Dokumen Barong  Swari

Barong Swari

Munculnya tapel / topeng barong di Desa Jumpai ditandai oleh kejadian aneh. Diawali dengan ditemukannya sebuah punggalan topeng barong di Pura Dalem Setra Kekeran , salah satu Pura Kayangan Tiga di Desa Jumpai. Punggalan itu kemudian dilengkapi dengan dibuatkan pararaga/ badan bersama hiasan dan perlengkapan lainnya, oleh masyarakat desa sehingga berwujud sebagai Barong Ket. Barong tersebut menjadi sungsungan/ yang disembah masyarakat desa, dan ditempatkan di Pura Dalem Setra Kekeran. Suatu saat terjadi wabah penyakit ( gerubug ) yang banyak menewaskan penduduk di desa itu, dan barong yang disimpan di Pura yang suci itu beramai ramai dibuang dan dihanyutkan ke laut, karena dianggap sebagai penyebab terjadinya bencana.

Namun pada malam harinya terdengar perpaduan suara genta dan gengseng yang aneh dan  menakutkan dari arah laut . Di antara remang-remang malam terlihat Barong Ket yang telah dihanyutkan sebelumnya, berjalan terlihat seperti diusung oleh manusia yang tidak terlihat menuju tempat penyimpenan Pura Dalem Kekeran. Barong yang sebelumnya diambil dari tempatnya, ternyata sudah berada kembali di tempatnya semula. Kejadian ajaib ini telah mengubah pandangan penduduk Desa Jumpai terhadap Barong itu sebagai sungsungan dan memiliki kekuatan gaib yang mampu melindungi dan menyelamatkan penduduk desa dari wabah penyakit yang dipercayai berasal dari pulau di seberang lautnya.

Karena ukuran punggalan barong tersebut besar dan berat, maka untuk pementasan barong dibuat duplikat punggalan barong yang lebih kecil dan ringan yang dinamakan sebagai Ratu Gde Anom . Sementara barong yang lama dinamakan  sebagai Ratu Gde Lingsir. Keduanya dikeramatkan dan selalu dihadirkan bersama dalam upacara keagamaan, hanya untuk pementasannya ditarikan bersama Ratu Gde Anom. Sejarah munculnya punggalan barong yang bersifat magis menjadikan penduduk Desa Jumpai yakin bahwa barong itu memiliki kekuatan supernatural yang datang ke tempat mereka untuk menyelamatkan dan melindungi penduduk dari wabah penyakit yang setiap waktu tertentu menyerang mereka. Perlakuan yang sangat khidmat terhadap barong tersebut menandai bahwa penduduk Desa Jumpai merupakan masyarakat yang spiritual dan kuat memegang tradisinya ( Ida Ayu Made Dyatmika, 1980: 8-9 ).

Pertunjukan Barong Ket/ Barong mesolah , sesuai kesepakatan bersama antara tokoh masyarakat dan seniman, kemudian disebut sebagai Barong Swari. Barong ini berfungsi sebagai penghubung utama antara Dewa / Tuhan dengan manusia dalam berkomunikasi. Dalam konteks misi dalam setiap pertunjukan barong pertentangan antara simbol kebaikan melawan kejahatan, maka figur rangda menjadi pasangan yang tak dapat dipisahkan. Oleh karena dalam mitologi Bali rangda dianggap sebagai perwujudan dari Dewi Durga, maka figur ini juga dikeramatkan. Apalagi Dewi Durga merupakan perwujudan lain dari Dewi Parwati, isteri Dewa Siwa. Baik sebagai seni pertunjukan barong maupun sebagai sesuhunan di pura, kedua figur ini menjadi dualisme simbol yang tak terpisahkan.

Terkait dengan munculnya barong bisa dihubungkan dengan proses sejarah  Desa Jumpai yang berawal dari garis keturunan pejabat Kerajaan Majapahit, yakni Dalem Kresna Kapakisan yang ditugaskan oleh Gajah Mada sebagai raja di Bali .Ikut bersamanya adalah puteranya I Pasek Bon Dalem Samanjaya yang berprofesi sebagai pedagang. Kedatangannya di Bali berawal di wilayah Pantai Lebih menuju ke utara sampai ke Samprangan, dan menjadi raja di tempat itu, dan menetapkan daerah itu sebagai pusat pemerintahan kerajaannya. Karena berkecimpung juga dalam bidang nelayan ( oleh karenanya mendapat gelar I Pasek Bendega Dalem Samanjaya ), maka raja ini memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah pantai yakni Cedokan Boga tempat leluhur dulu berdiam.Dari tempat ini I Pasek Bendega Dalem Samanjaya kemudian memindahkan lagi kedudukannya menuju ke arah timur, yakni  wilayah bernama Jung Pahit yang berarti Tanjung Pahit yang dihubungkan dengan Kerajaan Majapahit. Dari tempat ini bergeser lagi sedikit ke arah timur sampai di Desa Jumpai sekarang (http://id.m.wikipedia.org. Jumpai,Klungkung, desa di Kabupaten Klungkung,provinsi Bali ).

Dalam bidang kesenian, desa ini memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan seni sesuai dengan tuntutan jaman, tanpa menghilangkan kemurnian tradisinya. Bagi penduduk Desa Jumpai kesenian merupakan media dalam aktifitas keagamaan, juga pemerintahan. Sementara dalam bidang kelembagaan sudah terjalin harmonisasi antara lembaga formal maupun non formal. Sebagai lembaga non formal tercatat ada kelompok kesenian Gong Kebyar yang terdiri dari 2 sekeha dan 1 sanggar tari dalam lingkup 1 desa. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Desa Jumpai merupakan masyarakat yang mencintai seni yang berakar dari tradisi budaya Hindu Bali. Uniknya Desa Jumpai yang terdiri dari 2 banjar itu masing-masing memiliki  penari, tapel ( topeng ) telek serta pemangku sendiri-sendiri. Namun untuk seluruh wilayah Desa Jumpai memiliki hanya satu sesuhunan , yakni Ida Bhatara Jero Gede ( berbentuk barong ) dengan kedua banjar ( Banjar Kawan dan Banjar Kangin ) sebagai pengempon nya. Baik Ida Bhatara Jero Geda, Ida Bethara ( Rangda ), tapel Telek, Jauk maupun Penamprat disimpan di tempat khusus, yakni disimpan / disineb di Pura Dalem Penyimpenan, jika tidak dipentaskan ( Hasil Wawancara dengan I Nengah Marya 63 tahun, Pada Tanggal 18 Juli 2022 di Kantor Kepala Desa Jumpai )

Di Desa Jumpai Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung Bali , barong yang menjadi inti dalam pertunjukan tari pengiring upacara keagamaan disebut  sebagai Barong Swari. Ada pula yang menyebutnya sebagai Barong Kaswari, dan Barong Jumpai karena berada dan menjadi sesembahan masyarakat Desa Jumpai. Sesuai dengan penjelasan dan kesepakatan dengan beberapa tokoh masyarakat dan seniman Desa Jumpai, untuk selanjutnya disebut sebagai SBarong Swari ( Hasil Wawancara dengan seniman dan tokoh masyarakat desa pada tanggal 18 Juli 2022, di Kantor Kepala Desa  Jumpai ). Swari berasal dari bahasa Sanssekerta yang berarti bunyi atau suara. Melalui kisah dalam barong mesolah / pertunjukan tari barong, masyarakat menjadi paham dan mengerti tentang kebaikan yang akan mampu mengalahkan kejahatan. Melalui pertunjukan tari barong, Tuhan bersuara kepada manusia untuk mengajarkan agar manusia selalu mengejar kebaikan dan menjauhi kejahatan . Pada gilirannya kehidupan manusia, baik secara sosial maupun individu akan mengalami kebahagiaan lahir dan batin.

Barong Swari yang dikeramatkan oleh masyarakat desa Jumpai termasuk jenis Barong Ket yang sangat popular, karena sangat legendaris di Bali. Ia merupakan simbol kebaikan dan kemenangan, yang merupakan manifestasi dari banaspati raja atau raja hutan. Karakter barong sebagai makhluk mitologis dalam Agama Hindu merupakan simbol kebajikan / dharma. Masyarakat setempat meyakini barong ini sebagai pelindung dan penyelamat dari segala malapetaka yang bersumber dari  kekuatan di luar kekuatan manusia. Makna keberadaan Barong Ket bersumber dari dua sifat yang bertolak belakang yang ada pada setiap makhluk, yang biasa disebut sebagai rwabineda. Kebajikan dharma barong akan selalu menang di dunia ini, dan mengalahkan kejahatan (rangda). Oleh karenanya Barong Swari ini sangat dikeramatkan , sehingga barong ini selalu ditarikan sebagai pengiring upacara keagamaan. Karena sifatnya yang sakral, maka setiap proses awal pertunjukan selalu disertai dengan banten/sesajen, dengan tariannya termasuk tari bebali yang berfungsi sebagai pengring upacara. Bahkan penari baru yang bergabung dalam kelompok seni tari barong, harus mewinten ( upacara pensucian diri ).

Fungsi pertunjukan Barong Swari sebagai pelindung dan penyelamat desa dari bahaya roh- roh jahat pengganggu manusia dengan ilmu hitamnya yang mengakibatkan wabah penyakit.  Hal ini  terkait dengan posisi geografis Desa Jumpai yang terletak di pinggir pantai yang berhadapan  langsung dengan samudra luas yang dikhawatirkan sangat rentan membawa pengaruh negatif , seperti wabah penyakit baik yang bersifat skala dan niskala ( jasmani dan rohani ) . Untuk menghindari malapetaka ini masyarakat Desa Jumpai sebagai wilayah terdepan membangun sistem pertahanan dengan ekspresi budayanya, melalui upacara keagamaan pemahayun desa. Upacaranya diadakan tiap lima belas hari sekali , dan dalam kalender Bali setiap hari kajeng keliwon, bertempat di perempatan desa waktu sore hari. Hal ini tidak ada di daerah lain. Keyakinan masyarakat Desa Jumpai terhadap kekuatan supernatural barong sebagai penyelamat desa dari wabah penyakit, terbukti ketika masa pandemi Covid 19 lalu, desa ini menjadi wilayah yang terkecil jumlah korban mengganasnya virus itu dibanding daerah lain di Kabupaten Klungkung ( Hasil Wawancara dengan I Ketut Suarjana 72 tahun, Pada Tanggal 18 Juli 2022, di Kantor Kepala Desa Jumpai ).

Berkembangnya pariwisata di Bali, membawa dampak bagi semakin dikenalnya tari barong ini ke luar daerah, bahkan mancanegara, seperti di Jepang, Jerman. Keunikan dan keindahan seni tari tradisional yang terkait dengan barong yang juga dikenal  dengan sebutan tari telek ini telah tersentuh nilai komerialisasi dunia wisata. Istimewanya Barong Swari tetap mampu mempertahankan diri sebagai  yang sangat dikeramatkan. Masyarakat desa Jumpai mampu mengantisipasi dari derasnya nilai wisata komersial tanpa harus mengorbankan warisan  nilai luhur budaya leluhurnya. Pertunjukan tari barong di luar konteks upacara keagamaan, menggunakan duplikat barong yang asli sebagai sesuhunan masyarakat desa, sehingga tidak melunturkan nilai kesucian dan kesakralan pertunjukan tari barong sebagai syarat utama dalam upacara persembahyangan yang ada. Pementasan Barong dengan seni tari telek  dengan demikian merupakan bentuk representasi dari ekpresi budaya Bali yang sangat kental dengan manifestasi  kerohanian keagamaan. Wujud kearifan lokal Bali yang hingga kini terbukti masih sangat relevan dalam memenuhi fungsi dan makna bagi kehidupan manusia yang sehat dan sejahtera. Filosofi Barong Swari dengan pementasannya yang unik menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan tradisi budaya masyarakat Hindu Bali, khususnya masyarakat Desa Jumpai Klungkung sebagai pendukung utama tradisi dan budaya lokal tersebut. Oleh karenanya Barong Swari merupakan warisan budaya tak benda leluhur yang tak lekang oleh gerusan modernisasi zaman pada masa kini.

Pementasan Barong Swari yang diselenggarakan setiap 15 hari sekali atau tiap Hari Kajeng Kliwon dimaksudkan antara lain agar masyarakat Bali ,serta penduduk Desa Jumpai khususnya akan selalu ingat kepada pentingnya makna mesolahan barong sesuhunan nya bagi kesehatan diri dan lingkungannya. Makna Upacara Kajeng Kliwon begitu suci, bahkan dianggap keramat, karena saat itu menjadi kesempatan bagi manusia untuk menyelamatkan diri dan mengusir kekuatan negatif yang menyerang mereka, melalui pengendalian diri secara lahir dan batin. Jarak waktu lima belas hari sekali bukan merupakan waktu yang lama untuk kembali melaksanakan upacara keagamaan ini yang berintikan permohonan keselamatan desa dari gangguan wabah penyakit kepada Tuhan/Hyang Widhi, melalui pementasan Barong Swari. Setiap saat manusia perlu diingatkan untuk mampu mengendalikan nafsu jasmani dan rohani, agar terhindar dari malapetaka. Budaya Bali yang bernafaskan pada seni dan keagamaan dengan demikian menyatu pada pelaksanaan ini. Dari sisi seni, keindahan gerak tari, bunyi gamelan yang mengiringinya dan penampakan barong tersebut merupakan menjadi wujud dari seni budaya yang artistik dan mengandung nilai filosofis keagamaan yang mendalam. Ini merupakan bentuk kearifan lokal Bali yang perlu dipertahankan.

Yang dikenal sebagai maestro tari barong Di Desa Jumpai adalah Bapak Ketut Renteg, dan puteranya Bapak I Nengah Marya dari Dusun/Banjar Kawan. Kaderisasi pemain barong jadi dilakukan secara berkelanjutan atau diwariskan.

Barong Swari yang dikeramatkan serta menjadi kebanggaan masyarakat Desa Jumpai termasuk jenis Barong Ket. Barong Ket merupakan penggambaran Banaspati Raja / Raja Hutan sebagai pelindung hutan beserta segala isinya. Biasanya Barong jenis ini dalam pementasannya akan dipasangkan dengan Rangda, sosok yang melambangkan keburukan/adharma. Sementara Barong Ket melambangkan kebajikan/dharma. Ukuran badan Baarong Ket cukup besar, dengan panjang mencapai 3,5 - 4 meter dan tinggi sekitar 1,5-2 meter. Ditarikan oleh dua orang penari yang disebut sebagai Juru Saluk atau Juru Bapang. Bentuk Barong Swari di Desa Jumpai terdiri dari dua bagian yakni punggalan dan pareraga serta hiasan di masing-masing bagiannya.

  1. Punggalan / Parerai terdiri dari rahang bawah dengan jenggot, gigi dan taring. Rahang atas dengan cula   manik , mata besar dengan alis yang terang, dangastra serta kembang bajra. Di bagian atas alis pada punggalan ini dihias dengan emas dan permata serta kembang bajra.
  2. Pareraga terdiri dari bahu yang di bagian depan menjadi tempat punggalan, madia yang sifatnya lemes, buntut di bagian belakang dengan ekor yang menjulang. Di dalamnya terdapat kerangka dari anyaman bambu, rotan dan tali. Bagian luarnya berbulu

Hiasan-hiasannya terdiri dari :

  1. Sekar Taji dan ronron , hiasan ini melekat menjadi satu dengan punggalan
  2. Hiasan yang terdapat di bagian depan antara lain berupa: badong, gelung kekendon, udeng-udengan, geruda mungkur, silat bahu, kuer dan kembang sasak.
  3. Hiasan yang ada di bagian belakang, antara lain berupa kampid dara, kuer, ikuh dara, karang gajah, karang guak, ekor yang menjulang dengan genta dan kaca.
  4. Antara bagian depan dan belakang terdapat hiasan punggung yang bernama dore. Hiasan itu terbuat dari kulit sapi yang diukir dan dihiasi prada dan dilengkapi dengan permata dari kaca. Para penarinya mengenakan celana panjang berwarna putih bergaris merah dan hitam, dan di pergelangan kakinya dihiasi dengan bulu-bulu dan bergelang gongseng ( Ida Ayu Made Dyatmika, op.cit., : 17-18 ).

Lakon Barong Swari

Ada dua versi ceritera yang agak berbeda tetapi intinya sama yakni barong sebagai simbol mengatasi wabah penyakit secara skala dan niskala  ( sakit fisik, lingkungan alam dan sosial ). Ini mengandung pesan ajaran Agama Hindu yang dikemas dalam bentuk mitologi. Ceritera diawali dengan menghilangnya Bhatara Giri Putri isteri Dewa Siwa turun ke dunia menjelma sebagai Dewi Durga. Kemudian Dewa Siwa mengutus beberapa dewa untuk membujuk Sang Dewi agar mau kembali ke Siwaloka. Perjalanan para dewa inilah yang menjadi pokok ceritera. Dimulai dengan pengembaraan Dewa Iswara ke empat penjuru dunia yang dalam lakon ini ditarikan dengan bentuk topeng putih /telek. Disusul perjalanan Dewa Brahma yang ditarikan oleh topeng Bang Penamprat. Dewa Wisnu juga ikut mengadakan pencarian ke dunia, yang ditarikan dengan topeng ireng disebut juga Banaspati Raja/ raja Hutan dalam perwujudan sebagai barong.

Sesampainya di setra / kuburan Gandamayu, barong bertemu wanita rangda yang sedang menekuni ilmu hitamnya untuk menebar wabah penyakit. Ketika rangda menolak bujukan Dewa Wisnu untuk kembali ke Siwaloka, maka terjadi perang diantara keduanya. Akhirnya diketahuilah keduanya masing-masing sebagai Dewi Durga dan Dewa Wisnu. Dewi Durga memenuhi permintaan Dewa Wisnu, untuk kembali ke Siwaloka sebagai Dewi Uma. 

Kesakralan pementasan Barong Swari ditandai dengan penyajian sesajen /banten sebelum acara dimulai, dan busana putih yang dikenakan semua warga yang hadir.  Inti sesajennya berupa pejati dan pemendak Banten Pejati terdiri dari daksina ( kelapa yang sudah dibersihkan dari sabutnya), peras, ketupat, ajuman, pesucian dan segehan. Banten/sesajen pejati adalah merupakan sekelompok banten yang disajikan sebagai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Tuhan /Hyang Widhi dan manifestasinya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon diperkenankan, agar mendapatkan keselamatan. Sementara banten pemendak ( pemangku ) merupakan sekelompok sesajen lengkap yang antara lain terdiri dari satu nampan yang berisi empat aledan ( anyaman daun kelapa yang berbentuk bujur sangkar ). Isinya antara lain berisi buah-buahan, nasi yang ditaruh di ceper ( anyaman daun kelapa dalam bentuk yang lebih kecil ), telur , kue, pis bolong, benang yang diatur sedemikian rupa, dan canang. Prasyarat banten ini menunjukkan bahwa seni tari barong bersifat sakral, oleh karenanya dipercaya dan diyakini sebagai sarana untuk memohon keselamatan terutama dari segala ancaman wabah penyakit kepada Tuhan yang suci.

Ketika barong dipentaskan dalam upacara keagamaan, maka terjadi komunikasi yang baik antara manusia dengan Tuhannya sehingga permohonan keselamatan dan perlindungan dari wabah penyakit dikabulkan . Dengan kata lain Barong Swari menjadi simbol perantara antara dunia mikrokosmos dan makrokosmos, sehingga hubungan keduanya harmonis, selaras antara manusia dengan Tuhan dan lingkungannya. Kalau ini sudah tercapai kehidupan manusia akan selamat dan sejahtera lahir batin. Selain sebagai perantara, pementasan barong di Desa Jumpai, yang selalu dipertentangkan  dengan penampilan rangda, yang merupakan bentuk personifikasi antara Dewa Wisnu dan Dewi Durga, antara kebaikan dan kejahatan. Dan kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan, sehingga kehidupan manusia dan dunia akan terhindarkan dari segala wabah penyakit . Di masa pandemi Covid 19  Desa Jumpai merupakan wilayah paling sedikit menjadi korban virus covid dibanding desa lainnya di wilayah Kabupaten Klungkung ( Hasil Wawancara dengan I Wayan Sumanyasa 40 tahun, sama dengan di atas  ).

Salah satu bentuk pertunjukan barong disebut sebagai pamahayuning  atau penyelamat desa. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pertunjukan barong atau barong mesolah dimaksudkan untuk menolak bahaya yang sifatnya tidak kelihatan /roh-roh jahat, seperti leak, kala yang mengganggu manusia dengan ilmu hitam. Ini terkait dengan letak Desa Jumpai di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan lautan terbuka sehingga sangat mempermudah pengaruh negatif , seperti penyakit fisik dan non fisik dari luar masuk ke wilayah ini. Jadi bentuk keresahan masyarakat terhadap bebagai penyakit yang diyakini akan menimbulkan malapetaka ini disosialisasikan kepada masyarakat Desa Jumpai secara metaforis. Wabah penyakit digambarkan sebagai bala samar / sekelompok roh halus yang mencari santapan ke Bali  pada setiap tahun, tepatnya pada bulan Maret ( sasih kesanga Bali ). Hal ini mengakibatkan terjadinya wabah penyakit/gerubug yang mengakibatkan kematian. Banyaknya kematian mengindikasikan terjadinya malapetaka.

Upacara barong mesolah/ pementasan barong untuk menghindari petaka tersebut, diselenggarakan tiap 15 hari sekali atau setiap hari Kajeng Kliwon, bertempat di perempatan desa, pada waktu sore hari  dan dihadiri oleh seluruh warga desa. Dasar dari diadakannya pertunjukan barong di perempatan desa adalah “kanda empat” yakni pemahaman tentang empat saudara yang berada di empat penjuru angin. Anggapati di timur, Merajapati di selatan, Banaspati di barat dan Banaspati Raja di utara. Dalam konteks ini Barong (Ket) Swari dianggap sebagai perwujudan dari Banaspati Raja yang mengerahkan saudara-saudaranya menjaga keselamatan desa.

Jenis Barong Ket yang ada pada Barong Swari di Desa Jumpai merupakan jenis tari barong yang yang memiliki perbendaharaan gerak tari yang paling lengkap. Dari tampilanya barong yang dihiasi dengan kulit yang berukiran rumit, serta potongan kecil kaca yang disusun bagai permata yang berkilau ketika tertimpa cahaya, menunjukkan seni daya cipta yang mengesankan. Ditambah dengan bulunya yang terbuat dari daun sejenis pandan atau ijuk, menambah kesan bahwa barong ket di Desa Jumpai ini merupakan perwujudan dari seni lokal tradisional yang unik, indah. Barong ditarikan oleh dua orang penari, yakni juru saluk atau juru bapang. Satu di bagian kepala, dan yang lainnya di bagian pantat atau ekornya. Iringan gamelannya  Semar Pagulingan. Sebagai tarian sakral, barong dipentaskan secara khidmad dan terkesan mistis, tapi sebagai hiburan biasanya barong ditarikan dengan tambahan gerakan improvisasi penarinya agar penonton merasa terhibur karenanya, seperti pertunjukan ilmu kekebalan, dan terkadang ada unsur humor ( Proyek Sasana Budaya Bali,1976: 29-30 ).

Kostum penarinya yang unik, busana yang bergaris hitam dan putih dengan bagian kaki dihias bulu dan gelang gengseng, menimbulkan efek bunyi tertentu jia penari menggerakkan kedua kakinya.Kekompakan gerakan kedua penarinya, memperlihatkan gerakan indah barong, sambil mengikuti alur ceriteranya. Dipasangkan dengan Rangda yang berwujud raksasa yang mengerikan, maka pertunjukan barong semakin memikat hati penontonya dengan keindahan dan keunikan gerakan sambil mengikuti alur ceritera yang sejalan dengan konsep budaya dan agama di Bali. Apalagi dengan kaitannya yang erat antara Barong Swari dengan pertunjukan Tari Telek seni tari tradisional Desa Jumpai dengan beberapa topengnya yang indah dan unik, menjadi bentuk kesatuan pertunjukan yang bersifat sakral, tetapi juga memiliki sisi seni yang indah. 

Barong Swari yang sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Jumpai, dengan sendirinya mengikuti perkembangan paradigma pemikiran yang lebih praktis dan dinamis seiring dengan semakin kencangnya laju modernisasi. Kepentingan duniawi/ pariwisata berjalan bersama dengan urusan rohani keagamaan, dengan tidak merugikan khususnya kepentingan keagamaan. Pementasan barong kemudian dilakukan ke luar daerah, seperti Gianyar , Karangasem, Singaraja, dan tahun 1997 mengadakan pentas ke Jepang dengan mengunakan duplikat barong ( Hasil Wawancara dengan Bapak I Ketut Suarjana, sama dengan di atas ). Sebagai maestro Barong Swari pada waktu itu adalah I Ketut Renteg, dan sekarang dilanjutkan oleh puteranya seorang seniman ternama tari barong. Di ajang nasional Barong Swari juga pentas di PKB( Pusat Kesenian Bali ) Denpasar, dengan mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat umum. Keberhasilan ini menjadi dorongan kuat bagi masyarakat Desa Jumpai khususnya, dan Pemerintah Kabupaten Klungkung untuk meluaskan dukungan mereka dalam mengembangkan dan menjaga eksistensi Barong Swari dalam memenuhi fungsi dan makna sosial budaya dalam masyarakat. Begitu kuatnya ikatan budaya Barong dengan masyarakatnya, termasuk kaum muda sebagai pendukung utama yang sangat antusias erhadap keberlanjutannya bahkan anak kecil juga sudah mengenal, menyukai dan turut serta dalam segala kegiatan yang terkait dengan barong di desanya ( Hasil Wawancara dengan I Kadek Angga Gumana 22 Tahun, Pada Tanggal 18 Juli 2022 di Kantor Kepala Desa Jumpai Klungkung) .

Keterkaitan pertunjukan Barong Swari dengan upacara keagamaan, adalah sifatnya yang sakral dan mistis.  Selain dipentaskan setiap hari Kajeng Kliwon (lima belas hari sekali ), Barong Swari mesolah juga ada dalam ngejengin wali , yakni semua pura yang terdapat di lingkungan Desa Jumpai. Di Pura Dalem Kekeran, Pura Segara, Pura Desa, Pura Taman Sari dan Pura Penataran Cangkring. Prosesnya adalah bahwa tapel / topeng Barong Ratu Gde Lingsir sebagai sesuhunan/sesembahan masyarakat Desa Jumpai, topeng Barong Ratu Gde Anom sebagai duplikat serta Ratu Ayu ( Rangda ) dengan pengiringnya diusung dari Pura Penyimpenan menuju Pura dimana wali/upacara diadakan. Setibanya di jaba tengah, disambut dengan upacara pemendak yang dilakukan oleh pemangku . Setelah selesai, Ratu Gde Lingsir dan Anom beserta Ratu Ayu beserta pengiringnya di linggihang di bale dan diberi banten/ sesajen. Selanjutnya pertunjukan dimulai mengawali persembahyangan. Pertunjukan barong sebagai awal persembahyangan menandai adanya petunjuk kepada manusia bahwa jika ingin bersembahyang atau komunikasi dengan Tuhan batin dan pikirannya harus bersih dan siap, setelah menyaksikan pertunjukan barong yang pada dasarnya mengandung filosofis kemenangan dharma atas adharma.

Sementara pertunjukan pamahayun desa atau penyelamat desa dari ancaman wabah penyakit yang diselenggarakan lima belas hari sekali/ setiap Hari Kajeng Kliwon, yang menceriterakan perang antara barong( Dewa Wisnu ) dengan rangda (Dewi Durga), menunjukkan bahwa hidup manusia itu sebenarnaya merupakan pertentangan antara baik dan buruk. Kemenangan barong kemudian memberikan makna bahwa kalau manusia berhasil mendahulukan kebaikan, maka hidupnya akan sehat sejahtera.

Ceritera Barong swari diawali dengan menghilangnya Bhatara Giri Putri menjelma ke dunia menjadi Dewi Durga. Batara Siwa mengutus para Dewa untuk membujuknya agar mau kembali ke Siwaloka. Inti ceriteranya adalah perjalanan para Dewa yang dimulai dengan pengembaraan Dewa Iswara ke empat penjuru dunia yang dalam lakon ini ditarikan dengan bentuk topeng putih ( telek ). Kemudian menyusul pengembaraan Dewa Brahma ke dunia yang ditarikan oleh Topeng Bang ( Jauk ) Penamprat. Di tengah perjalanan Dewa Brahma bertemu dengan Dewa Iswara yang sama-sama juga tidak bisa menemukan Dewi Durga. Selanjutnya Dewa Wisnu juga turut mengembara ke dunia , dengan bentuk Topeng Ireng yang disebut sebagai Banaspati Raja yang dalam perwujudannya disebut sebagai Barong. Barong dalam perjalanannya sampai di hutan bertemu dengan binatang hutan, kera. Pengembaraan Dewa Wisnu ( barong ) sampai di kuburan Gandamayu. Barong melihat Rangda yang sedang menekuni ilmu hitam untuk menyebar gerubug / wabah penyakit. Barong menanyakan hal ini kepada Rangda yang tidak mau menjawab, karena sedang bertapa untuk menguasai ilmu hitam. Barong marah, terjadilah perang diantara mereka, pada saat itulah keduanya menyadari siapa mereka sebenarnya. Pada saat itulah kemudian Barong ( Dewa Wisnu ) menyampaikan pesan Dewa Siwa agar Rangda ( Dewi Durga ) bersedia kembali ke Siwaloka, dan kembalilah Dewi Durga ke Siwaloka ( I Ketut Suarjana, tanpa tahun: Lakon Barong Swari Desa Jumpai ). Kisah ini bisa dimaknai sebagai kemenangan dharma terhadap adharma akan membawa keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia.

Pertunjukan Barong Swari yang menjadi hakekat penting dalam upacara keagamaan, menunjukkan bahwa Barong sebagai penjelmaan Dewa Wisnu memberikan sifat dan nilai kesucian bagi upacara itu, sehingga doa dan permohonan manusia yang dilakukan dengan hati bersih akan diterima Tuhan/Hyang Widhi. Segala kuasa leak dan ilmu hitam lain yang akan mendatangkan wabah penyakit di Desa Jumpai, bisa dikalahkan oleh kebersihan hati. Oleh karena sesuai dengan bunyi pewisik pertunjukan barong harus dilaksanan pada tiap hari Kajeng Kliwon, memiliki makna tersendiri. Upacara Kajeng Kliwon termasuk dalam upacara Dewa Yadnya. Masyarakat Hindu Bali meyakini bahwa upacara Kajeng Kliwon begitu suci, sehingga dianggap keramat karena Kajeng Kliwon merupakan hari pemujaan/semedi dari Dewa Siwa. Kesuciannya inilah yang menjadi kekuatan untuk mengusir dan menatralisir kekuatan ilmu hitam/pengleakan. Kesucian yang menjadi kekuatan tersebut dimunculkan dengan cara melakukan pengendalian diri ( meditasi, yoga ), dengan sarana banten  segehan/ blabaran.

Kesakralan Barong Swari identik dengan masyarakat Desa Jumpai sebagai pendukungnya. Sebagai contohnya, jika ada pemain barong baru, maka dia harus mewinten terlebih dahulu, untuk penyucian diri secara lahir dan batin sebelum melakukan tugasnya menari barong. Mengingat Desa Jumpai terletak di dekat pantai, maka cukup banyak masyarakatnya yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Disini ada ketentuan jika ada yang mendapatkan ikan hiu, maka harus dikembalikan lagi ke laut. Ada indikasi usaha pelestarian lingkungan/laut ( Hasil Wawancara dengan  I Kadek Angga Gumana 22 tahun, Pada tanggal 18 Juli 2020 di Kantor Kepala Desa Jumpai ).

Makna Keindahan Seni

Bahwa kegiatan keagamaan /ibadah yang sakral bisa dilakukan lewat kesenian tari barong , yang mengekspresikan adat budaya masyarakat Hindu Bali di Desa Jumpai. Dengan demikian pertunjukan seni tari barong sebagai bentuk kearifan lokal ikut berperan sebagai  pengawal etika manusia agar tidak melenceng dari norma kehidupan yang sudah lama tergerus oleh arus modernisasi yang kadang kala membawa pengaruh negatif.

Keindahan gerak tari Barong, penyajian ceritera yang dilakukan melalui struktur pertunjukan dan perwujudan barong yang unik dan indah, mencirikan bahwa seni tari barong ini juga menjadi hiburan yang menyegarkan bagi masyarakat. Dengan gerakan tarian indah yang menghibur ini, ajaran moral akan lebih mudah dicerna oleh masyarakat yang menontonnya.Pada gilirannya ajaran  etika moral secara Hindu diterima oleh masyarakat dengan mudah tanpa ada unsur paksaan.

Pertunjukan berlangsung sekitar 20 menit (Hasil Wawancara dengan I Nengah Mariya 63 tahun, sama dengan di atas ) dan Struktur Pertunjukan Barong Swari di Desa Jumpai meliputi:

- Pembukaan yang diawali dengan bunyi tetabuhan.

- Muncul empat orang sandaran manis,disusul oleh telek sandaran manis.

- Tampil empat sandaran keras, dan telek sandaran keras. Kemudian sandaran manis masuk ke dalam

- Tampil tari jauk hingga selesai.

- Barong Swari menari, disusul oleh bojog dan bebondresan, mereka bermain bersama.

- Kalika menari sesuai ceritera, dan kemudian dia berteriak meminta bantuan rangda, karena kalah melawan barong.

- Barong bertarung melawan Rangda, dan rangda memasukkan sepotong kain putih ke mulut barang

- Para pengunying berteriak kerauhan , dan para pemangku memberi banten berupa anak ayam, arak, tuak dan lain-lainnya.

-  Para pemangku menyajikan sesajen pemelepeh , serta memercikkan air suci kepada Barong, Rangda dan Pengunying. Suasana yang semula ramai, menjadi tenang. Barong dan Rangda kembali pada linggih semula , dan pertunjukan selesai.

Pertunjukan di atas, diiringi dengan berbagai gending gamelan:

  1. Tabuh pembukaan, ini berfungsi untuk memanggil dan memberitahu penonton bahwa pertunjukan akan dimulai.
  2. Tabuh pengiring tari, yang bunyinya disesuaikan dengan bagian struktur pementasan ( Ida Ayu Made Dyatmika, op.cit : 20-22 ).

Jadi dengan menyaksikan pada keindahan gerak tari dan pengaturan strktur pementasan, masyarakat akan mendapatkan hiburan yang kemudian akan berpengaruh pada kesegaran dan ketenangan jiwa, dan itu akan juga berpengaruh bagi kesehatan rohani dan jasmani.