Ari-Ari Megantung
Tradisi ari-ari megantung merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat di desa adat Bayunggede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Tradisi ini merupakan warisan nenek moyang dan diturunkan kepada generasi penerusnya. Tradisi ari-ari megantung telah dilaksanakan, jauh sebelum datangnya orang-orang Majapahit ke Bali. Hal tersebut dapat diketahui melalui sejarah berdirinya desa adat Bayunggede yang telah ada sebelum Bali dipengaruhi oleh Majapahit. Dengan sistem pemerintahan adatnya yang bersifat tradisional, yang dinamakan dengan uluapad. Sistem pemerintahan adat uluapad, biasanya dijalankan oleh masyarakat Bali yang lokasinya berada di daerah pegunungan, dan digolongkan ke dalam masyarakat Bali Aga atau Bali Mula. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Desa Adat Bayunggede, tidak diperbolehkan atau dilarang untuk mengubur ari-ari (plasenta) bayi yang baru lahir di dalam pekarangan rumah, seperti yang dilakukan masyarakat Bali pada umumnya. Masyarakat Desa Adat Bayunggede sangat menghormati Ibu Pertiwi sehingga seluruh pekarangan perumahan merupakan kawasan yang disucikan. Oleh karenanya, menanam ari-ari di pekarangan rumah dianggap akan menyebabkan leteh/kotor.
Apabila ada seorang ibu yang melahirkan di Desa Adat Bayunggede, maka ari-ari (plasenta) yang menyertai si bayi akan diperlakukan dengan proses sebagai berikut:
- Ari-ari (plasenta) dibersihkan dengan air.
- Ari-ari (plasenta) yang telah bersih dimasukkan ke dalam tempurung kelapa (kau) yang sudah dibelah menjadi dua bagian simetris.
- Di atas ari-ari (plasenta) tersebut, ditambahkan kelengkapan : abu dapur, anget-anget (ketumbar, mesui, jebugarum, cengkeh), serta tengeh (campuran kunyit yang diparut/ditumbuk dengan pamor/kapur sirih)..
- Setelah semuanya masuk, tempurung ditutup rapat-rapat, pada bagian yang terbelah dioleskan pamor/kapur sirih untuk menghindari kebocoran berbentuk tapak dara (+).
- Selanjutnya, tempurung tersebut diikat dengan salang tabu (tali pengikat dari kulit bambu).
- Kemudian, ayah si bayi bersiap-siap untuk membawa tempurung (kau) yang berisi ari-ari tersebut ke setra ari-ari (kuburan ari-ari) yang terletak di hilir desa dengan membawa tah (alat semacam sabit) yang diselipkan dipinggang. Selama perjalanan, ayah si bayi harus memegang tempurung (kau) tersebut dengan menggunakan tangan kanan dengan harapan anak tersebut akan terbiasa menggunakan tangan kanan (tidak kidal) dan bersikap baik, ramah dan sopan jika ada yang menyapa selama perjalanan ke setra ari-ari.
- Sesampainya di Setra Ari-ari, Ayah bayi harus memilih dan menentukan cabang/batang kayu bukak (carbera manghas) yang akan digunakan untuk menggantung kau (tempurung kelapa yang berisi ari-ari).
- Setelah menemukan cabang pohon bukak yang dirasa baik, lalu kau (tempurung kelapa) yang berisi ari-ari tersebut digantungkan pada batang yang terlebih dahulu ditancap dengan menggunakan tah. Pada saat menggantung ari-ari, Ayah bayi menggunakan tangan kanan.
- Selesai menggantung kau tersebut, ayah bayi mencari beberapa batang daun pakis (daun paku) untuk di bawa ke rumah.
- Sampai di depan rumah, ayah bayi meletakkan daun pakis tersebut pada batang bambu yang telah dipersiapkan. Daun pakis yang ditempatkan di pintu depan rumah merupakan pertanda bahwa keluarga yang bersangkutan sedang sebel/cuntaka.
- Bagi keluarga yang sebel/cuntaka karena baru saja memiliki bayi, akan memiliki pantangan tidak boleh melakukan aktivitas tertentu, seperti ke pura (tempat suci) atau ke rumah Jro Kebayan Mucuk (pemimpin desa) selama 42 hari (untuk anak pertama), dan selama 12 hari (untuk anak kedua dan seterusnya).
Tradisi Ari-ari Megantung (ngutang kau) memiliki makna dan nilai yang sangat luhur, khususnya bagi masyarakat Desa Adat Bayunggede. Makna Tradisi Ari-ari Megantung mengandung makna social dan budaya, antara lain:
- Makna sosial: Meningkatkan keyakinan masyarakat, terutama keyakinan terhadap kawasan-kawasan suci berupa pura, pekarangan rumah Jero Kebayan Mucuk (pemimpin Desa); meningkatkan disiplin masyarakat dalam mempersiapkan dan melaksanakan tradisi ini, serta mentaati dan mematuhi segala pantangan yang disepakati desa adat;
- Makna Budaya: menjaga dan mempertahankan kearifan lokal, mempertahankan tradisi daur hidup dari sejak manusia lahir sampai meninggal, menunjang bidang kepariwisataan.
Tradisi Ari-ari Megantung di Desa Adat Bayunggede memiliki nilai sebagai berikut|:
- Nilai Religius: meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Tuhan dengan menjalankan tradisi sesuai dengan keyakinan yang dianut masyarakat.
- Nilai Sosial: meningkatkan rasa kasih sayang antar anggota keluarga dalam menjaga dan merawat anggota keluarga yang baru lahir.
- Nilai Politik: kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin adat dalam menjalankan sistem pemerintahan adat, dan melaksanakan peraturan dan pantangan sesuai dengan peraturan adat (awig-awig).
- Nilai Ekonomi: hal ini terkait dengan Desa Bayunggede sebagai Desa Wisata dalam menarik wisatawan untuk berkunjung sehingga dapat menambah pendapatan desa serta kesejahteraan masyarakatnya.
- Nilai Estetika: menyangkut keindahan ayah dalam membungkus ari-ari bayinya, bentuk tapak dara dan ikatan salang tabu, serta penggantungan kau (tempurung kelapa yang berisi ari-ari) pada batang pohon bukak (carbera manghas) yang tergantung dalam jumlah yang banyak kelihatannya sangat indah.
Dalam menjaga pelestarian karya budaya yakni tradisi ari-ari megantung, masyarakat telah membuat awig-awig (aturan-aturan adat), untuk menjaga kebertahanan tradisi ini dalam masyarakat. Dalam awig-awig (aturan-aturan adat tersebut), tidak memperbolehkan warga masyarakat adat untuk menanam atau mengubur ari-ari bayi di pekarangan rumah. Apabila hal tersebut dilanggar akan dikenakan sanksi, di mana keluarga tersebut tidak akan dilibatkan dalam keanggotaan maupun struktur kepengurusan dalam sistem pemerintahan uluapad. Apabila mereka melanggar dan menanam ari-ari bayi dalam pekarangan rumah, pekarangan warga masyarakat yang bersangkutan dipandang leteh/kotor. Awig-awig (aturan-aturan adat) init berlaku untuk semua warga masyarakat Desa adat Bayunggede, baik yang tinggal di wilayah Desa adat Bayunggede, maupun yang merantau di luar daerah. Selain membuat awig-awig adat, masyarakat telah memagari tempat atau kawasan yang digunakan untuk melaksanakan tradisi ini, sehingga lebih aman dan terlindung dari gangguan-gangguan binatang, seperti anjing dan lain-lain. Masyarakat yang berada di wilayah desa adat Bayunggede maupun yang berada di perantauan wajib untuk melaksanakan tradisi ini, sehingga tradisi ini akan tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat adatnya. Masyarakat desa adat Bayunggede juga menjaga lokasi tempat menggantung ari-ari, sehingga kondisinya dalam keadaan bersih dan tidak ditumbuhi oleh tanaman-tanaman liar lainnya.