodog ini didukung oleh semua lapisan masyakarat dari anak-anak sampai orang tua. Dan juga peran serta kaum perempuan khususnya ibu-ibu di dalam menyiapkan ragam upakaranya (sesajen). Konsep bergotong-royong sangat kental dan tercermin dari peran semua lapisan masyarakat setempat.

Sanghyang Grodog sebagai warisan budaya tak benda yang hanya terdapat di Desa Adat Nusa Lembongan, memiliki nilai dan catatan panjang tentang kekuatan kearifan lokal adiluhung yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Tidak terlacak sudah berapa generasi, budaya ini masih tetap lestari dan dipertahankan oleh masyarakat pengusungnya.  Rasa bakti dan kepercayaan yang begitu kuat dari masyarakat Desa Adat Lembongan, membuat Sanghyang Grodog ini tetap lestari. Kegigihan, semangat dan ketekunan atas dasar rasa tulus eksistensi Sanghyang Grodog berhasil kembali dipulihkan sejak tanggal 25 Juli 2012, pada Sasih Karo (bulan kedua perhitungan kalender Bali) penanggal ping pitu (malam ketujuh setelah bulan mati), dimana saat itu terhitung sudah 29 tahun “tertidur” dan sama sekali tidak pernah dipergelarkan. Artinya bahwa rasa rindu dan kepercayaan yang kuatlah sebagai penyebab antusiasme tokoh masyarakat serta warga pendukungnya untuk kembali menggali dan berusaha menghidupkan kembali budaya yang pernah ada.

Sebelumnya, selama belasan hingga puluhan tahun, Sanghyang Grodog sempat hanya menjadi kenangan manis dalam ingatan masyarakat Desa Adat Lembongan. Semenjak dimulainya budidaya rumput laut pada tahun 1984 dan munculnya pariwisata di Desa Adat Lembongan, masyarakat mulai sibuk dengan aktivitas rumput laut dan pariwisata, maka Sanghyang Grodog pun perlahan-lahan mulai dilupakan. Tidak digelarnya sanghyang pada tiap tahun di sasih karo, tidak lagi dianggap sebagai suatu kealpaan, melainkan sebagai suatu kewajaran yang bisa dimaklumi (Gunawijaya, 2020). Menyiapkan prosesi sanghyang itu membutuhkan waktu dan perhatian khusus serta dengan kesungguhan hati. Kesulitan mencari bahan untuk prosesi sanghyang terutama dalam membuat gegulak membuat masyarakat terpaksa menghentikan tradisi ini. Selain itu mayoritas masyarakat Desa Adat Lembongan yang menjadi petani rumput laut disibukkan dengan aktivitas budidaya rumput laut yang cukup menyita waktu dan perhatian.

Maka untuk pertama kalinya, setelah sempat terhenti selama kurang lebih 29 tahun lamanya tradisi ini dibangkitkan kembali. Masyarakat sadar sudah menjadi kewajiban mereka untuk menjaga dan melestarikan tradisi leluhurnya. Sangat disayangkan apabila tradisi Sanghyang Grodog yang sarat akan makna ini punah. Masyarakat akan merasa sangat bersalah pada anak cucu mereka, apabila nantinya mereka benar-benar tidak pernah menyaksikan tradisi leluhur yang pernah ada. Selain itu masyarakat percaya akan spirit pemurnian yang akan muncul dengan diselenggarakannya Sanghyang Grodog.

Kesadaran inilah yang kemudian memotivasi kelompok pemangku desa yang tergabung dalam Sabha Pinandita (perkumpulan para pemangku) Desa Adat Lembongan dengan dibantu tokoh pemuda untuk membangkitkan kembali Sanghyang Grodog. Proses ini diawali dengan penggalian gending Sanghyang (nyanyian pengiring sanghyang) dan melakukan upacara guru piduka (upacara mohon petunjuk dan permohonan maaf). Kemudian dimulailah proses persiapan penggalian gending Sanghyang Grodog dan kebetulan masih ada yang mampu diingat oleh segelintir orang tua di Desa Adat Lembongan, yang dulunya pernah terlibat sebagai pengayah (pelaku) sebelumnya. 

Kenapa penggalian gending-gending Sanghyang Grodog menjadi penting, karena kekuatan dan jiwa Sanghyang Grodog ini terletak pada gending sebagai iringan. Nyanyian dengan lirik sarat makna serta dinyanyikan oleh para ibu-ibu di Desa Adat Lembongan akan memberikan nuansa magis yang luar biasa. Upaya itupun berhasil hingga terwujudnya pelaksanaan ritual Aci Sanghyang Grodog di Desa Adat Lembongan pada tahun 2022, diselenggarakan selama 11 hari mulai tanggal 4 Agustus 2022 sampai upacara peluar (menstanakan kekuatan roh ke asalnya) pada tanggal 15 Agustus 2022, yang menandai berakhirnya prosesi Aci (ritual) Sanghyang Grodog  di Desa Adat Lembongan.

Sanghyang Grodog merupakan “ritual pengaci desa” yang hanya dipentaskan setiap dua tahun sekali pada Sasih Karo (bulan kedua perhitungan kalender Bali), oleh masyarakat Desa Adat Lembongan dengan penuh kesadaran atas dasar kepercayaan, sebagai upaya untuk memohon keselamatan seluruh warga desa. Kegiatan ini melalui proses yang cukup lama mulai dari persiapan pengumpulan bahan-bahan sampai dengan pembuatan uparengga (perlengkapan upacara), pembuatan upakara (sesajen), persiapan tempat dilaksanakannya pergelaran ritual Aci Sanghyang Grodog, yang dalam hal ini harus dilaksanakan di catus pata (perempatan jalan) Desa Adat Lembongan. Semua tahapan kegiatan ini tidak boleh dilakukan disembarang waktu, karena masing-masing kegiatan harus melalui  pemilihan dewasa ayu (hari baik).

Semua kegiatan ini sudah menjadi bagian dari rencana besar masyarakat Desa Adat Lembongan, sehingga dalam penentuan semua proses kegiatan terlebih dahulu dilakukan paruman (rapat desa) yang melibatkan seluruh tokoh, sesepuh dan masyarakat setempat yang terdiri dari beberapa warga banjar. Hasil dari paruman inilah yang menjadi dasar dilaksanakan kegiatan ini, dimana seluruh kegiatan dibagi dan dikerjakan oleh masing-masing warga banjar sesuai dengan pembagiannya.

Sebagai ciri khas kerja bersama-sama di Bali khususnya di Desa Adat Lembongan, seluruh warga desa akan terlibat mensukseskan rencana pelaksanaan ritual ini. Kaum perempuan terlibat dalam pembuatan sesajen, sedangkan kaum prianya akan lebih banyak menyiapkan perlengkapan dan pengerjaan simbol-simbol dari 23 jenis Sanghyang Grodog. Sedangkan tugas khusus yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan melalui upacara tertentu hanya boleh dilakukan oleh seorang pinandita (pemimpin upacara) sebagai perantaranya. Kerjasama semua komponen inilah yang menjadi kekuatan Desa Adat Lembongan secara bahu membahu mengerjakan tugas sesuai dengan swadharma (kewajiban) masing-masing.

Untuk pelaksanaan ritual Aci Sanghyang Grodog di Desa Adat Lembongan di tahun 2022 yang dimulai pada tanggal 4 Agustus 2022 sampai dengan 15 Agustus 2022, jauh hari sebelumnya sudah dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai persiapan yang semuanya didasarkan pada hari baik.

Mengawali proses pelaksanaan ritual Aci Sanghyang Grodog, terlebih dahulu akan dilakukan upacara mapiuning (pemberitahuan) yang dipimpin oleh seorang Jro Mangku (pemimpin upcara) dengan sarana sesaji berupa “banten pejati” dan sesajen lainnya, sebagai makna menyampaikan niat tulus sebuah persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar kegiatan yang akan dilaksanakan mendapatkan restu serta dilancarkan. Upacara mapiuning ini dilakukan di Pura Puseh dan Catur Buana atau Catus Pata yang dipercaya sebagai titik nol dimana akan digelarnya ritual Sanghyang Grodog tersebut. Pelaksanaan upacara yang bersifat mengawali ini biasanya dilakukan satu minggu sebelumnya tergantung hari baik. 

Upacara lain yang masih berkaitan dengan fase persiapan adalah bendu piduka atau guru piduka yang memiliki makna permohonan maaf dan permakluman kepada Hyang Maha Kuasa jika dalam pelaksanaannya nanti ada yang tidak berkenan. Inilah yang menunjukkan bahwa masyarakat Desa Adat Lembongan begitu santun dan kuat kepercayaannya akan hal-hal tentang kuasa Tuhan. Sehingga etika-etika dalam bentuk pelaksanaan upacara wajib untuk dilakukan untuk memohonkan keselamatan semesta. Kemudian masih ada satu jenis tahapan upacara yang wajib dilakukan pada satu hari yang sama sebagai tahapan persiapan tersebut yakni upacara nyukat genah (upacara mengukur area atau tempat) dan nanceb tetaring (bangunan seperti tenda) dimana akan dilaksanakannya pergelaran Aci Sanghyang Grodog itu. Dalam upacara ini akan dilakukan pengukuran dan pembagian tempat di area catus pata dengan prasarana upacara tertentu sesuai dengan konsep asta bumi dan asta kosala kosali,. Tujuannya adalah untuk menentukan dimana letak area untuk kebutuhan ritual, tempat juru gending, area penonton dan lainnya. Walaupun secara kasat mata tidak terdapat adanya pembatas. Ini dilakukan dengan media sesajen yang dipimpin oleh Jro Mangku Pura Dalem.

Pada hari berikutnya berdasarkan hari baik seluruh panitia bersama Sabha Pinandita (perkumpulan jro mangku) melakukan upacara pemelaspas (penyucian), pasupati uparengga (mohon kekuatan magis) agar benda-benda yang dikeramatkan menjadi hidup dan seolah berjiwa serta nuur tirta (mohon air suci) yang dipimpin oleh Jro Mangku Prajapati (pemimpin upacara khusus di pura yang terletak di kuburan) Desa Adat Lembongan. Rangkaian upacara yang biasanya dimulai pada pagi hari pukul 07.30 wita ini juga diikuti oleh seluruh warga untuk melakukan persembahyangan bersama. Setelah seluruh tahapan upacara ini selesai dilaksanakan, maka seluruh masyarakat akan ngeneng (hening, beristirahat) sambil menunggu hari utama yang pertama dilaksanakannya ritual Aci Sanghyang Grodog.

Kemudian pada malam hari sekitar pukul 20.00 wita, tepat pada Sasih Karo Penanggal Ping Pitu, yang jatuh pada hari Kamis tanggal 4 Agustus 2022 merupakan malam pertama pelaksanaan Aci Sanghyang Grodog. Pada kesempatan inilah seluruh masyarakat dengan penuh antusias tumpah ruah hadir di area upacara, dari anak-anak sampai orang tua untuk bisa menyaksikan betapa agung dan magisnya Aci Sanghyang Grodog yang ada di Desa Adat Lembongan.

Di awali dengan Stiti Mungkah Aci Sanghyang (upacara pembukaan), kemudian juru gending (penyanyi) sebagai iringan pokok Sanghyang Grodog yang didominasi oleh kaum ibu-ibu duduk berjejer ditempat yang sudah ditentukan. Kemudian lantunan dan kumandang nyanyian iringan Sanghyang Grodog sayup-sayup mulai terdengar, yang membuat suasana di area pementasan semakin terasa aura magisnya. Sementara piranti Sanghyang Grodog berupa Sanghyang Sampat (sapu lidi) distanakan disebuah pelinggih (tempat suci) yang posisinya persis dibawah pohon beringin besar di tengah-tengah catus pata. Menunggu proses upacara sudah siap, dan atas perintah jro mangku yang memimpin upacara saat itu, maka Sanghyang Sampat mulai dituur (diturunkan) untuk mengkuti ritual. Sementara nyanyian iringan khusus untuk Sanghyang Sampat terus dikumandangkan.

  1. Sanghyang Sanghyang  Sampat   Sampat

Diling diling Petak Petak

Oodak Oodak sumar Sumar ganda ganda

Merik merik sumirik

Oye eyo oya ayo

Oye eyo oya ayo

Oye eyo oya ayo

Oodak oodak lembar lembar

Cendanane burat burat wangi

Oye eyo oya ayo

Oye eyo oya ayo

Oye eyo oya ayo

2. Sanghyang Sanghyang sampat sampat

 

Menyambehin baas acatu

Tarik saling tarik tarik saling tarik

Oye eyo oya ayo

Oye eyo oya ayo

Oye eyo oya ayo

Lirik lagu di atas akan terus dinyanyikan berulang-ulang sampai piranti Sanghyang Sampat ditempatkan kembali di pelinggih yang berada di bawah pohon beringin. Itu artinya satu tahap di hari pertama hanya dipergelarkan Aci Sanghyang Sampat sudah berakhir.

Hanya terdapat satu ritual di hari pertama berupa Aci Sanghyang Sampat, semua itu tidak lepas dari makna yang tersirat didalamnya. Secara sekala, Sanghyang Sampat merupakan alat pembersihan. Makna jauh kedalam dari ini, bagaimana kita membersihkan diri sendiri mulai dari pikiran, perkataan, dan perbuatan. Adapun makna secara niskala, mengingat yang dipuja adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang maha suci, maka hendaknya sarana pemujaan yang digunakan dalam keadaan suci atau bersih. Segala sesuatu mesti dibersihkan dengan tujuan meningkatkan atau menjaga nilai kegunaannya. Sebab secara fungsional sesolahan (pertunjukan) Sanghyang Grodog ini adalah untuk menyucikan Bhuana Alit (mikrokosmos) dan Bhuwana Agung atau makrokosmos (Gunawijaya, 2020). Berdasarkan atas hal tersebut, dalam mengawali Sanghyang Grodog ini selalui dilakukan proses penyucian. Dengan adanya prosesi penyucian ini, maka diyakini Sanghyang Grodog memiliki nilai-nilai kesucian dan mampu menyucikan alam semesta beserta isinya.

Pada hari kedua, Jumat tanggal 5 Agustus 2022 dilakukan 3 (tiga) ritual Sanghyang Grodog secara bergantian yaitu Sanghyang Lingga, Sanghyang Bumbung dan Sanghyang Penyalin. Prosesnya hampir sama dengan hari sebelumnya, selalu diawali dengan penyucian, nuur dan seterusnya. Yang membedakan hanyalah piranti wujud dari masing-masing sanghyang itu saja berbeda. Serta nyanyian yang berfungsi sebagai musik iringan juga memiliki lirik dan makna tersendiri.

Begitu juga ritual yang dilakukan pada hari berikutnya selalu diisi dengan Sanghyang Grodog dalam wujud yang berbeda-beda. Seperti Sanghyang Joged, Sanghyang Bumbung dan Sanghyang Penyalin akan digelar pada hari ketiga. Antusiasme dan semangat warga Desa Adat Lembongan tidak surut sedikitpun sampai semua perwujudan Sanghyang Grodog tuntas digelar dalam sebuah ritual sampai pada hari kesebelas.

Dengan demikian ke 23 perwujudan Sanghyang Grodog lainnya akan mengisi hari-hari pelaksanaan ritual berikutnya secara bergantian seperti: Sanghyang Dukuh Ngabe Cicing, Sanghyang Jaran, Sanghyang Penyalin pada hari keempat. Selanjutnya Sanghyang Dukuh Masang Bubu, Sanghyang Sampi, Sanghyang Penyalin, pada hari kelima. Hari Keenam akan dilakukan ritual Sanghyang Bangu-bangu, Sanghyang Kebo, Sanghyang Penyalin hingga jenis Sanghyang lainnya sampai pada acara terakhir yang disebut Peluar (Upacara pengembalian roh ke alamnya masing-masing). 

Secara rinci tata urutan pelaksanaan Aci Sanghyang Grodog Desa Adat Lembongan tergambar pada tabel jadwal dibawah ini, yang menjadi dasar pelaksanaan pada setiap tahunnya secara konsisten.

Pada umumnya kehidupan masyarakat Bali ditandai oleh kepercayaan yang terdapat dalam Agama Hindu yang dianutnya. Agama Hindu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat dan kebudayaan Bali pada hakikatnya sarat dengan nilai-nilai hakiki yang mendominasinya. Nilai-nilai tersebut pada intinya terkonsentrasi pada tiga kerangka dasar pedoman dalam ajaran Hindu yang meliputi: (1) tatwa (filsafat agama); (2) susila (kesusilaan agama); (3) upacara (ritual).

Menurut Bendesa Adat Lembongan “I Komang Erawan” Berkaitan dengan Sanghyang Grodog di Desa Adat Lembongan, atas dasar kepercayaan yang kuat masyarakat setempat yang sudah diwarisi sejak dulu, Sanghyang Grodog memiliki beberapa fungsi. Salah satunya adalah sebagai ritual penolak bala, yaitu ritual untuk menghalau segala bentuk penyakit yang menimpa desa setempat. Hal ini disebabkan karena konon dahulu di Desa Adat Lembongan pernah terjangkit grubug (wabah penyakit) yang menyerang semua hewan peliharaan warga. Dengan digelarnya ritual Sanghyang Grodog ini kemudian wabah penyakit hewan tersebut perlahan hilang dan tidak pernah terjadi lagi.

Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, akan hal-hal yang bersifat religius sangatlah tinggi. Ajaran Hindu juga menyiratkan akan pentingnya manusia Bali selalu menjaga keseimbangan semesta. Oleh karenanya segala hal yang patut dilakukan termasuk yang diluar kuasa manusia itu sendiri. Dengan demikian jalan satu-satunya bisa dilakukan adalah berserah kepada kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa melalui upacara dan ritual yang sarat dengan permohonan berdasarkan ketulusan hati dan srada (kepercayaan) yang kuat. Ketika sudah masuk ke dalam fase ini maka unsur pendukung yang selalu lekat menyertai adalah upacara yang tentunya disempurnakan oleh upakara (sesajen).

Karena sejatinya unsur sesajen sebagai sarana pendukung sebuah upacara tidak terlepas dari faktor kesusilaan yang menyangkut etika sebagai pemuliaan kepada yang dipercaya. Mengingat juga bahwa Agama Hindu sangat identik dengan niyasa (simbol). Simbol-simbol yang digunakan oleh masyarakat Hindu atas kesadaran tidak mampu merengkuh kuasa Tuhan, dengan dengan simbol-simbol tersebutlah secara perasaan diyakini bisa mendekatkan diri dengan Tuhan dan semesta alam. Tidak saja mantra sebagai pengantar komunikasi dengan Tuhan, akan tetapi simbol benda dalam bentuk sesajen juga dianggap bagian dari mantra itu sendiri. Itulah sebabnya ketika berbicara mengenai dimensi berbeda tentang kehidupan manusia dan alamnya, masyarakat Bali selalu berpegang pada prinsip kepercayaan yang tinggi yaitu Kembali berserah kepadaNya.

Dari keyakinan itulah menurut penuturan salah satu tokoh masyarakat Desa Adat Lembongan, digelarnya ritual Aci Sang Hyang Grodog juga berfungsi sebagai sarana memohon hujan. Dimana ketika Desa Adat Lembongan pernah terlalu lama mengalami kekeringan sehingga menyebabkan paceklik, maka Sanghyang Grodog dipercaya sebagai sarana memohon turunnya hujan. Hal ini sudah terbukti sehingga membuat masyarakat semakin percaya akan keberadaan Sanghyang Grodog memiliki kekuatan magis yang luar biasa.

Konsep “Nyomia” dalam ajaran Hindu hampir dilakukan pada beberapa bentuk upacara yang berkaitan dengan proses keseimbangan semesta. Misalnya dalam pelaksanaan upacara caru untuk penyucian Panca Maha Bhuta yaitu lima unsur yang membentuk semesta seperti: pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (udara), akasa (ruang angkasa). Dalam konteks ritual Sanghyang Grodog juga terkandung fungsi “nyomia” sebagai bentuk netralisir terhadap kekuatan roh jahat untuk dimuliakan menjadi roh yang bersifat baik, sehingga mampu menjaga kedamaian dan ketentraman desa.

Media sesajen dan mantra yang digunakan sebagai penyempurna ritual Sanghyang Grodog ini bersifat membangun dan bukan melenyapkan. Karena “Nyomia” tidak dimaksudkan untuk membunuh atau melenyapkan bhuta kala, akan tetapi mengubah sifat-sifat bhuta kala dari semula bersifat buruk menjadi lebih baik. Inilah sejatinya konsep keseimbangan yang selalu menjadi tradisi turun termurun dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat di Desa Adat Lembongan dengan harapan keadaan desa setempat menjadi lebih tenang dan damai dari dimensi sekala (kasat mata) dan niskala (tidak kasat mata).

Faktor sosiologis merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan ritual Sanghyang Grodog di Desa Adat Lembongan. Karena dalam konteks ini ada usaha yang terbangun secara alami tentang kehidupan bersama-sama membangun masyarakat melalui gotong-royong, sehingga tersimpul kekerabatan masyarakat yang rukun, damai dan sejahtera. Sanghyang Grodog yang dipentaskan saat upacara suci mengakibatkan masyarakat lebih meyakini dan memahami makna pementasan itu yaitu mengenai pentingnya mempertahankan kerukunan antara sesama sebagai bentuk bhakti kepada leluhur terdahulu yang sudah memberikan tempat tinggal dan wilayah agar terus dirawat dan dijaga dengan baik.

Sanghyang Grodog dilaksanakan selama 11 hari mulai pada malam pertama diawali dengan sesolahan Sanghyang Sampat yang menyimbolkan pembersihan dan kesucian untuk melaksanakan rentetan seluruh ritual hingga berakhir di malam kesebelas. Pemilihan waktu pelaksanaan sanghyang yang dilakukan pada Sasih Karo, diyakini pula dipilih dengan perhitungan yang cermat. Purnama Sasih Karo dianggap sebagai purnama yang paling terang dibandingkan dengan purnama-purnama pada sasih atau bulan lainnya.