Dokumen Hari Suci Nyepi

Hari Suci Nyepi

  1. Hari Suci Nyepi 

Nyepi berasal dari kata sepi, sipeng atau hening, sedangkan Hari Raya Nyepi adalah hari raya suci Agama Hindu yang berdasarkan sasih atau Tahun Baru Saka yang dirayakan dengan penuh keheningan, menghentikan segala aktivitas yang bersifat duniawi maupun dalam bentuk keinginan dan hawa nafsu.

Hari Suci Nyepi merupakan perayaan Tahun Baru Saka di Indonesia yang sudah diakui Pemerintah Indonesia sebagai hari libur nasional, secara umum dirayakan juga umat Hindu di luar Bali meskipun pelaksanaan ritualnya tidak semuanya sama seperti di Bali. Umat Hindu di Bali memperingati Tahun Baru Saka dimulai sesudah Tilem IX (Tilem Kasanga) sehingga Hari Suci Nyepi merupakan Hari Raya Tahun Baru Saka.

Berdasarkan sejarahnya penamaan Tahun Baru Saka, Saka merupakan nama keluarga raja yang terkenal di India yang menciptakan kedamaian rakyat. Pada tahun 78 Masehi di India dinobatkan seorang raja bernama Kaniska. Raja Kaniska terkenal di bidang pembinaan agama dan kebudayaan. Beliaulah yang membuat Tahun Saka pertama kali dan berkembang sampai ke lndonesia. Pada kepemimpinan beliau perkembangan agama dan kebudayaan sangatlah baik yang menyebabkan pemeluk merasa damai.

  1. Rangkaian Prosesi Hari Suci Nyepi 

Pelaksanaan Hari Suci Nyepi di Bali meliputi beberapa rangkaian upacara, baik sesudah maupun sebelumnya, yaitu: 

a. Melasti

Melasti atau juga disebut Melis atau Makiis adalah upacara penyucian simbol sakral perwujudan manifestasi Tuhan (Istadewata) dan perangkat sakral lainnya. Upacara ini dilaksanakan 3 (tiga) atau 4 (empat) hari sebelum Hari Suci Nyepi. Dalam Lontar Sundarigama, upacara Melasti disebutkan: 

“....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata.” 

Artinya: 

Umat menghaturkan rasa syukur kepada Tuhan dengan segala manisfestasinya yang telah menyucikan manusia dari kekotoran hidup lahir-bathin. 

Pelaksanaan Melasti biasanya dilakukan dengan penuh rasa bhakti, umat Hindu mengusung simbol-simbol sakral seperti arca, pratima, barong, daksina linggih, tapakan dan peralatan pura lainnya yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi lda Sang Hyang Widhi Wasa, untuk disucikan di laut atau di danau, atau di sumber mata air (beji). Tujuan upacara ini adalah untuk membersihkan segala kotoran badan dan pikiran (bhuana alit) dan memohon (amertha) bagi kesejahteraan manusia.

b. Tawur Kesanga / Pacaruan 

Upacara Tawur Kesanga adalah suatu rangkaian kegiatan upacara yadnya kepada para bhuta (kekuatan negative) yang dilaksanakan pada sasih kasanga atau bulan kesembilan. Upacara tawur kasanga ini diselenggarakan pada tilem kasanga (sehari menjelang Nyepi) yang termasuk salah satu upacara Bhutayajna. 

Upacara Tawur Kesanga dilaksanakan dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, sampai rumah tangga. Upacara Tawur Kesanga Tingkat provinsi dilaksanakan di halaman Pura Besakih, Upacara Tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan di perempatan jalan pusat kabupaten/kota, begitu juga pelaksanaannya di tingkat desa. Untuk pelaksanaan pacaruan Tawur Kesanga di tingkat rumah tangga, dilaksanakan dengan rangkaian sebagai berikut:

  • Di merajan/sanggah

Menghaturkan sesajen banten pejati dan di natar depan pelinggih cukup menghaturkan segehan agung atanding atau segehan cacahan 11/33 tanding dan dipersembahkan kepada Sang Bhuta Buchari.

  • Di halaman/natah rumah

Menghaturkan segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam brumbun disertai tetabuhan tuak arak berem dan air suci (tirtha) yang didapat dari desa/banjar setempat dihaturkam ke hadapan Sang Bhuta Raja dan Sang Kala Raja.

  • Di depan rumah /jaba/lebuh 

Di depan rumah tepatnya di depan pintu gerbang menancapkan sanggah cucuk dengan sesajen peras daksina tipat kelanan. Sedangkan di halaman depan pintu gerbang (lebuh) menghaturkan sesajen di segehan cacahan 108 tanding dengan ulam jeroan matah dilengkapi dengan segehan agung serta tetabuhan tuak arak berem dan air suci (tirtha) dari desa/banjar setempat dihaturkan ke hadapan Sang Bhuta Bala dan Sang Kala Bala. 

Keseluruhan upacara Tawur Kesanga di tingkat rumah tangga tersebut dihaturkan pada saat petang (sandikala) sekitar pk 18.30 wita. Secara teologis, Tilem juga hari 

pemujaan Dewa Siwa. Dalam murti-Nya sebagai penguasa para bhuta (makhluk-makhluk halus demonis), beliau bergelar Bhutapati atau Kalaraja. Sementara saktiNya bergelar Dewi Durga. Dengan mempersembahkan Bhuta Yajña (upacara persembahan kepada para bhuta), diharapkan dengan penuh keyakinan agar aspek destruktif Bhutapati-Durga menjadi harmoni (somya) kembali menjadi Dewa Siwa-Dewi Uma. Jadi, kearifan religius yang mendasari ritual ini adalah konsep dualitas (rwabhineda): bhutaya-dewaya. Manifestasi Tuhan dalam dua karakternya. Pada satu sisi Ia adalah bhuta (bhutaya) atau bersifat demonis, di sisi lain Ia adalah Dewa (Dewaya) bersifat Dewa.

Pada Tilem Kesanga ini, setelah pelaksanaan pecaruan/tawur kesanga, dilanjutkan dengan Upacara Pangerupukan/Mabuu-buu. Ritual ini dilaksanakan sore hari menjelang matahari terbenam (sandhi kàla) dengan cara mengelilingi rumah dalam suasana gembira membawa daun kelapa kering yang dibakar (prakpak) atau dupa menyala, serta memukul kentongan dan sejumlah peralatan dapur. Di tingkat desa dilaksanakan dengan mengarak ogoh-ogoh (symbol demonis perwujudan bhuta kala) keliling desa diiringi tabuh Bleganjur, lalu diakhiri dengan upacara membakar ogoh-ogoh itu di setra (kuburan) untuk di pralina. Tujuannya adalah untuk mempersilahkan para bhuta yang telah menikmati tawur atau caru kembali ke alamnya dengan perasaan damai (somya). Pembakaran ogoh-ogoh di setra pada akhir prosesi menarikan ogoh-ogoh keliling desa itulah yang menandai akhir dari proses Upacàra Bhuta Yajña pada Tilem Sasih Kesanga. Seiring dengan terbakar hangusnya ogoh-ogoh diharapkan muncul rasa damai, para bhuta di-somya, maka umat dapat melaksanakan Nyepi dengan khidmat.

c. Hari Suci Nyepi 

Pada pagi hari tanggal 1 bulan 1 tahun Saka menjelang matahari terbit, mulailah Hari Suci Nyepi dilaksanakan. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan tapa, brata. Diharapkan pada hari Suci Nyepi, umat Hindu lebih banyak melaksanakan perenungan, melihat ke dalam diri, melakukan entrospeksi diri hal-hal yang telah dilakukan. Sehingga pada Tahun Saka ke depannya dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya. Perayaan hari suci nyepi dilaksanakan pada pinanggal apisan sasih kadasa selama 24 jam, dimulai dari pukul 06.00 pagi dan berakhir pukul 06.00 pagi di hari selanjutnya dengan menjalankan empat pantangan yang disebut dengan Catur Brata Panyepian, yaitu:

  • Amati Geni, yakni tidak menyalakan api, yang kalau dimaknai lebih lanjut supaya kita tidak berlebihan menyalakan api dalam diri, agar sebagai umat manusia tidak emosional dan bisa mengendalikan diri sesuai konsep Tri Kaya Parisuda (berpikir, berkata dan berbuat) yang baik. 
  • Amati Kàrya, yakni tidak beraktivitas dalam bentuk kerja apapun juga bermakna tidak bekerja selama l (satu) hari penuh selama 24 jam, yang kalau dimaknai lebih lanjut umat Hindu harus bisa "hening sejenak" untuk selama sehari intropeksi diri tentang apa yang baik-buruk yang telah diperbuat selama setahun sebelumnya untuk melangkah berbuat lebih baik ditahun mendatang dengan meningkatkan “srada” dan "bhakti".
  • Amati Lelungan, yakni tidak bepergian atau keluar rumah; atau tidak berpergian yang kalau dimaknai lebih lanjut supaya kita sebagai umat manusia hidup harus terkontrol dan terkendali ke arah menuju kebaikan; dan
  • Amati Lelanguan, yakni tidak mengadakan dan menikmati berbagai jenis hiburan yang bermakna tidak bersenang-senang, yang kalau dimaknai lebih lanjut agar kita sebagai umat manusia tidak bersenang-senang secara berlebihan yang tentunya akan berakibat buruk bagi kehidupan.

Bhrata penyepian ini dijelaskan dalam Lontar Sundarigama sebagai berikut: 

“....enjangnya Nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan".

Artinya:

“.….besoknya Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, menyalakan api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melaksanakan samadhi, tapa, yoga menuju kesucian".

Perayaan Nyepi di Bali semua aktivitas rutin terhenti selama 24 jam hari jam 6 pagi sampai jam 6 pagi keesokan harinya, tidak ada kendaraan yang lalu lalang termasuk bandara dan pelabuhan laut ditutup, tidak diperkenankan ke-luar rumah, tidak ada aktivitas hiburan dan penerangan lampu dipadamkan kecuali pada situasi yang urgent seperti di rumah sakit atau pada keluarga yang sedang memiliki bayi. 

Hal ini pun diikuti semua umat termasuk yang non-Hindu dan maupun wisatawan yang sedang berlibur di Bali hanya diperkenankan tinggal di hotel/penginapan. Pengawasan ketertiban pada waktu hari Nyepi ditugaskan kepada Pecalang Desa untuk keamanan dan ketertiban berlangsungnya Hari Suci Nyepi.

d. Ngembak Geni 

Sehari setelah hari Nyepi, merupakan hari Ngembak Geni. Masyarakat Bali akan mulai melakukan aktivitas rutin menjalankan swadharma/ pekerjaannya masing-masing. Biasanya saat Ngembak Geni diawali dengan melaksanakan Dharma Shanti (Ceramah Keagamaan) dan juga mengadakan jamuan makan bersama, saling maaf-memaafkan, saling melepas rindu, beramah-tamah. Atau berkunjung ke rumah tua, keluarga, sahabat, teman karib, dan yang lainnya. Ritual pada hari Ngembak Geni ini sesungguhnya merupakan Mànusa Yajña dalam lingkup Hari Suci Nyepi. Tujuannya adalah agar relasi sosial tetap terpelihara dengan baik.

  1. Jenis-jenis Hari Raya Nyepi Lainnya di Bali 

Selain Hari Suci Nyepi sebagai perayaan Tahun Baru Saka, masyarakat umat Hindu di Bali juga melaksanakan beberapa perayaan Hari Raya Nyepi sesuai dengan adat dan tradisi setempat. Beberapa jenis Perayaan Nyepi yang ada di Bali yaitu:

a. Nyepi Segara (Nyepi di laut) 

Nyepi Segara merupakan sebuah kearifan local yang dilaksanakan oleh para nelayan dan masyarakat Desa Kusamba, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Bali pada Purnama Kalima. Ritual penghormatan pada pesisir pantai dan ekosistem laut dengan merehatkannya sehari ini awalnya dimulai oleh nelayan dan petani garam laut tradisional, seiring berjalannya waktu tradisi ini kemudian dilaksanakan oleh keseluruhan warga desa adat Kusamba, Kabupaten Klungkung.

Masyarakat Desa Adat Kusamba melaksankan tradisi ini dengan cara tidak melakukan aktivitas apapun mulai sepanjang sempadan pantai sampai laut, termasuk menginjak pasirnya. Warga Kusamba mengikuti prosesi Purnama Kalima dengan persembahyangan secara bergiliran ke Pura Segara. Prosesi puncaknya adalah jelang tengah malam sebelum Nyepi Segara, warga dan pimpinan persembahyangan melarung sesajen / persembahan (dalam bentuk segala bentuk hasil bumi pala bungkah, pala gantung serta simbolisasi satwa laut dilakukan dengan membuat sarana sesajen berbentuk ikan, penyu, dan lainnya) ke tengah laut yang disebut dengan Mapakelem. Kemudian diakhiri dengan Nunas Tirtha atau mengambil air laut yang kemudian disucikan dan dibagi-bagikan ke seluruh warga.

b. Nyepi Uma (Nyepi di sawah)

Nyepi Uma merupakan tradisi Nyepi yang dilaksanakan oleh krama (anggota) Subak Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Tradisi ini dilaksanakan oleh petani yang menanam beras putih, yang digelar selama sehari.

Rentetan upacara menjelang Nyepi Uma dilaksanakan 2 hari sebelum pelaksanaan Nyepi Uma. Krama (anggota) Subak bersama perwakilan perangkat desa melaksanakan upacara di Pura Ulun Danu Batur, Kabupaten Bangli untuk memohon air suci (Tirtha). Tirtha tersebut kemudian disebar ke masing-masing perwakilan subak untuk dilakukan upacara lagi. Keesokan harinya bertepatan dengan Purnama Kedasa, krama Subak melaksanakan upacara Ngayu-ayu. Upacara Ngayu-ayu adalah sebuah upacara adat yang diadakan setiap 1 tahun sekali. Upacara Ngayu-ayu merupakan bentuk rasa syukur krama Subak Desa Bungkulan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diberikannya kelimpahan hasil bumi. Setelah Upacara Meayu-ayu inilah, keesokan harinya dilaksanakan Nyepi Uma. Saat Nyepi Uma, warga dan petani dilarang masuk areal persawahan atau subak.

c. Nyepi Adat Desa Tenganan Pagringsingan

Tradisi Nyepi dilaksanakan pada Sasih Kasa selama 15 hari, sesuai kalender Desa Adat Tenganan. Tradisi Nyepi Adat di Desa Adat Tenganan Pegeringsingan, berbeda dengan desa adat lain di Kabupaten Karangasem. Pada saat Nyepi Adat ini krama atau warga Desa Adat Tenganan Pegeringsingan saat melaksanakan ritual Nyepi dengan melaksanakan beberapa pantangan, di antaranya;

  1. Tidak tertawa 
  2. Tidak menangis 
  3. Tidak memukul kentongan 
  4. Tidak menumbuk padi 
  5. Tidak membuat lubang sedalam siku 
  6. Tidak menyembelih babi 
  7. Tidak menyembelih ayam

Nyepi Adat di Tenganan Pegringsingan dilaksanakan saat awal Sasih Kasa selama 15 hari, hingga puncaknya pada Purnama Sasih Kasa. Tidak ada sanksi bagi pelanggar saat perayaan Nyepi Adat. Namun, hampir semua masyarakat atau krama Desa Adat Tenganan Pegeringsingan menjalankan peraturan tersebut. Krama melakukan penghormatan terhadap leluhurnya dengan tetap mengikuti aturan yang sudah dilaksanakan dan diwariskan oleh leluhurnya secara turun temurun.

d. Nyepi Lanang Luh(Nyepi Perempuan dan laki-laki)

Nyepi lanang dan Nyepi Luh dilaksanakan di Desa Adat Ababi, Kabupaten Karangasem, Bali. Tradisi Nyepi Lanang dan Nyepi Luh telah berlangsung turun temurun di Desa Adat Ababi yang mewilayahi 13 banjar adat yakni Banjar Ababi, Tanah Lengis, Besang, Pikat, Umanyar, Gunaksa, Bias, Sadimara, Kuhum, Abianjero, Tumpek, Tukad Bungbung, dan Banjar Pande.

Nyepi Lanang dilaksanakan oleh krama setempat pada Sukra Wage Landep atau sehari setelah Tilem Kawulu. Tradisi ini dilaksanakan rutin setiap setahun sekali. Nyepi Lanang dilaksanakan krama setelah menggelar upacara Usaba di Pura Dalem Ababi, Wraspati Pon Landep, Pada puncak Usaba tersebut krama dari 13 banjar adat khusyuk menggelar ritual pacaruan diakhiri persembahyangan bersama. Ciri khas ritual ini yakni mempersembahkan Ajengan Kalesan (nasi takepan) 45 takepan (rangkaian). Nasi ini dibagi-bagi menjadi beberapa Banten Caru yakni Caru Banteng Pagerwesi, Caru Bawi Butuan, dan Caru Ayam Kumulanjar. Tiap Nasi Takepan dibungkus daun aren. Persembahan Banten Caru dipuput pemangku pura. Setelah nasi ini dipersembahkan, maka krama lanang bersiap-siap berebut mendapatkan Nasi Takepan. Krama Lanang membawa pulang Nasi Takepan untuk ditaburkan di halaman rumah, sawah, dan tegalan untuk kesuburan. Selanjutnya, digelar Nyepi Lanang. Nyepi ini juga bermakna sebagai bentuk penghormatan kepada krama lanang dengan menenangkan fisik dan pikiran selama 9 jam, dari pukul 07.00 Wita -16.00 Wita. Selama Sembilan jam itu krama lanang tidak beraktivitas. Semua pekerjaan harian yang biasa dilakukan krama lanang diambil alih oleh krama istri. Pekerjaan itu, misalnya mencangkul di sawah/ladang, menyabit rumput, memberikan pakan ternak sapi, dan sebagainya. Selama Nyepi Lanang, krama lanang dilarang keluar rumah, dilarang bertamu, dan dilarang menerima tamu. Hanya saja, jika ada warga lanang melanggar larangan ini, Desa Adat Ababi belum memberlakukan sanksi, hanya diingatkan agar warga mematuhi ketentuan awig-awig dan dresta.

Nyepi Luh (istri), dilaksanakan pada Wraspati Kliwon Kelawu atau sehari setelah menggelar upacara piodalan di Pura Kedaton, Desa Adat Ababi. Piodalan di Pura Kedaton, setiap Tilem Kapitu untuk kali ini dilaksanakan, Buda Wage Kelawu. Saat Nyepi Luh, sebagai bentuk penghormatan kepada kaum perempuan. Maka selama 9 jam itu pula mereka tanpa aktivitas. Seluruh pekerjaan perempuan seperti ke pasar, memasak, merawat anak, mencuci dan lain-lain diambil alih oleh krama lanang.

4. Makna Hari Suci Nyepi bagi Masyarakat Bali 

Hari suci Nyepi tidak bisa dilepaskan dari rangkaian upacaranya mulai dari Melasti, Tawur Kesanga, Pangrupukan, Hari Suci Nyepi dan Ngembak Geni. Seluruh rangkaian upacara tersebut memiliki fungsi dan makna filosofisnya tersendiri.

Secara umum fungsi Hari Suci Nyepi bagi masyarakat Hindu di Bali adalah yadnya, persembahan tulus ikhlas ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sedangkan makna pelaksanaan Hari Suci Nyepi antara lain: 

a. Memarisudha bumi (bhuwana agung/makrokosmos): Upacara untuk menjadikan alam semesta menjadi bersih, serasi, selaras, dan seimbang. Bebas dari kebatilan, malapetaka, kekacauan sehingga umat manusia sejahtera.

b. Meningkatkan kesadaran diri (bhuana alit/mikrokosmos); Bagi masyarakat Hindu di Bali, Hari Suci Nyepi merupakan perayaan tahun baru Saka yang dirayakan dengan meningkatkan kesadaran diri, melihat ke dalam diri, melaksanakan introspeksi diri dari hal-hal yang telah dilakukan, dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati gni/tidak menyalakan api, amati karya/tidak bekerja, amati lelungan/tidak bepergian, amati lelanguan/tidak bersenang-senang). Diharapkan pada Tahun Saka ke depannya dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya.

Upaya pelestarian Karya Budaya

Hari Suci Nyepi memiliki nilai adiluhung yang bersifat universal. Hari Suci Nyepi tidak hanya memberikan pengaruh positif bagi alam dan masyarakat Bali, tetapi juga bagi dunia dan alam semesta. Oleh karenanya, perlu dilaksanakan beberapa upaya dalam penguatan dan pemajuan tradisi tersebut, antara lain: 

  1. Memberikan pengertian dan pemahaman kepada masyarakat luas tentang jenis, prosesi dan makna Hari Suci Nyepi, khususnya kepada generasi muda agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan benar, tanpa ada penyimpangan, dan berkelanjutan.
  2. Mengusulkan hari Suci Nyepi untuk dapat ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia.