Aksara Bali
Aksara Bali merupakan sistem tanda-tanda grafis yang digunakan oleh masyarakat Bali untuk berkomunikasi secara tertulis, dan sedikitnya mewakili ujaran (bdk,Ratna, 2005: 132). Aksara Bali digunakan untuk menuliskan bahasa Bali serta mencatatkan perkembangan peradaban dan aneka temuan pengetahuan di zamannya sehingga kearifan-kearifan tersebut dapat terwarisi dari masa ke masa. Secara etimologis aksara berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata a 'tidak' dan ksara 'termusnahkan'. Jadi aksara adalah sesuatu yang tidak termusnahkan atau kekal (langgeng), selain pada umumnya disebut sebagai kata, suku kata, dan huruf. Dikatakan sebagai sesuatu yang kekal atau tidak termusnahkan dikarenakan peranan aksara dalam mendokumentasikan danmengabadikan aktivitas komunikasi sehingga dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam bahasa Inggris dikenal dua istilah sebagai padanan kata aksara yaitu script dan letter. Kedua istilah ini berasal dari bahasa Latin yaitu :sriptum yang berarti 'tulisan' dan letter yang berarti 'alfabet'. Kedua pengertian tersebut secara teoretis mewakili ujaran (Ratna, 2005: 132).
Dalam pandangan internal masyarakat Bali, kata aksara yang berarti 'tulisan' ini juga diidentikkan dengan kata sastra. Menurut Bagus (1988:6) kata aksara/huruf dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Bali baku dengan dua kata yaitu aksara dan sastra. Kata sastra yang berasal dari bahasa Sanskerta semula bermakna 'perintah' atau 'peraturan'. Kemudian berkembang menjadi 'kitab yang memuat peraturan, kitab agama sastra, dan kitab hukum'. Selanjutnya sesuai dengan perkembangan zaman, kata sastra berarti pula 'kitab pelajaran dan ilmu pengetahuan itu sendiri'. Di Bali kata sastra juga bermakna 'tulisan atau aksara Bali'. Aksara Bali akan bermakna penuh setelah dirangkai menjadi kata, kalimat, hingga wacana. Maka dari itu, kehadiran tata cara serta aturan-aturan dalam penulisannya yang disebut dengan 'ejaan' penting untuk diketahui. Ejaan yang digunakan untuk mengatur tata cara penulisan aksara Bali disebut dengan Pasang aksara Bali. Pasang aksara Bali secara leksikal berasal dari kata pasang 'pasang, kenakan, tempatkan', aksara Bali 'huruf Bali' (Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali, 2008:513). Jadi, pasang aksara Bali adalah aturan-aturan dalam menempatkan huruf-huruf Bali sesuai dengan kaidah-kaidah yang disepakati. Bersandar pada pasang aksara Bali inilah berbagai sistem pemikiran, pengalaman, dan temuan-temuan penting para leluhur diguratkan melalui aksara.
Sejarah Aksara Bali
Sejarah munculnya aksara Bali tidak dapat diketahui dengan pasti, aksara diciptakanoleh manusia seiring dengan perkembangan kebudayaan dan peradabannya (cultural and civilitations). Bukti-bukti serta penemuan arkeologis menjadi tumpuan utama untuk mengetahui eksistensi aksara-aksara di dunia, selain berbagai mitos yang berkembang di masyarakat. Bukti arkeologis merupakan wahana untuk melacak eksistensi aksara melalui peninggalan masa lampau yang berupa prasasti-prarasti baik yang ditatah di atas batu, tembaga, maupun yang tersurat dalam lontar. Sementara itu, melalui mitos dapat diketahui pola pikir (mindset) suatu masyarakat dalam memahami realitas.
Di Indonesia sendiri khususnya di Bali juga memiliki mitologi yaitu Aji Saka. Mitos yang bercerita mengenai heroisme Aji Saka melawan Prabhu Dewata Cengkar ini diyakini oleh masyarakat sebagai cikal bakal aksara Jawa dan Bali. Duija (2008: 56-58) mengatakan cerita Aji Saka sebagai sebuah penanda dimulainya tonggak masa keberaksaraan masyarakat Jawa dan Bali. Cerita kedatangan Prabhu Aji Saka ke tanah Jawa merupakan representasi bentuk pengaruh budaya India, dengan tradisi tulisnya untuk membuka babak baru bagi penduduk tanah Jawa dan Bali. Disinilah penduduk Jawa dan Bali mulai membuka lembaran baru zaman keberaksaraan dan berangsur-angsur berubah dari pemikiran primitif. Meskipun pengaruh budaya tersebut sesungguhnya sudah lama terjadi, akan tetapi mungkin dengan tujuan yang
berbeda.
Di Bali sendiri ada sumber yang berjudul Prama Tatwa Suksma (Rawi, 1958: 16-20) yang juga menguraikan asal mula filosofi aksara Bali dalam kaitannya dengan proses pembebasan. Menurut sumber tersebut, aksara Bali berasal dari hasil tapa, brata, yoga dan samadhi Sang Hyang Eka Jala Resi. Dari tapa tersebut kemudian lahirlah dua bersaudara yaitu Sang Hyang Katu dan Sang Hyang Rawu. Sang Hyang Rawu menciptakan Kala-Kali dan Buta Dengen. Sementara itu, Sang Hyang Katu menciptakan Dewa-Dewi yang utama, dan juga aksara Bali yang di antaranya aksara wreastra, swalalita, dan modre. Menurut Granoka (1998:5) cerita ini memberikan gambaran betapa pentingnya peranan aksara Bali dalam peningkatan kualitas hidup; baik spiritualitas dan intelektualitas, dalam rentangan waktu yang teramat panjang. Manusia dalam perjalanannya menuju Tuhan, berada di persimpangan jalan, pembebasan atau ketergantungan.
Perkembangan munculnya aksara di Bali erat berkaitan dengan masuknya aksara Dewanegari dan aksara Pallawa dari India melalui kegiatan perdagangan, politik serta melalui bidang agama dan kebudayaan. Pengaruh kedua aksara ini sejalan dengan perkembangan agama Hindu dan Budha di Nusantara. Menurut Poerbatjaraka (dalam Suasta, 2002: 8), aksara Dewanegari dan Pallawa di Indonesia tidak sepenuhnya diadopsi. Melainkan dibentuk kembali sesuai dengan rasa pekerti masyarakat nusantara pada saat itu. Proses penyebaran agama Hindhu dan Buddha yang cukup pesat di nusantara juga menjadi indikator penyebab semakin meluasnya spektrum dan ruang lingkup pemakaian aksara ini di daerah-daerah. Berkembangnya kerajaan-kerajaan ini turut memberikan iklim yang baik bagi perkembangan aksara Dewanegari dan Pallawa yang sudah ditransformasikan ke dalam bentuk yang baru tersebut, sehingga di Indonesia sendiri muncul aksara Nusantara Kuno atau Kawi. Berdasarkan peninggalan yang ditemukan, aksara tertua yang ditemukan di pulau Bali berasal dari abad ke VIII, yaitu berupa aksara Pranegari atau Siddhamatrka yang digunakan menuliskan Ye Te mantra agama Buddha (Buddha Tataghata). Mantra-mantra itu menggunakan bahasa Sanskerta dan dicapkan pada tablet-tablet tanah liat, yang isinya mengenai hukum karma pala dan cara menghapusnya. Penemuan tersebut tepatnya di Pura Penataran Sasih, Pejeng Gianyar. Selain itu, aksara yang sama juga ditemukan di pura Blanjong Sanur, Denpasar yang berangka tahun 914 Masehi (835 Saka) berupa tugu peringatan Kerajaan Sri Kesari Warmadewa. Tugu batu ini sebagian ditulis mempergunakan aksara Dewanegari dengan bahasa Bali Kuna. Sementara itu, sebagian lagi ditulis mempergunakan aksara Bali dengan bahasa Sanskerta.
Menurut Ginarsa (dalam Tinggen 1996: 5) selanjutnya aksara Siddhamatrka (pra Dewanegari) ini tidak berkembang lagi. Yang berkembang hanya aksara Bali yang berasal dari gubahan-gubahan aksara Pallawa seperti yang terdapat di Pura Sakenan, Manukaya, Gianyar. Tugu ini menguraikan menguraikan tentang pembuatan sebuah kolam yang kini bernama Tirta Empul di Tampaksiring. Kolam ini dibangun pada bulan purnama tanggal 7 Oktober 960 oleh raja Sri Indrajaya Singha Warmadewa (Suasta, 2002: 10; Ginarsa, 1980: 4). Kata perkembangan yang dimaksud bukanlah perkembangan aksara Pallawa secara murni, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari aksara yang juga berkembang pada saat itu yaitu aksara Dewanegari. Buktinya ditemukan di Pura Kehen (Bangli), di Pura Bale Agung Sembiran (Singaraja), dan di daerah Srokadan.
Penyebutan pada kedua tempat terakhir dapat disimpulkan sebagai aksara Pallawa Muda. Hal ini membuktikan bahwa pada masa Bali Kuna seperti yang terdapat dalam prasasti-prasasti, belumlah mempergunakan aksara Bali yang diwarisi sekarang ini, namun diidentifikasi sebagai aksara Pallawa Muda. Dari aksara Pallawa Muda ini kemudian berubah menjadi huruf persegi empat pra-Kediri. Setelah itu, barulah menjadi aksara Bali yang di warisi sampai saat ini oleh masyarakat Bali. Bentuk aksara Bali yang bulat atau di Bali sering disebut ngewindu 'bulat', ngetumbah 'bulat menyerupai ketumbar', mematan titiran (bulatnya menyerupai mata burung titiran) merupakan bukti nyata pengaruh aksara Pallawa. Disamping juga pengaruh aksara Dewanegari yang terbukti dari bentuk aksara a kara dan sa sapa. Tetapi semuanya tidak diserap begitu saja tetapi diubah sesuai dengan karakter dan estetika masyarakat Bali.
Klasifikasi Aksara Bali
Aksara disebut sebagai wahana yang dapat mengabadikan tidak hanya pikiran dan perasaan penulisnya, akan tetapi di dalamnya sekaligus terkandung nilai-nilai dan kebijakan-kebijakan.
a. Aksara Bali Berdasarkan Fungsi: Sinkritisasi Inskripsi dan Mistis
Aksara Bali menjadi multi fungsional, tidak hanya alat untuk menuliskan pikiran,perasaan, cerita-cerita rakyat, perjanjian, dan susastra. Akan tetapi juga menjadi lambang-lambang atau niasa kekuatan para dewa, status, senjata, organ tubuh manusia, cara menyembuhkan penyakit dan yang lainnya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan aksara yang disebut makuta mandita ini bukan hanya berfungsi sebagai media komunikasi tulis biasa, maka dengan sendirinya ia disebut pula sebagai aksara suci dan sakti karena diyakini dapat mengantarkan kekuatan gaib dan spiritual.
Simpen misalnya (1979) membedakan aksara Bali berdasarkan fungsinya menjadi tiga yaitu (1) wreastra; (2) swalalita; (3) modre. Untuk selanjutnya, Bagus (1980: 9), secara jelas memasukkan aksara wreastra dan swalalita ke dalam aksara biasa. Serta aksara modre dan wijaksara ke dalam aksara suci. Disebut sebagai 'aksara biasa' karena berfungsi untuk menuliskan masalah-masalah yang berkaitan dengan keseharian masyarakat Bali seperti di antaranya menulis urak, pipil, dan yang lainnya. Sementara itu, dikatakan 'aksara suci' disebabkan karena lebih banyak difungsikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan bidang keagamaan. Bagi masyarakat Bali, aksara ini diyakini mempunyai kekuatan gaib atau religius untuk menyucikan atau membersihkan sesuatu. Aksara suci pada umumnya difungsikan sebagai sarana dalam upacara agama atau dalam pengobatan (Nala, 2005: 27).
(1) Aksara wresastra ini dipergunakan untuk menulis bidang kesusastraan, perjanjian (pasobaya), ilmu dan lain-lain (Bagus, 1980: 9). Adapula yang menyebut aksara wresastra ini dengan sebutan aksara hanacaraka karena memang di awali oleh aksara h, n, c, r, k , g, t, m, \, b, s, w, l , p, d, j, y , Zÿ, . Di sisi lain, ada juga yang menyebutnya dengan sebutan aksara wresastra astapuluh karena memang pada dasarnya aksara ini terdiri dari delapan belas huruf.
(2) Aksara yang tergolong swalalita terdiri dari aksara hanacaraka ditambah aksara maha prana, dan aksara suara. Berdasarkan pengamatan pada jenis-jenis bentuk aksara Bali yang terdapat pada pustaka-pustaka tersebut ternyata yang termasuk ke dalam aksara swalalita adalah. Á, õ, ÷, ÷o, ú, úo, 6, ü, O, Oo, 2, 2o, Ï, Ïo, k, g, f, \, c, ôôôôÈ, j, ü , Zÿ, `, ~ÿ, y, x, t, q, d, Œ, n, p, |, b, v, m, w, y, r, l, ò, Ï, ], [,s, h, (Mertha, 1993: 23). Jumlah aksara swalalita ini berjumlah 47 buah (warnastu sapta catur yah) yang terdiri atas 33 konsonan (wyanjanakam tri tring sati) dan 14 vokal (swarcami catur daçah).
Aksara swalalita ini dapat dibagi menjadi dua yaitu aksara suara swalalita (vokal) dan aksara wianjana swalalita (konsonan). Aksara suara swalalita dapat di bagi lagi menjadi dua yaitu aksara suara hreswa (hembusan nafas pendek) dan dirgha (hembusan nafas panjang). Sementara itu, aksara wianjana swalalita berdasarkan daerah atau titik artikulasinya dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu kanthya, talawia, murdania, danthya, dan ostia. Sementara itu, dilihat dari aksaranya terbagi menjadi enam aksara yaitu alpa prana (hembusan nafas kecil), maha prana (hembusan nafas besar), anusuara (suara sengau), arddha suara (semi vokal), usma (desis), dan wisarga (bunyi h). Aksara swalalita seperti yang telah dijelaskan di atas banyak ditemukan penggunaannya dalam karya sastra. Mulai dari kekawin, parwa, kidung, tutur, wariga, usadha, dan sebagainya.
(3) Aksara wijaksara/bijaksara secara etimologis berasal dari kata wija/bija (Sanskerta) yang artinya 'benih atau suku kata mistik yang merupakan bagian esensial mantra' dan aksara yang artinya 'huruf, suku kata; suku kata suci' (Zoetmulder dan Robson, 1982:1432). Jadi, aksara wijaksara adalah bagian dari aksara suci/suku kata suci yang merupakan bagian esensial mantra. Aksara wijaksara ̧ dalam realisasinya terdiri dari aksara wresastra dan swalalita yang ditambahkan aksara amsa atau ulu candra, kecuali aksara (ah). Aksara wijaksara terdiri dari ekaksara (ý ), dwi aksara (ö Á ;3⁄4 ), tri aksara (öû 1⁄2 ), pancaksara ( n, m, ]i, w, y, ), panca Brahma (s, b, t, Á, ÷, ),
dasaksara (s, b, t, Á, ÷, n, m, ]i, w, y, ), catur dasaksara (ý, öû1⁄2, so,b ̧,t,oö,÷,no, 1⁄2, ]i , wo, yo, ) dan sad dasaksara (ý , ö Á ;3⁄4 , öû 1⁄2 , so ,b, ̧t,oö,÷,no, 1⁄2, ]i , wo, yo,).
(4) Aksara modre merupakan puncak aksara Bali yang sering dipergunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan aspek keagamaan, spiritual, dan mistik. Aksara modre ini lebih berfungsi sebagai lambang, simbol atau niasa dibandingkan penggunaannya sebagai alatkomunikasi literal (Nala, 2005: 28). Ada beberapa lontar yang mendeskripsikan cara pembacaan aksara modre seperti tutur Krakah, Krakah Modre, Krakah Durdhakah, dan Krakah Modre Aji Griguh. Aksara modre adalah aksara yang penuh rahasia, karena berhubungan dengan kedyatmikan (wawancara majalah Taksu edisi Oktober; 2011). Oleh karena aksara modre berhubungan dengan kedyatmikan maka dalam berbagai sumber sastra sering dijumpai dalam bentuk rerajahan. Aksara modre dapat ditemui dalam sarana upakara yadnya mulai dari manusa yadnya hingga pitra yadnya.
b. Klasifikasi Aksara Bali Berdasarkan Pengucapan
Berdasarkan pengucapannya aksara Bali dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu aksara suara (vokal) dan aksara wianjana (konsonan) (Mertha, 1993: 25). Aksara suara adalah aksara yang berfungsi untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa pada saat pembentukannya tidak mengalami atau sedikit mengalami hambatan. Berdasarkan gerakan yang terjadi pada daerah tempat bunyi dibentuk, maka aksara suara dapat dikelompokkan menjadi lima warga yaitu warga kantia, talawia, murdania, dantia, dan ostia.
Aksara Suara Warga Aksara Nama Tulisan Latin
Á Kantia (guttural) a - kara a
÷ Talawia (serebral) i - kara i
ú Ostia (bilabial) u - kara u
6 Kantia-talawia
(guttural-serebral)
e - kara e
ü Kantia-talawia
(guttural-serebral)
ja - jera ai
O Kantia-ostia
(guttural-palatal)
o - kara o
Aksara wianjana (konsonan) berdasarkan tempat halangan yang terjadi dapat
dikelompokkan menjadi lima warga yaitu, (1) kantia/guttural; (2) talawia/palatal; (3)
murdania/serebral; (4) dantia/dental; (5) ostia/bilabial.
No Aksara/
Warga
Alpa
Prana
Maha
Prana
Alpa
Prana
Maha
Prana
Anu
Suara
Arda
Swara Usma Wisarga
1 Kantia k 1⁄4 g f \ - - h
2 Talawia c .....È
j ü Zÿ y ́ -
3 Murdania ` ~ÿ Œ Œ x r 3 -
4 Dantia t q d Œ n l s -
5 Ostia p | b v m w - -
Warga aksara kantia adalah warga aksara yang melambangkan bunyi-bunyi bahasa pada saat pembentukannya udara yang dikeluarkan dari paru-paru mengalami hambatan di kerongkongan atau guttural. Warga aksara kantia di antaranya adalah ka, kha, ga, gha, nga, dan ha. Warga aksara talawia adalah warga aksara yang melambangkan bunyi-bunyi bahasa pada saat pembentukannya udara yang keluar dari paru-paru mendapatkan hambatan pada anak tekak atau serebral. Warga aksara talawia di antaranya ca, cha, ja, jha, nya, ya, sa. Warga aksara murdania adalah warga aksara yang melambangkan bunyi-bunyi bahasa pada saat pembentukannya udara yang keluar dari paru-paru mendapatkan hambatan pada langit-langit keras atau palatal. Warga aksara murdania di antaranya adalah ta, tha, da, dha, na, ra, sa. Warga aksara dantia adalah warga aksara yang melambangkan bunyi-bunyi bahasa pada saat pembentukannya udara dari paru-paru mendapatkan hambatan pada lengkung kaki gigi atau dental. Warga aksara dantia di antaranya ta, tha, da, dha, na, la, sa. Sementara itu, warga aksara ostia adalah warga aksara yang melambangkan bunyi-bunyi bahasa pada saat pembentukannya mendapatkan hambatan pada mulut atau labial. Adapun warga aksara ostia ini di antaranya adalah pa, pha, ba, bha, ma, wa.
c. Klasifikasi Aksara Bali Berdasarkan Bentuk
Berdasarkan bentuknya, aksara Bali dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu (1) aksara bentuk dasar (lagena); (2) bentuk turunan (gantungan lan gempelan); (3) bentuk pengangge (pengangge suara, pengangge tengenan, dan pengangge arda suara); (4) bentuk tanda baca. Aksara lagena adalah aksara Bali yang belum mendapatkan pengangge aksara.
Adapun aksara yang termasuk dalam kelompok dasar di antaranya h, Á, ÷, ú, 6, O, , n, x, c, r,`, k , g, F, t, q, m, \, b, v, s, [, ́, w, l , p, |d, ü , j, y , Zÿ, .Aksara turunan yang letaknya menggantung pada aksara bentuk dasar disebut dengan gantungan. Sementara itu, bentuk turunan yang letaknya menempel pada bentuk dasar, disedut dengan gempelan. Contoh aksara bentuk turunan gantungan adalah ....
À.. ...... ......Å ......Ç ...È...
..Ð.... .....Ñ. ...Ò... ....Ó.. .....Ô. .....Õ. ....Ö.. ....ß.. ....á.. ....ã.. ....ä.. ...â... ...å.... .....é.. ....ñ
.. . Sementara itu, bentuk gempelan contohnya adalah ......×, .......Š, .......è, ......æ, .......».
Aksara bentuk pengangge, dapat diklasifikasikan lagi ke dalam tiga bentuk yaitu
pengangge suara, pengangge tengenan, dan pengangge arda suara. Pengangge suara
contohnya adalah sebagai berikut.
a. .....o tedung, tedong, tarung untuk menunjukkan bunyi /ã/panjang (dirga)
b. .....øulu, untuk menunjukkan bunyi /i/.
c. ....ù. ulu sari/dirga/sucika, untuk menunjukkan bunyi /Ï/ panjang (dirga).
d. .....u suku, untuk menunjukkan bunyi /u/.
e. .....U suku ilut/dirga/suku keret, untuk menunjukkan bunyi /ú/ panjang.
f. e... taleng/taling, untuk menunjukkan bunyi /e/.
g. E ... taleng marepa/taleng sari/daitya untuk menunjukkan bunyi /ai/
h. E ..o taleng marepa matedong untuk menunjukkan bunyi /au/
i. e....o taleng tedung/tedong, untuk menunjukkan bunyi /o/.
j. .....)pepet, untuk menunjukkan bunyi /e/.
k. ....)o pepet metedung/tedong, untuk menunjukkan bunyi /Ö/ panjang.
l. ...ž... ulu candra, untuk menunjukkan bunyi /ng/
m. ...š.... ulu ricem, untuk menunjukkan bunyi /em/
Bentuk pengangge tengenan di antaranya adalah.
a. ...*... cecek, sebagai pengganti \«
b. ....(.. sebagai pengganti r«
c.......; sebagai pengganti h«
d......./ sebagai tanda konsonan.
Bentuk pengangge arda suara atau setengah suara (semi vokal) contohnya adalah.
a. ...ê... nania untuk menunjukkan bunyi /ia/
b. ....É.. guwung/cakra untuk menunjukkan bunyi /ra/
c. .... ̄... kluster la/ untuk menunjukkan bunyi /la/
d. ....Ù... untuk menunjukkan bunyi /ua/
Tanda baca dalam aksara Bali ini dimasukkan kedalam klasifikasi berdasarkan bentuk,
disebabkan karena tanda-tanda baca tersebut sejatinya merupakan gabungan dari aksara-aksara
Bali itu sendiri.
1) , carik siki, fungsinya sama dengan, koma (dalam bahasa Indonesia) disamping itu
digunakan untuk mengapit aksara anceng dan angka.
2) . carik kalih, atau carik pareren, digunakan sama dengan titik (dalam bahasa
Indonesia).
3) .0. carik pasalinan, digunakan pada penghabisan surat, cerita, dan sebagai pengganti
tembang dalam geguritan.
4) < panti/panten, digunakan pada permulaan menulis kalimat atau karangan seperti surat,
cerita, kanda, dan geguritan. Tanda ini diambil dari gantungan (ma) yang digabungkan
dengan gempelan (pa).
5) > pamada, tanda ini terjadi dari, gantungan (ma) dan (nga), gantungan (ja) dan (pa)
sehingga menjadi m \j p (mangajapa), yang tujuannya sama dengan awignamastu,
yaitu memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. tanda ini digunakan sebagai
tanda permulaan dan penutup dalam kekawin. Dalam kekawin umumnya empat baris
menjadi satu pada.
6) >0> carik pasalinan atau carik agung, digunakan untuk pergantian wirama, atau sargah
pada kekawin.
d. Klasifikasi Aksara Bali Berdasarkan Unsur Serapan Kuna (Kesan Arkhais) Bahasayang Digunakan.
Untuk menelusuri lebih mendalam tentang klasifikasi aksara Bali, maka pengetahuan mengenai bahasa Bali harus selalu dikaitkan. Bahasa Bali yang diwarisi kini oleh masyarakat Bali telah banyak menerima pengaruh dari bahasa-bahasa luar. Hal ini sebagai gejala yang wajar, karena bahasa memiliki sifat yang dinamis bukan stagnan. Hingga memasuki abad ke-21 saat ini, bahasa Bali telah bergaul dengan berbagai bahasa. Bahasa tersebut di antaranya adalahbahasa Sanskerta, Jawa Kuna/Kawi, Jawa Pertengahan, Melayu, Indonesia, dan bahkan bahasa-bahasa Eropa seperti Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris, dan yang lainnya.
Unsur bahasa serapan yang ditulis dengan aksara Bali, maka aksara Bali dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu aksara danti dan aksara murda. Aksara danti adalah aksara yang dipergunakan untuk menuliskan bahasa Bali. Seperti di antaranya urak, pipil, satua, pasobaya, dan lainnya. Aksara danti ini juga tidak lain adalah aksara wreastra itu sendiri. Aksara yang termasuk kelompok ini yaitu aksara h, n, c, r, k , g, t, m, \, b, s, w, l , p, d, j, y , Zÿ, . Aksara murda adalah aksara yang digunakan untuk menulis kata-kata bahasa kawi atau Jawa Kuna yang diserap ke dalam bahasa Bali.
Cara Menulis Aksara Bali
Cara menulis aksara sangat ditentukan oleh media atau alas tulisnya. Menulis aksara Bali dilihat dari media yang digunakan dapat dibedakan menjadi tiga. Ketiga cara menulis tersebut dipaparkan di bawah ini.
1) Menulis aksara Bali di daun lontar
Menulis aksara Bali di daun lontar dilakukan dengan menggunakan alat tulis berupa pangrupak (sejenis pisau tajam yang memiliki dua bilah sama pada kedua sisinya). Cara menulisnya dilakukan dengan posisi duduk, dengan lontar dipegang oleh tangan kiri penulis. Sementara pangrupak dipegang menggunakan tangan kanan. Aksara Bali yang ditulis di media lontar dilakukan dari kiri ke kanan dengan menggurat media lontar tersebut menggunakan ujung pangrupak. Setelah digurat sesuai dengan jumlah halaman, hasil guratan aksara Bali tersebut lalu diolesi tinta tradisional yang dibuat dengan arang kemiri.
2) Menulis aksara Bali di kertas
Menulis aksara Bali atas kertas dilakukan menggunakan pensil atau pulpen. Bagi pemula biasanya ditulis menggunakan pensil karena bisa dihapus. Sementara itu, penggunaan pulpen biasanya dilakukan oleh penulis yang sudah mahir karena tidak bisa dihapus, kecuali dengan cara mematikan aksara menggunakan suku dan ulu. Penulisan aksara Bali menggunakan pensil atau pulpen ini dilakukan dari kiri ke kanan, sama seperti menulis di media lontar. Untuk menghasilkan tulisan yang memiliki kesan estetik biasanya cara menulisnya dilakukan dengan menekan ringan ketika ada garis ke atas, dan ke bawah sedangkan menekan agak keras dilakukan ketika adagaris ke samping. Dengan demikian, aksara Bali yang dihasilkan akan memiliki goresan yang tebal dan tipis.
3) Menulis aksara Bali di media komputer
Untuk menulis aksara Bali di media komputer, seseorang terlebih dahulu harus menginstal aplikasinya font aksara Bali yang digunakan. Ada banyak jenis font aksara Bali seperti Bali Simbar, Bali Galang, Bali Jelih, dan yang lainnya. Setelah software tersebut diinstal, penulis aksara Bali kemudian membuka Ms. Word. Setelah itu, perlu disetting untuk mengaktifkan jenis font yang digunakan. Untuk Bali Simbar misalnya, font disetting dengan touvelsoft keyman. Setelah itu, atur bagian jenis font di MS.Word. Setelah settingan selesai, aksara Bali siap ditulis di media digital. Untuk sistem penulisannya, ada yang otomatis dan manual. Untuk kosakata yang pasang pageh, dikoreksi langsung oleh sistem,sedangkan aturan lain biasanya disesuaikan dengan kemampuan pasang aksara Bali.
Perbedaan Aksara Bali dengan Aksara Bali
Perbedaan aksara Bali dengan aksara Jawa bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu mitologi,
jumlah huruf dasar, dan bentuk hurufnya.
a) Dilihat secara mitologis, aksara Bali dan aksara Jawa diyakini dibawa oleh Aji Saka yang berasal dari India. Akan tetapi, dalam mitologinya, susunan aksara Jawa yang terdiri atas hana caraka da ta sa wa la ma ga bha ta nga pa dha ja ya nya, itu bermakna “adi abdi yang setia membawa perintah, keduanya meninggal dunia”. Sementara itu, aksara Bali yang memiliki urutan hana caraka gata mangaba sawala pada jayanya” inibermakna “ada abdi yang setia membawa perintah, sama-sama jaya”.
b) Berikutnya, dilihat dari aksara dasar, aksara Jawa berjumlah 20, sedangkan aksara Balihanya berjumlah 18.
c) Terakhir, perbedaan juga dapat dilihat dari bentuk aksaranya. Aksara Jawa cenderunglebih kotak-kotak atau nyaraken, sedangkan aksara Bali lebih bulat atau ngawindu,mamatan titiran, majit tuma, dan yang lainnya.
Fungsi Aksara Bali Bagi Masyarakat Bali
Aksara Bali bukanlah semata-mata sebagai wahana bahasa tulis semata, melainkan memiliki fungsi yang sangat vital dalam menjaga, membina, melestarikan, serta mengembangkan kebudayaan Bali. Aksara Bali memilki kaitan yang sangat erat dengan kebudayaan, agama, dan masyarakat Bali.
Aksara Bali memiliki banyak sekali fungsi (multi fungsional), diantaranya:
1. Sebagai alat untuk menuliskan pikiran, perasaan, cerita-cerita rakyat, perjanjian, dan susastra. Juga sebagai alat untuk menuliskan masalah-masalah yang berkaitan dengan keseharian masyarakat Bali seperti di antaranya menulis urak, pipil, dan yang lainnya.
2. Menjadi lambang-lambang atau niasa kekuatan para dewa, status, senjata, organ tubuh manusia, cara menyembuhkan penyakit dan yang lainnya.
3. „Aksara suci‟ seperti aksara swalalita, aksara bijaksara dan aksara modre banyak difungsikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan bidang keagamaan. Bagi masyarakat Bali, aksara ini diyakini mempunyai kekuatan gaib atau religius untuk menyucikan ataumembersihkan sesuatu. Aksara suci pada umumnya difungsikan sebagai sarana dalam upacara agama atau dalam pengobatan.
4. Dalam kehidupan orang Bali, aksara Bali hampir tidak pernah luput. Tiga siklus hidup manusia Bali sejak lahir, dewasa, hingga meninggal dunia senantiasa melibatkan peran vital aksara Bali. Sejak seorang bayi lahir ke dunia, sejatinya mereka sudah dibekali aksara yang ditanam bersama ari-arinya. Dalam proses menuju dewasa, terutama dalam kaitannya dengan usaha untuk mengendalikan sad ripu dalam diri, aksara Bali berperan dalam upacara potong gigi atau masangih/matatah. Sampai pada akhirnya orang Bali meninggal dunia, mereka juga berbekal aksara seperti yang terlihat nyata dalam rajah kajang. Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak seorangpun masyarakat Bali yang tidak memanfaatkan aksara Bali dalam melewati fase-fase kehidupan ini.
Nilai Aksara Bali bagi Masyarakat
Dalam penggunaannya, aksara Bali memiliki nilai –nilai budaya yang adiluhung, antara
lain:
a. Nilai Religius
Aksara Bali khususnya aksara suci seperti aksara swalalita, aksara bijaksara dan aksara modre banyak difungsikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan bidang keagamaan. Bagi masyarakat Bali, aksara ini diyakini mempunyai kekuatan gaib atau religius untuk menyucikan atau membersihkan sesuatu. Aksara suci pada umumnya difungsikan sebagai sarana dalam upacara agama (pelaksanaan panca yadnya), baik Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya maupun Butha Yadnya.
b. Nilai Pendidikan
Aksara Bali yang dituliskan dalam lembaran lontar memuat beragam ilmu pengetahuan serta susastra yang sangat berguna bagi dunia pendidikan, sejarah, keagamaan, pengobatan tradisional, dan lain-lain. Aksara Bali juga dijadikan sebagai bahan pendidikan muatan local di sekolah dari SD sampai SMA sehingga generasi muda dapat mempelajari aksara Bali sebagai tradisi warisan budaya leluhur yang bernilai adiluhung.
c. Nilai Sosial;
Sebagai salah satu alat komunikasi secara tertulis, Aksara Bali memiliki nilai social bagi masyarakat dalam memberikan informasi serta interaksi social secara tertulis. Untuk
7. Upaya pelestarian karya budaya
Pelindungan:
Dalam rangka pelindungan aksara Bali yang merupakan satu kesatuan dengan bahasa dan sastra
Bali, Pemerintah Provinsi Bali telah menyusun beberapa kebijakan, antara lain:
a. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bahasa, Aksara dan Sastra Bali.
b. Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali.
c. Mengusulkan Aksara Bali sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Pengembangan:
a. Pengembangan aplikasi penulisan Aksara Bali pada komputer dan gadget dengan menginstall aplikasi font aksara Bali, seperti Bali Simbar, Bali Galang, Bali Jelih, dan yang lainnya.
b. Pengembangan pembelajaran Aksara Bali melalui cerita bergambar, komik, dan lain-lain.
Pemanfaatan:
Dalam menumbuhkan rasa cinta terhadap tradisi budaya nyastra (membaca dan menulis aksara Bali) serta mempertahankan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam aksara Bali, dilaksanakan melalui beberapa kegiatan, antara lain:
a. Bulan Bahasa Bali merupakan kegiatan yang diselenggarakan selama bulan Februari, dari tingkat Desa, sekolah, kabupaten/kota, provinsi. Dalam penyelenggaraan Bulan bahasa Bali terdapat banyak sekali lomba-lomba, workshop, seminar dan dialog interaktif terkait Bahasa, Aksara dan Sastra Bali.
b. Utsawa Dharma Gita, merupakan kegiatan festival dan lomba nyanyian suci agama hindu, menembangkan sloka-sloka kitab suci agama Hindu yang penulisannya menggunakan Aksara Bali.
c. Layanan Alih Aksara Bali merupakan salah satu pelayanan kepada masyarakat unum, khususnya tulisan Aksara Bali untuk papan nama perusahaan, kantor, hotel, sekolah, dan lain-lain. lebih memasyarakatkan Aksara Bali, papan nama jalan, took, kantor, serta tempat publik
lainnya menggunakan aksara bali diatas tulisan latin.
Secara umum, Aksara Bali memiliki makna yang penting bagi masyarakat Bali antara lain:
a. Sebagai pembentuk identitas budaya Bali
b. Sebagai symbol Tuhan dan manifestasinya
c. Sebagai symbol magis/mistis
d. Sebagai simbol penyucian
e. Sebagai symbol kekuatan
Pembinaan:
a. Pesamuhan Agung Bahasa dan Aksara Bali
b. Bahasa dan Aksara Bali sebagai muatan local dan Extra Kurikuler di sekolah-sekolah, baik
dari tingkat SD sampai SMA.
c. Eksistensi Prodi Sastra Bali di universitas negeri dan swasta di Bali.