Kerajinan Garam Tradisional/Uyah Kusamba
Berkembangnya Kusamba menjadi pelabuhan mengakibatkan terjadinya hubungan dengan pelabuhan pelabuhan lain baik yang ada di Bali maupun luar Bali. Banyak perahu-perahu dagang yang datang dari Pelabuhan Ujung, Amed, Padang (wilayah Kerajaan Karangasem), Pelabuhan Kuta Badung, Pabean Buleleng, Seseh Mengwi dan juga dari pelabuhan luar Bali seperti Ampenan Lombok, Jungutbatu, Toyapakeh, Mentigi Nusa Penida. Salah satu produk budaya berupa konsumsi masyarakat juga memberi warna keragaman produk budaya di Kabupaten Klungkung, yaitu makanan pokok berupa garam (uyah, tasik) menjadi makanan atau bagian makanan dalam kebudayaan manusia mempunyai riwayat sangat lama.
Teknologi pembuatan garam sederhana sudah dikenal secara turun temurun. Lebih dari sepuluh generasi telah menggeluti profesi sebagai petani garam di Kusamba. Desa Kusamba memang desa tua yang mempunyai ekotipe kawasan pantai yaitu air lautnya memiliki mineral natrium yang berkualitas bagus. Kondisi ekotipe natrium inilah menjadi potensi yang dikelola oleh petani garam dari generasi ke generasi hingga sekarang masih digeluti. Sebuah kelompok petani garam “Sarining Segara” telah terbentuk sejak tahun 1976. Kelompok petani garam dan kelompok usaha garam rakyat adalah upaya untuk melestarikan teknologi pembuatan garam tradisional. Hal ini diperkuat dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Klungkung yang dikuatkan pula oleh Peraturan Gubernur Bali Nomor 99/2018 tentang pemasaran dan produk pertanian, perikanan dan industri lokal Bali. Bahkan Gubernur Bali, Wayan Koster mengingatkan kepada seluruh gabungan perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) yang ada di Bali untuk memperhatikan juga industri garam rakyat. Gubernur Koster menyatakan bahwa Pulau Dewata ini punya garam terkenal di Kusamba, Klungkung, di Amed Karangasem, di Tejakula Buleleng dan Jembrana.Produksi garam rakyat harus dilindungi dan dilestarikan.
Keberadaan Desa Kusamba yang warganya menggeluti profesi sebagai petani garam tradisional sudah berlangsung sejak lama, lebih dari sepuluh generasi sejak memulai aktifitasnya dan sampai sekarang masih digeluti.Warisan tradisi yaitu teknologi tradisional sederhana untuk memproduksi garam adalah warisan budaya tak benda yang unik dan tetap eksis di Desa Kusamba sebagai sentra kerajinan memproduksi garam merupakan desa yang menjadi obyek kajian. Desa Kusamba Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung yang menjadi sentra kerajinan memproduksi garam secara tradisional merupakan salah satu desa dijadikan obyek kajian adalah desa tua. karena termasuk katagori desa adat. Keberadaannya memang sangat tua yang memperoleh pengakuan sejak pemerintah Kolonial Belanda membentuk desa-desa dinas atau desa-desa Perbekelan pada Tahun 1922. Katagorisasi desa adat dan desa dinas termuat dalam Undang-Undang dan Lembaran Negara Hindia Belanda tentang Desa di Bali (Startblad Van Underlandse Indie )
Warisan tradisi teknologi tradisional pembuatan Garam di Desa Kusamba berlangsung turun- tumurun. Kondisi Ekotipe pantai mendorong munculnya aktivitas maritim yaitu nelayan dan petani garam. Mata pencaharian ini mungkin sama tuanya dengan petani di sawah. Proses pembuatan garam secara tradisinal diawali dengan menjemur pasir di areal yang datar, pasir yang dijemur diratakan dua kali sehari pagi dan sore. Pekerjaan meratakan pasir dikerjakan oleh pihak laki atau perempuan dengan menggunakan alat yang dalam bahasa Bali disebut tulud. Tahap selanjutnya adalah nabuh yang dikerjakan oleh pihak laki-laki dengan mengambil air di pinggir pantai lalu memikul ke tempat penjemuran pasir dan menyiramkan air laut ke permukaan pasir yang telah diratakan. Secara tradisional alat yang digunakan untuk mengambil air laut terbuat dari pangkal pelepah daun pinang (upih). Pasir yang telah disiram air laut dijemur sekitar satu hari dan setelah kering pasir dikumpulkan dengan menggunakan alat yang disebut garuk dan sekop kayu. Pasir yang telah terkumpul diangkut ke dalam gubuk produksi/bedeng tempat penyaingan, ditimbun dalam sebuah bak. Bak penampungan pasir dihubungkan ke tempat penampungan air saringan (belong) melalui sebuah pipa (bambu). Pasir yang ditampung dalam bak disiram lagi dengan air laut dan airnya akan tertampung di dalam belong. Air hasil saringan yang tertampung di bak penampungan (belong), selanjutnya dijemur di tempat penjemuran yang disebut palungan. Untuk menghasilkan garam yang berkualitas tempat penjemuran air laut (palungan) biasanya terbuat dari batang pohon kelapa. Di samping alat penjemuran, proses penjemuran juga sangat menentukan kualitas garam. Untuk menghasilkan garam yang baik penjemuran tidak boleh lebih dari satu hari; kalau lebih dari satu hari rasa garamnya akan pahit karena ampas akan ikut menjadi garam. Pekerjaaan memanen garam dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan, hasil panen garam ditiriskan dalam sebuah alat yang disebut kukusan dan selanjutnya dimasukkan ke kantong plastik juga dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan untuk selanjutnya disimpan di gudang penyimpanan.
Komunitas garam dengan teknologi tradisional adalah warisan budaya tak benda untuk mewujudkan fungsi konsumsi kebutuhan pokok masyarakat. Di samping fungsi konsumsi produksi garam secara tradisional juga mempunyai fungsi sosial ekonomi sebagai media untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi melalui organisasi atau kelompok untuk meingkatkan penghasilan dalam menunjang kebutuhan keluarga. Kerajinan garam tradisional juga berfungsi sebagai sarana pariwisata budaya. Selain berbagai fungsi di atas kerajinan garam tradisional juga mempunyai makna kesetaraan, makna pelestarian dan makna pemberdayaan.