Dokumen Kerajinan Genta

Kerajinan Genta

Keberadaan perajin genta di Desa Adat Budaga Kelurahan Semarapura Kauh Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung yang masih tetap eksis sampai saat ini, tidak bisa dilepaskan dari bagian perjalanan sejarah sejak zaman kerajaan di Gelgel yang menerima kedatangan orang-orang trah pande dari pulau Jawa. Menurut beberapa catatan sejarah yang bersumber dari Babad Tusan, Babad Pande dan juga keterangan dari tokoh masyarakat di Desa Adat Budaga, dinyatakan bahwa kedatangan warga pande ke Bali adalah prajurit-prajurit dari Majapahit yang bukan orang sembarangan seperti Empu Wisesa dan Empu Lelumbang. Beliau adalah orang-orang tersohor dan memiliki hubungan sangat baik dengan kerajaan Majapahit. Dengan adanya ikatan antara kerajaan Majapahit dengan Dalem Smara Kepakisan yang bertahta di Gelgel, mulailah ada simpati dari rakyat Bali agar tidak lagi melakukan pemberontakan dikemudian hari.. Mengingat sebelumnya pernah terjadi pemberontakan menolak kedatangan warga  Pande di Bali. Pemberontakan tersebut dikenal dengan nama pemberontakan Takawa tahun 1345 dan pemberontakan Makambika tahun 1347, dimana keduanya merupakan raja bagian di Desa Pejeng. 

Kaum Pande yang sudah bermukim di Bali serta yang baru datang dari Jawa setelah adanya hubungan baik antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Gelgel, akan diberikan tugas membuat berbagai senjata serta menjadi kepala pande besi. Di luar bhisama tersebut disebutkan juga bahwa warga pande akan diberikan tempat tersebar dibeberapa desa yang belum ada warga pandenya. Maka kemudian beberapa keluarga warga pande pun menempati desa-desa tertentu, baik yang atas  perintah raja maupun keinginan memilih tempat sendiri. Ada yang bermukim dibagian timur dimana tempat tersebut dipenuhi tumbuhan ilalang. Sehingga tempat itu disebut Kusamba. Kusa artinya ilalang. 

Warga pande yang kemudian bermukim di Desa Adat Budaga merupakan warga pande keturunan Empu Lelumbang yang memiliki putra bernama I Kepandean. Selanjutnya I Kepandean inilah yang kemudian mempunyai 3 orang anak laki-laki yang masing-masing bernama I Tusan, I Tatasan dan I Putih Dahi. Pada saat istana Alas Terik di tanah Jawa dikuasai oleh Ida Ratu Sakti, maka Empu Lelumbang memutuskan bersama putranya I Kepandean berserta ketiga orang cucunya pergi ke Bali untuk menghadap raja Gelgel. Dalam perjalanannya menuju Bali, Mpu Lelumbang beserta keluarganya sempat tersesat dan tidak menemukan kota kerajaan di Gelgel. Atas bantuan ikan deleg (ikan Gabus) dan ikan julit (larwa), akhirnya Mpu Lelumbang berhasil menghadap raja Gelgel. Namun saat itu salah satu cucunya bernama I Putih Dahi terlambat ikut menghadap karena sedang beristirahat sendirian sambil makan. Dengan kejadian itu Empu Lelumbang sempat mengutuk I Putih Dahi, agar setelah tinggal  di Bali dia dan seluruh keturunannya tidak boleh bekerja di sawah. Dan juga berpesan kepada seluruh keturunannya agar selalu hormat dan setia kepada Dalem Gelgel serta selalu melaksanakan hari Sugihan Jawa dan Sugihan Bali sebagai bentuk penghormatan hubungan baik antara Jawa dan Bali. Selain itu, seluruh keturunannya dilarang keras menangkap dan memakan ikan deleg (ikan gabus) dan ikan julit (larwa). Karena ikan-ikan itu telah berjasa mengantarnya sampai di Gelgel. Kemudian atas kebijaksanaan Dalem Gelgel akhirnya I Tusan dan I Tatasan diberikan tempat tinggal di Tonja, sementara I Putih Dahi diberikan tempat di seputaran Klungkung yaitu di Budaga. Di tempat inilah selanjutnya I Putih Dahi melangsungkan kehidupannya sebagai ahli pande sambil menghamba kepada raja Gelgel. Lama kelamaan akhirnya I Putih Dahi memiliki satu orang keturunan bernama I Pande Grondong yang menjadi pelanjut dan cikal bakal keturunan warga pande di Budaga sampai saat ini, yang memiliki keahlian mengolah logam menjadi kerajinan Genta dan dalam bentuk lainnya

Genta merupakan sarana atau peralatan kepanditaan yang digunakan saat melakukan loka palasraya atau muput sebuah upacara. Makna dan fungsi Genta sebagai bagian perangkat penting untuk pemujaan dapat diuraikan sebagai berikut : 

 

  • Makna Ghanta/Genta

 

  • Makna ritual ghanta/genta dapat dilihat saat pendeta ngastawa ghanta/genta (sakralisasi genta). Untuk ngastawa genta terlebih dahulu ghanta/genta dipercikan dengan air suci tiga kali. Dengan sakralisasi ghanta/genta, upacara pokok berarti dimulai. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa esensi falsafah Hindu riil. Ngaskara ghanta/genta ditutup dengan menyentil anak ghanta/genta sebanyak tiga kali sebagai lambang sthiti. Genta juga mengandung unsur keindahan secara visual yang ditunjukkan oleh bentuk fisik genta itu sendiri yang masing-masing memiliki makna filosofi. Pada bagian genta yang dibuat oleh perajin genta di Desa Adat Budaga terdapat beberapa bentuk motif ornamentasi yang juga sarat dengan nilai filosofi pada setiap detailnya. 
  • Makna pelestarian karena keberadaan genta sebagai bagian piranti upacara akan tetap lestari seiring dengan tetap bertahannya budaya adat dan agama Hindu di Bali. Karena satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Ketika adat masih berjalan, kegiatan keagamaanpun secara otomatis akan tetap bertahan dan berkelanjutan. 

 

  • Fungsi Ghanta/Genta

 

  • Fungsi ritual Ghanta atau genta 

bagi seorang Pandita Siwa atau Budha sangat penting dan utama. Perangkat pemujaan Siwa Pakarana dan Budha Pakarana, sebuah ghanta atau genta memiliki fungsi dan makna tersendiri. “Ghanta mapiteges sabdha. Sabdhaning rahayu wantah sabdha jnana suci, angewetuang sabdha utama jati, sabdhaning Ida Sang Hyang Wedha”. Ghanta atau genta merupakan wahyu (Sabdha Ida Sang Hyang Weda), sabda utama sebagai jnana suci (ilmu pengetahuan suci) sekaligus Sabda Ida Sang Hyang Weda. 

  • Fungsi keindahan dan fungsi sosial ekonomi pada genta sudah menyatu dan dirasakan oleh masyarakat. Baik pemakainya maupun pembuatnya. Bahwa sesuai dengan catatan sejarah, genta di Desa Adat Budaga sudah mulai dibuat sejak zaman kerajaan Gelgel, tepatnya setelah kedatangan Mpu Lelumbang bersama keturunannya di Gelgel, dan diawali dengan menetapnya I Putih Dahi di Budaga hingga memiliki keturunan I Pande Grondong yang menetap di Budaga hingga generasi yang sekarang.