Be Guling
Pengertian Babi Guling
Babi guling adalah masakan khas Bali, dibuat dari seekor babi utuh dimana sebelum proses penggulingan isi perut dibersihkan terlebih dahulu. Sebabnya disebut dengan babi guling karena dalam proses pembuatannya, diguling-gulingkan di atas bara api. Babi guling yang telah matang ditandai oleh perubahan warna kulit dari putih menjadi coklat kemerah-merahan. Sudana (1997) menyebut, babi guling adalah nama suatu produk olahan daging babi yang penamaannya disesuaikan dengan proses pengolahannya, yaitu karkas seekor babi utuh (tanpa direcah) dipanggang di atas bara api hingga matang secara sempurna.
Sejarah
Mengenai sejarah perkembangan kapan be guling itu ada belum diketahui secara pasti, tetapi menurut sumber dari kesusastraan Hindyaitu Lontar Sundarigama yang dikutif oleh Suandra (1997) dan Suastika 2007:57), menyebutkan bahwa, dalam pelaksanaan yajna yang dilakukan saat wuku wariga dapat diketahui bahwa salah satu sarana upakara yang digunakan adalah babi guling atau guling itikyang dipersembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Lontar Raja Purana, juga menyebutkan bahwa saat upacara kurban pebalik sumpah, yaitu pada usabha posya, (bulan Desember), bahwa Bhatara Turun Kabeh sarana upacaranya disebutkan juga dengan menggunakan sarana upakara berupa babi pinudhukan dicencang 2, pajuwit 1, be guling (babi guling 1), kerbau hitam 1. Pada saat bulan gelap (tilem) upacara di Melmanyema, babi dicencang 2, babi guling1, patabwan, daging babi seharga 100, daging banteng, kambing(Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1986 : 39).
Lebih jauh dijelaskan bahwa babi gulingjuga digunakan sebagai sarana upacara saat pelakanaan usabha posyayaitu upacara yang berlangsung pada bulan Desember, sebagai sarana persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya keberadaan usaha Babi Guling di desa Beng kabupaten Gianyar, awalnya dibuat oleh masyarakat hanya sebagai sarana upacara dan untuk memenuhi kebutuhan pokok (konsumsi). Namun dalam perkembangannya berikutnya Babi Guling ini difungsikan untuk memenuhi berbagai fungsi. Selain upacara juga ada untuk kuliner. Dalam konteks ritual masyarakat masih percaya dengan kearifan lokal tradisi-tradisi yang dilakukan masyarakat seperti misalnya ketika masyarakat mau menyantap babi guling “guling” yang tidak difungsikan untuk upacara di sini ada tata cara khusus menurut kepercayaan masyarakat Bali, yaitu dengan cara lebih awal mempersembahkan bagian-bagian tubuhnya seperti : sedikit Kaki, hidung, telinga yang dinamakan dengan istilah kuku rambut dipersembahkan ke-hadapan Ida Sang hyang Widhi Wasa yang diyakini dapat memberikan perlindungan kepada umat manusia, dan memohon kehadapan beliau, semoga tidak mengalami musibah dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Acara nguling selain untuk kebutuhan konsumsi (makanan keluarga) dan upacara, pembuatan babi guling secara khusus biasanya dilakukan pada saat ada acara ninggungin. Ninggungin adalah tradisi menyemblih anak babi, yang biasanya dilakukan oleh warga masyarakat peternak babi. Ketika babi peliharaannya beranak, dalam umur sekitar tiga sampai empat bulan, salah satu dari anak babi tersebut diguling, untuk upacara yang disebut dengan ninggungin. Yang pemaknaannya yaitu sebagai ungkapan rasa syukur kehadapan-Nya, karena selama berternak, ternak nya telah diberikan perlindungan, kesehatan sehingga babi betinanya dapat melahirkan yang banyak.
Fungsi Salah satu fungsi upacara itu yang menunjukkan kearifan dalam beryadnya adalah untuk menunjukkan kepuasan psikologis. Dengan kata lain melalui penyelelenggaraan upacara Panca Yajnya menghendaki terwujudnya masyarakat selalu ingat dengan dengan leluhur, dengan Rsi, dengan para bhuta kala, hubungan manusia dengan manusia, dan dengan Tuhan. Fungsi Dalam Pelaksanaan Upacara Panca Yadnya Fungsi religi atau upacara keagamaan adalah fungsi yang berkaitan dengan upacara kegamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali umumnya dan masyarakat desa Pakraman Beng khususnya. Seperti misalnya dalam pelaksanaan upacara Panca Yadnya masyarakat senantiasa berhadapan dengan berbagai jenis jenis bebanten dengan segala fungsinya seperti memiliki fungsi sebagai alat konsentrasi untuk memuja Ida Hyang Widhi Wasa, ( Mas Putra 1982 :3). Panca Yajnya merupakan upacara kurban suci yang ditujukan kepada para leluhur, para Resi, para Bhuta Kala, kepada Tuhan, kepada manusia dari baru lahir sampai dewasa. Segala bentuk dan jenis bebanten yang difungsikan sebagai sarana dalam pelaksanaan dalam upacara Panca Yajnya. Konsep ini teridentifikasi dalam pelaksanaan upacara bahwa dengan mendekatkan diri dengan Ida Sang hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Masha Esa serta manifestasinya dengan jalan beryadnya akan dapat mencapai kesucian jiwa. Sudah tentu dalam pelaksanaan upacara ada upakaranya yang merupakan alat penolong untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk nyata. Panca Yadnya oleh masyarakat desa Beng merupakan jenis upacara tradisi yang sangat disakralkan, hal ini dilihat dari rangkaian-rangkaian yang telah dilaksanakan para pengelingsir (tetua) adat sebelumnya kini masih tetap dijalankan sebagaimana mestinya dengan tanpa sedikit pun mengurangi rangkaian-rangkaian, arti, dan makna yang telah diwarisinya. Upacara ini sangat diyakini oleh masyarakat Bali umumnya dan masyarakat adat Beng khususnya sebagai salah satu penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan. Maka dari itu upacara Panca Yadnya ini menurut informasi dari bendesa Pakraman Beng sampai saat ini belum pernah tidak memanfaatkan Be Guling (Babi Guling) sebagai sarana upacara. Karena ini sudah merupakan tradisi bahwa dalam setiap upacara yang menggunakan bebanten seedan sudah pasti sarananya adalah dengan menggunakan be Guling (Babi Guling). (wawancara dengan Ida Bagus Putu Bawa Bendesa Pakraman Beng , tanggal 24 April 2019). Sebelum menguraikan lebih jauh tentang proses pelaksanaan Panca Yadnya, diawali dengan menguraikan pengertian tentang yadnya. Apa sebab demikian karena setiap persembahan yang dilakukan termasuk persembahan babi guling adalah merupakan bagian dari yadnya “persembahan” yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali.
Adanya para dewa adalah kerena yajna, semoga mereka menjadikan engkau demikian, dengan saling memberi engkau akan memperoleh kebajikan paling utama. Atas dasar yang tersirat dalam Bhagawad Gita di atas, bahwa manusia diciptakan berdasarkan yajna, dan juga wajib melaksanakan yadnya dan memelihara alam semesta. Masyarakat Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan upacara ritual dalam Falsafah Tri Hita Karana. |
Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan paradewa-dewa. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur alam. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang. telah meninggal. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan para orang suci umat Hindu. Dalam pelaksanaan Panca Yadnya sudah tentu pelaksanaannya menggunakan sarana upakara salah satunya adalah sarana be guling (babi guling) untuk melengkapi sarana ini. a. Fungsi Dalam Pelaksanaan Manusa Yadnya Manusa Yadnya adalah proses upacara untuk menusiakan manusia melalui ritual agama yang disebut dengan upacara Manusia Yadnya, (Wiana, 2001: 239). Proses uapacara ini biasanya dilakukan dari bayi bari lahir. Upacara Manusia Yadnya pada intinya menginisiasi manusia dari tahapan hidup sampai menuju tingkatan yang lebih tinggi status kesuciannya. Tujuan dari Sarira Samkara itu menyucikan manusia agar ia semakin menjadi manusia yang lebih memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Upacara Manusia Yadnya juga ada disebutkan dalam Manawa Dharma Sastra II.26 yang dalam sloka-slokanya ada yang menguraikan nama dan tata penyelenggaraannya upacara Sarira Samkara. Proses penyucian ini dalam tradisi Hindu disebut dengan UpacaraManusia Yadnya. Secara filosofis Upacara Manusa Yadnyaini sebagai sebuah penggambaran memanusiakan manusia agar jangan sampai ia kehilangan kemanusiannya. Kalau manusia hidup tanpa kemanusiaan. Akibatnya ia akan hidup bagaikan kumpulan srigala yang setiap kali akan saling menerkam satu sama lainnya. Intinya adalah upacara ini dilaksanakan adalah untuk menjaga harkat dan martabat sebagai manusia. Dalam memanusiakan manusia ini maka diadakanlah upacara yang disebut dengan Upacara Yadnya. Sebagai sarana upacara jenis-jenis upacaranya lainnya yang juga menggunakan babi guling sebagai sarana upacara, seperti: upacara Tiga Bulanan, Enam Bulanan, dan Potong Gigi. Sarana upakara yang disebut dengan Bebangkit (Pulegembal) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa lepas dengan sarana upakaranya be guling (babi guling). b. Fungsi Dalam pelaksanaan Bhuta Yadnya. Dalam pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya, sebagai contoh dalam pelaksanaan upacara Caru Rsi Gana juga memanfaatkan sarana babi guling sebagai sarana upacara. Banten Bebangkit adalah lambang alam semesta yang dasyat dengan sifat-sifat bhuta kala dengan Dewanya Dewi Durga. Dengan Banten Bebangkit nyupat aspek bhuta kala dari bebangkit itu, dengan demikian alam yang dasyat itu akan menjadi berguna bagi kehidupan manusia apabila diperlakukan secara baik dan penuh rasa kasih sayang seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Karena itu alam juga disebut pertiwi. Banten bebangkit yang betuknya sangat besar dan utama atau yang disebut juga dengan sarad dengan hiasan jajan yang dibuat sangat indah dengan symbol-simbol tertentu. Dalam upacara yadnya,banten bebangkit selalu selalu digunakan bersamaan denganbanten pulegembal dan banten sekar taman. Banten Bebangkit, Dewanya adalah Dewi Durga yang dapat mengendalikan bhuta kala. Banten Pulegembal ditujukan kepada Dewa Gana yang melindungi manusia dari gangguan bhuta kala.Banten Sekar Taman diujukan kepada Dewa Smara Ratih. |
Menurut Ida Bagus Putu Bawa (Jero Bendesa Adat Beng), menyatakan bahwa dalam pelaksanaan upacara yang sarana menggunakan pulegembal dan bebangkit sudah dipastikan ada sarana upacara yang sama sekali tidak boleh dilupakan dan itu harus ada yaitu be guling (guling).
Fungsi Dalam Pelaksanaan Dewa Yajnya
Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan sinar suci-Nya yang disebut dewa-dewi. Adanya pemujaan kehadapan dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dapat mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini. Seperti contoh misalnya matahari dapat menerangi serta mempengaruhi kehidupan di dunia dengan sinarnya, demikian pula kebesaran Ida Sang Hyang Widhi juga menerangi dan mengatur gerak kehidupan di alam semesta dengan sinar-sinar-Nya.
Bhagawadgita menyebutkan bahwa :
“ kanksantah karmanan siddhim
yajanta iha devatah
ksipram hi manuse loke
siddhir bhavati karmaja (IV.12).
Artinya:
Mereka yang menginginkan hasil pekerjaan di atas dunia ini menyembah para dewa, karena hasil dari sesatu pekerjaan adalah mudah sekali didapat diatas dunia ini.
“ daivam eva pare yajnam
Yoginah paryupasate
Brahmagnav apare yajnam
Yajnenai ‘vo’ pa juhvati (IV.25), dalam (Suarjaya,2008:7).
Artinya:
Beberapa orang Yogin beryajna hanya kepada para Dewa, yang lainnya beryajna dengan yajna itu sendiri kedalam api suci Brahman ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Dalam Lontar Warga Sari Usana Bali persembahan Guling kaitannya dengan rangkaian upacara persembahan ke–hadapan Ida Bhatara Sri yaitu dalam kehidupan agama hindu di Bali disebut dengan upacara mantenin padi (upacara setelah padi di Lumbung) ada disebutkan :
Haturang munggah sampun,Munggah ko ka lumbunge, Hasep menyan majegau,
Munggah ko ka lumbunge,Malih tekening sesayut,Maduluran lawan guling,
Abug iwel lawan kiping, Punika ne kahaturang
Mangkin sampun katur,Ring Bhatara Sri, (W,U,B.33).
Terjemahannya :
Silahkan haturkan ke atas, naikkan ke lumbung itu, asep menyan, majegau,
naikkan ke lum bung itu, serta dengan sesayut, disertai dengan guling,abug, iwel, serta kiping, itulah yang dihaturkan sekarang, sudah dipersembahkan ke hadapan Bhatara Sri.
Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa penggunaan sarana gulingsebagai salah satu sarana upacara dalam rangka dipersembahkan ke Bhatara Sri (upacara padi setelah di Lumbung).
Fungsi Dalam Pelaksanaan Pitra Yajnya. |
Hutang kepada Pitra(leluhur)diselesaikan dengan jalan melakukan Pitra Yadnya dan Manusa Yajnya. Pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya seperti Upacara Ngaben, Ngeroras, Ngelinggihang di Bali termasuk penggolongan upacara besar yang sudah tentu sarana upacaranya dengan menggunakan bebangkit beserta kelengkapan sarana yang lain seperti be guling (babi guling)yang memang harus ada dalam prosesi upacara ini.
Fungsi Dalam Pelaksanaan Rsi Yadnya Membayar hutang kepada para Resi dalam lontar Agastya Parwa disebutkan melakukan bhakti kepada para Pandita serta memahami hakikat diri sebagai manusia disebutkan: “Rsi yajna ngaran kapujan ring Pandita muang sang wruh ring kalingganing dadi wang”.(Wiana, 2001:185). Dalam proses penyelenggaraan upacara Rsi Yajna ini sudah tentu dengan sarana yang cukup besar. Salah satunya adalah penggunaan bebanten (sarana upacara) yang disebut dengan bebangkit dan pula gembal yang dilengkapi dengan sarana beguling (babi guling). Salah contoh misalnya dalam proses upacara Dwi Jati yang merupakan bagian dari Rsi yajna. Dwi Jati merupakan proses pentasbihan menjadi pendeta untuk melaksanakan tugas-tugas Maha Rsi penerima sabda. Yang sebelumnya harus melalui proses Dwi Jati. Dwi Jati merupakan proses seseorang untuk mempersiapkan diri sebagai menjadi Dwi Jati. Fungsi Kuliner Tradisional Komang Budaarsa dalam Bukunya yang berjudul “ Babi Guling Bali “ menyebutkan bahwa : “ Biro perjalanan sudah mulai mengagendakan paket wisatawan ke warung makan Babi Guling. Salah satunya adalah warung makan Bu Oka yang berada di depan Puri Ubud Gianyar. Demikian juga terhadap Warung makan Pande Egi Sujana yang tepatnya berada di tengah-tengah desa Beng yang kini juga banyak dikunjungi oleh wisatawan Domestik maupun Mancanegara. Warung makan Pande Egi dibuka mulai jam10.00 wita. Setiap harinya dibanjiri wisatawan Mancanegara. Banyak di antaranya sudah berkali-kali yang datang ke Bali dan selalu singgah di rumah makan tersebut. Seperti penuturan Robert Bowman dari Australia mengatakan : “ sudah 20 kali berkunjung ke rumah makan tersebut”. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tidah hanya makan di sana saja melainkan juga di lain tempat seperti misalnya di Rumah Makan Banjar Teges Gianyar. Di Denpasar, Singaraja yang menyediakan menu Bali Guling yang enak dan gurih. |
Para wisatawan dari berbagai belahan dunia juga sangat menyukai Babi Guling, belum terhitung wisatawan dari Korea, Cina, Jepang, Taiwan dan negara-negara Eropa yang umumnya di negeri asalnya suka daging Babi. Juga wisatawan Nusantara yang tidak mengharamkan daging babi.