Cingkreman
Cingkreman berasal dari kata cingkrem yang berarti simpanan wajib dalam bentuk uang, biasanya dilakukan oleh anggota banjar atau perkumpulan secara bersama-sama ;macingkrem berarti tertabung; nyingkrem berarti menabung bersama; pacingkreman berarti tabungan bersama atau uang pangkal suatu usaha banjar (Partami et al., 2016). Dalam kamus bahasa Bali juga menyebutkan kata cingkrem, pacingkrem yang berarti uang pangkal yang dikenakan kepada anggota sebuah sekaa atau perusahaan dalam desa (Kersten S.V.D, 1984). Selanjutnya cingkreman juga berarti simpanan pihak ketiga yang dilakukan setiap hari kerja termasuk hari minggu dan hari libur lainnya, dengan jumlah nominal sesuai kesepakatan anggotanya dan penarikan hanya dapat dilakukan ketika masa kontrak berakhir (Adnyani et al., 2019) . Cingkreman merupakan sejumlah uang yang disetorkan setiap hari dengan jumlah besaran yang berbeda-beda sesuai kemampuan anggota sekaa dan biasanya dipergunakan untuk mempersiapkan dana saat hari raya Galungan (Suryantari, 2019).
Keberadaan sekaa cingkreman tidak terlepas dari sejarah masa lalu seperti yang termuat dalam tulisan sejarawan Bali I.B. Sidemen (1995) yang merupakan laporan akhir dari penelitian yang didanai The Toyota Foundation yang berjudul “Perkembangan Lembaga Kredit Tradisional Di Bali Abad XIX-Awal Abad Ke XX (1837-1927). Dalam tulisan tersebut dinyatakan bahwa sebelum Bali dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda, di Bali tidak dikenal istilah atau bentuk desa dinas, yang ada hanyalah desa adat. Bali dalam bentuk sekaa seperti sekaa memula (organisasi menanam padi), sekaa manyi ( organisasi mengetam padi), sekaa nyuh (organisasi memelihara dan mengerjakan kebun kelapa), sekaa semal (organisasi menghalau tupai) dan sekaa jongkok (organisasi simpan pinjam). Selain itu ada pula organisasi yang bergerak dalam bidang khusus seperti subak (organisasi yang mengatur dan mengelola sistem pengairan pada sistem pertanian basah) dan juga kerama pemaksan (organisasi masyarakat adat yang mengelola dan memelihara tempat ibadah Hindu dan dadya ( organisasi yang mengelola dan memelihara pura keluarga) (Sidemen, 1995). Hal tersebut dikuatkan pula dengan hasil wawancara sesuai keterangan narasumber sejarawan (Alm) I.B. Sidemen dan pada saat pelaksanaan FGD tanggal 28 Juli 2023. Menurut keterangan yang diberikan saat FGD, cingkrem sudah dilakukan oleh Belanda sehubungan dengan pembayaran pajak. Sekaa jongkok yang secara khusus bergerak dalam bidang simpan pinjam (menyerahkan cingkrem) dan yang meminta pinjaman disebut nyager (Sidemen, 1995:18). Dari wawancara yang dilakukan, (Alm) I.B. Sidemen selaku narasumber sejarawan menyatakan konsep awal cingkreman dapat dilihat dari 2 (dua) sisi kegiatan berikut yaitu:
1. Konteks individu (rumah tangga)
Tatakan banyu adalah sebuah kegiatan rumah tangga yang berlandaskan cingkreman. Kebiasaan masyarakat jaman dulu yang disebut tatakan banyu atau memelihara ternak babi dari bibit yang dibeli sendiri atau diberikan orang lain.
2. Konteks masyarakat
Konsep cingkreman berhubungan dengan setoran yang dilakukan warga desa terhadap beberapa kewajiban ke pura maupun berhubungan dengan pelaksanaan upacara yadnya. Berdasarkan konsep tersebut cingkreman dapat dikatakan sebagai sebuah kebiasaan menabung yang peruntukannya dikhususkan untuk melaksanakan aktivitas budaya berbasis religi. Seiring perkembangan jaman, cingkreman telah berkembang dan bertransformasi namun tidak meninggalkan roh dari cingkreman sebagai sebuah perencanaan keuangan keluarga yang berbasis budaya.
Karakteristik cingkreman yang dapat ditemui saat ini sebagai berikut.
- Cingkreman yang nantinya akan dibagikan sesuai kesepakatan dengan jumlah sebesar jumlah yang disetorkan.
- Cingkreman dibagikan saat tertentu dengan pemotongan sejumlah rupiah tertentu untuk jasa klian sekaa (Suryantari, 2019).
Jika dilihat dari kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung dalam sekaa cingkreman, karakteristik sekaa cingkreman dapat digolongkan sebagai berikut.
- Cingkreman yang ada dalam lingkup satu keluarga besar dalam satu sanggah gede atau satu lingkungan dalam lingkup dadya yang dipergunakan untuk keperluan yadnya dan tidak dilakukan pemotongan terhadap jumlah yang disetorkan.
- Cingkreman yang ada dalam lingkup banjar atau luar banjar yang dikelola oleh seseorang yang bertindak selaku klian sekaa dan biasanya dilakukan pemotongan terhadap jumlah yang disetorkan dan penarikannya biasanya menjelang hari raya Galungan.
- Cingkreman yang ada dalam lingkup pasar yang dikelola oleh seseorang yang bertindak selaku klian sekaa dan jumlah yang dibayarkan nantinya dipotong jasa untuk klian sekaa.
Keberadaan cingkreman masih eksis di tengah masyarakat sebagaimana penelitian yang dilakukan di beberapa wilayah kota dan kabupaten di Bali. Dengan menggunakan alat analisis NVivo dalam melakukan koding terhadap transkrip wawancara, diperoleh hasil bahwa nilai-nilai budaya yang terkandung dalam praktik cingkreman sebagai berikut. Pertama, nilai antisipatif merupakan nilai yang bersifat tanggap terhadap sesuatu yang sedang (akan) terjadi. Dalam hal ini sesuatu yang sedang (akan) terjadi adalah pelaksanaan hari raya Galungan. Seorang pelaku cingkreman menerapkan nilai antisipasi dengan cara menjadikan cingkreman sebagai referensi perencanaan keuangan. Kedua, nilai disiplin yang berarti ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan. Dalam hal ini nilai disiplin merupakan ketaatan para pelaku cingkreman dalam mentaati ketentuan yang telah disepakati. Nilai disiplin diterapkan dalam cingkreman dengan cara disiplin menabung dalam cingkreman dan disiplin mengelola cingkreman. Ketiga, nilai kerja sama yang dipraktikkan dengan cara cingkreman dijalankan dengan gotong royong dan kebersamaan. Keempat, nilai material yang mengandung makna seberapa banyak jumlah dana yang dikelola dan berdampak pada ekonomi para peserta cingkreman, yang dipraktikkan dengan cingkreman disetor setiap hari dan ditarik setiap 210 hari dan melibatkan banyak masyarakat. Kelima, nilai moral etis merupakan cara hidup seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun cara mempraktikkan nilai moral etis adalah dengan spirit membantu sesama, dan klian cingkreman yang bertindak jujur. Keenam, nilai religius yang dapat dicermati dengan cingkreman sebagai sebuah atmanastusti. Menurut keterangan narasumber agamawan Bapak I Gusti Made Ngurah, atmanastusti berarti kepuasan pribadi yang menjadi kesepakatan. Sedangkan pendapat dari Alm. I.B. Sidemen nilai religius pada cingkreman dipraktikkan dengan konsep religius magis idealis yang memandang segala sesuatu secara sakral. Selain itu, juga konsep religius profan materialistis yang memandang bahwa religiositas dipengaruhi oleh kapitalis yang telah memperhitungkan keuntungan duniawi. Ketujuh, nilai tolong-menolong yang dipraktikkan dengan cara saling bantu dalam peningkatan kesejahteraan dan saling bantu persiapan hari raya. Jika disusun akronim dari ketujuh nilai tersebut ditemukan nilai RAKET MASIKIAN dalam praktik cingkreman. Makna nilai ini adalah hubungan yang sudah ada akan terjalin lebih erat dengan tergabung dalam sekaa cingkreman. Dari sisi aspek ekonomi, cingkreman merupakan solusi keuangan saat melaksanakan hari raya atau aktivitas budaya yang berbasis religi lainnya. Hal ini berdampak terhadap kondisi psikologis para pelaku cingkreman, dimana jika masalah keuangan sudah teratasi maka akan merasa aman, nyaman dan tenang saat hari raya.
Dalam upaya pelestarian Cingkreman, beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
- Pelindungan yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan menjaga kelestarian cingkreman dengan cara bekerjasama dengan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali dan MDA (Majelis Desa Adat ) Provinsi Bali dalam membuat kajian hukum sehingga dapat terbentuk sebuah dasar hukum yang memuat cingkreman dalam awig-awig desa adat.
- Pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan cara konsep cingkreman diterapkan dalam tabungan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan seperti LPD, koperasi simpan-pinjam maupun bank-bank umum.
- Pemanfaatan dana cingkreman yang dikhususkan untuk membiayai aktivitas budaya berbasis religi merupakan ciri khas dari cingkreman dan kebermanfaatannya sangat dirasakan oleh para pelakunya. Sepanjang manfaat tersebut masih dirasakan, maka praktik cingkreman akan senantiasa dilakukan dan tetap lestari di masyarakat.
- Pembinaan terhadap sekaa yang sudah ada harus dilakukan secara intensif oleh pihak yang terkait seperti klian banjar, klian adat, LPD, PKK (krama istri) maupun dinas terkait. Pembinaan dapat dilakukan dengan sosialisasi pengenalan cingkreman di banjar yang belum mempraktikkan cingkreman. Pembinaan juga dapat dilakukan kepada sekaa cingkreman yang ada dalam hal pengelolaan sekaa cingkreman secara sehat dan transparan sehingga tetap diminati oleh masyarakat.
- Dukungan yang dapat diberikan oleh pemerintah pusat dalam melestarikan praktik cingkreman adalah dengan cara mengukuhkan praktik cingkreman sebagai warisan budaya tak benda sehingga cingkreman sebagai salah satu kearifan lokal Bali khususnya dalam melakukan perencanaan keuangan keluarga dapat memperkaya peninggalan budaya nasional yang layak untuk dilestarikan. Pengakuan tersebut akan berdampak pada cingkreman akan semakin dikenal sebagai sebuah perencanaan keuangan keluarga yang berbasis budaya yang nantinya tidak saja bisa dilakukan oleh masyarakat Bali tapi juga masyarakat daerah lainnya sesuai adat dan tradisi yang ada. Peran pemerintah daerah adalah melakukan koordinasi dengan dinas terkait dalam membuat produk hukum terutama hukum adat yang memuat tentang aktivitas dan lembaga keuangan baik formal dan informal yang bernafaskan kearifan lokal Bali. Sekaa cingkreman sebagai sebuah institusi informal yang terbentuk tatanan normatif, nilai-nilai dan perilaku yang berlandaskan tri kaya parisudha senantiasa akan memberikan kebermanfaatan baik material dan non material bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas budaya berlandaskan religi.