Layangan Tradisional Bali
Layangan tradisional Bali merupakan salah satu permainan rakyat warisan leluhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi melayangan merupakan tradisi masyarakat agraris yang pada awalnya dilakukan setelah panen padi di sawah. Tradisi melayangan di Bali erat kaitannya dengan mitologi Sang Hyang Rare Angon yang merupakan dewa layang-layang, diyakini petani merupakan manifestasi Dewa Siwa yang turun ke bumi untuk melindungi segala tumbuhan dan menghindarkan tanaman dari serangan hama dan penyakit. Jenis layangan tradisional Bali, yaitu layangan janggan, layangan bebean, dan layangan pecukan yang dibuat melalui proses yang panjang, mulai dari pemilihan bahan, penentuan ukuran, pemilihan warna serta kreativitas seni lainnya sesuai dengan pakem-pakem (gegulak) tertentu sehingga membentuk layangan yang proporsional dan estetik. Seiring dengan perkembangan zaman, layangan juga mengalami dinamika yang cukup pesat, baik model, ukuran, pewarnaan serta asesorisnya.
Sejarah
Layang-layang adalah salah satu permainan tradisional dunia yang memiliki sejarah sangat panjang. Usia permainan yang sudah tua membuat layang-layang mengalami perkembangan yang sangat beragam di berbagai belahan dunia. Secara historis, layang-layang sebenarnya berasal dari Indonesia, hal itu dibuktikan dengan ditemukannya sebuah gambar layag-layang di sebuah gua di daerah situs purbakala di Muna, Sulawesi Tenggara. Tetapi karena bangsa kita pada zaman dahulu tidak rajin mencatat perkembangan budayanya, maka tidak terdapat bukti tertulis mengenai hal tersebut. Yang kita ketahui layang-layang berasal dari negeri Cina dan berkembang sejak 2500 tahun silam dan menyebar luas di wilayah Asia seperti Jepang, Korea, India dan Indonesia.
Di Bali Tradisi melayangan telah terjadi secara turun temurun yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi melayangan bermula dari sebuah permainan tradisional masyarakat agraris di Bali yang dilakukan setelah selesai proses panen padi di sawah. Tradisi melayangan merupakan tradisi masyarakat agraris di Bali yang awalnya lahir hanya untuk kesenangan saja dan untuk mengisi waktu luang namun seiring perkembangannya, tradisi melayangan ini ditujukan untuk kepentingan praktis serta untuk memperoleh tenaga gaib guna keperluan masyarakat agraris di Bali.
Masyarakat petani sangat berkeyakinan bahwa hasil pertanian yang melimpah yang mereka dapatkan, bukan karena hanya hasil jerih payahnya, tetapi merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, oleh sebab itu petani harus melaksanakan persembahan pada Tuhan Yang Kuasa dengan manifestasinya sebagai dewi padi yaitu “Dewi Sri”. Petani meyakini bahwa Dewi Sri adalah dewi yang memberikan pengayoman pada segala proses pertanian sehingga Dewai Sri divisualisasikan dalam ikatan padi yang dihiasi dengan janur, bunga-bunga, bahkan ada yang diwujudkan dengan patung dewi yang sangat cantik memegang padi. Dalam kepercayaan petani di Bali, Sang Hyang Rare Angon merupakan manifestasi dari Dewa Siwa yang turun ke bumi ketika masa panen padi di sawah telah berakhir. Sang Hyang Rare Angon diyakini oleh para petani dapat menghindarkan sawah dari serangan hama saat musim tanam berikutnya. Dikisahan bahwa Rare Angon merupakan Dewa Layang-layang yang merupakan manifestasi dari Dewa Siwa. Rare Angon turun ke bumi pasca panen padi di sawah, diiringi dengan tiupan seruling bertanda untuk memanggil angin. Rare Angon berarti anak gembala. Setelah musim panen para petani terutama anak gembala mempunyai waktu senggang yang mereka gunakan untuk bersenang-senang. Sambil menjaga ternaknya, salah satu permainan yang sering dilakukan adalah bermain layang-layang.
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang sangat religius, segala sesuatunya selalu berkaitan dengan tradisi yang dilandasi dari sastra agama Hindu. Setiap akativitas dan profesi kehidupan memiliki dewa-dewa yang mengatur dan melindunginya, oleh sebab itu untuk memperlancar proses kehidupan harus memohon dengan mengadakan pemujaan pada yang dewa-dewa yang mengayomi. Selain melaksanakan upacara pemujaan, untuk mendapatkan hasil yang baik, para petani harus mengikuti segala aturan yang berlaku, yang berkaitan dengan waktu dan musim tanam yang yang tepat. Pemilihan waktu yang tepat sangat berpengaruh besar pada hasil pertanian yang dicapai karena situasi dan lingkungan sekitar menjadi penentu suburnya tumbuhan tersebut. Secara sekala melakukan proses penanaman padi sesuai dengan prosedurnya, dan secara niskala tetap melakukan prosesi upacara sesuai dengan tahapan yang ada, dan selalu berdoa pada Dewi Sri dan Rare Angon yang melindungi pertumbuhan hasil pertanian.
Ketentuan saat-saat baik (masa) dan saat-saat selingan (gadon) dalam bercocok tanam. Mereka begitu teratur melaksanakan ketentuan ini yang sangat banyak dipengaruhi oleh keadaan iklim dan musim. Dalam perhitungan kalender pertanian Bali yang sudah secara terperinci saat angin bertiup dari timur dan saat bertiup dari barat dengan pengaruhnya tersendiri pula, maka disusunlah jadwal kapan mulai turun ke sawah, menanam bibit, menyiangi dan sebagainya. Peraturan yang rapi ini bisa dilaksanakan dengan tertib karena mendapat pengawasan yang ketat dari para prajuru/petugas organisasi subak. Saat baik untuk menanam bibit (masa) ialah pada Sasih Kawolu (bulan kedelapan dalam kalender Bali) kalau dalam perhitungan tahun masehi ialah antara bulan Februari. Padi yang berumur antara 4 bulan sudah masak sehingga, sudah panen akhir bulan Mei. Itu artinya para petani mempunyai waktu yang senggang dari bulan Mei sampai bulan November. Waktu yang senggang ini digunakan oleh para petani di Bali untuk melakukan tanam selingan (gadon) seperti menanam pohon palawija. Selain melakukan tanam selingan, pada masa gadon ini petani Bali biasanya melaksanakan sebuah tradisi, yaitu tradisi melayangan.
Tradisi melayangan, selain untuk mengisi waktu kosong para petani, juga secara langsung untuk menambah kesuburan tanah. Aktivitas melayangan dilakukan dengan berlari-lari di tengah sawah dengan menginjak-nginjak tanah sawah sehingga tanah memiliki kegemburan yang baik yang mengakibatkan tumbuhan menjadi subur setelah ditanami. Layangan juga berfungsi untuk menghalau burung ketika padi telah berisi. Buah padi sebelum menguning sangat disenangi burung dan biasanya dating bergerombol menyerbu tanaman padi. Sambil menunggu tanaman padi agar tidak diserang gerombolan burung, para petani menaikkan layangan.
Berawal dari sarana upacara, berkembang menjadi sebuah permainan tradisi, selanjutnya menjadi sebuah ajang festival yang sarat dengan muatan multi demensi. Dalam permainan layangan, ternyata tidak saja membuat layangan dan menaikannya ke udara, tetapi diiringi berbagai rentetan hal lain yang menyertai. Permainan layangan menjadi budaya besar yang sarat dengan nilai-nilai tertentu di dalamnya. Dengan bermain layangan dapat menarik kreativitas masyarakat untuk unjuk diri dalam bidang kopotensi seni yang dimiliki sehingga melahirkan layangan yang sangat artistik. Layangan sebagai permainan tradisi ditunjukkan semua masyarakat terutama anak-anak dan remaja akan bermain layangan pada musim angin kencang. Seakan tanpa dikomando, pada musimnya masyarakat bermain layangan secara bersama-sama bersenang-senang menghibur diri.
Jenis-jenis layangan Tradisional Bali
Beranekaragam bentuk dan model layangan yang ada di Bali, dan secara umum layangan tradisi Bali dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis, yaitu:
- Layangan Bebean
Layangan bebean diangkat dari bentuk “be” yang artinya ikan. Bebean berarti bentuk ikan yang banyak yang ciri-cirinya memiliki sirip dan ekornya kebanyakan bercabang dua. Ikan memiliki gerak-gerik yang lincah, meliuk-liuk, menukik ke atas, ke bawah, sangat tepat dengan liak-liuk layangan ketika dinaikan ke udara. Sebagian besar bentuk ikan melempeng pipih, bagian kepala, mulut, kecil, dan badan yang lebar dengan berbagai bentuk sirip yang lentur, bergerak lemah-gemulai dalam air. Sirip ikan ditranformasikan menjadi sirip layangan dibuat dari kain lembaran tanpa konstruksi sehingga ketika dinaikan akan diterpa angin, dan bergerak-gerak sangat dinamis. Lambaian sirip yang meliuk-liuk memunculkan nilai estetika yang memberi kepuasan hati pemiliknya.
- Layangan Janggan
Selain layangan bebean, jenis layangan tradisional Bali yang sangat terkenal, yaitu “Layangan Janggan”. Secara visual layangan janggan bentuknya hampir sama dengan layangan bebean, tetapi kepalanya berbentuk utuh kepala naga. Layangan janggan dari kepala sampai leher berbentuk tiga dimensi, sedangkan badan dan ekornya berbentuk dua dimensi. Badan layangan janggan hampir mirip dengan layangan bebean, tetapi memiliki ekor yang panjang seperti ekor ular. Layangan janggan memiliki bentuk yang terdiri dari bagian kepala, leher, pinggang, dan ekor. Layangan janggan merupakan layangan yang disakralkan di Bali karena dalam tradisi melayangan di Bali, layangan janggan dipercaya sebagai manifestasi Naga Basuki. Naga Basuki dalam kepercayaan umat Hindu di Bali merupakan seekor naga yang berperan menjaga kestabilan dunia. Menurut cerita mitologi, bumi ditopang oleh seekor kura-kura raksasa bernama Bedawang Nala. Sementara itu bumi dikelilingi/diikat oleh tubuh seekor naga bernama Naga Basuki. Naga tersebutlah yang diabadikan menjadi layangan janggan.
- Layangan Pecukan
Layangan Pecukan paling sulit dikerjakan walaupun memiliki bentuk yang paling sederhana dari layangan lainnya. “Pecukan” berasal dari Bahasa Bali “Pecuk” yang artinya ditekan dalam artian bentuk yang sudah utuh sedikit ditekan sehingga bentuknya bervolume. Layangan pecukan hanya memiliki dua sudut kanan kiri atau atas bawah dengan bentuknya yang melengkung. Tidak sembarang orang bisa membuat layangan pecukan dan diperlukan suatu keahlian khusus untuk membuat layangan ini karena proses pembuatannya tergolong susah, terutama untuk mencari keseimbangan terbang. Apabila tidak seimbang layangan pecukan ini akan berputar (ngunting) dan jatuh menukik ke bawah. Bentuk layangan pecukan berujung runcing dua arah dengan bentuk yang cembung setengah lingkaran. Layangan pecukan memiliki dua sudut yang saling berjauhan. Meski begitu, keduanya tetap ada dalam satu ikatan. Hal ini memiliki makna bahwa dalam kehidupan ini terdapat dua hal yang saling bertentangan namun masih dalam satu kesatuan utuh yang sering disebut dengan konsep Rwa Bhineda (dua perbedaan). Perbedaan dan keragaman itu tetap diperlukan namun apabila disatukan akan menjadi kekuatan yang seimbang dan harmonis dalam mengarungi kehidupan
Proses Pembuatan
Sebelum membuat layangan suatu hal yang paling penting dan utama dalam penciptaan layangan adalah mencari hari baik dari proses awal sampai akhir. Setelah segala persiapan bahan telah tersedia, maka dicari hari baik (padewasan) untuk bisa memulai membuat layangan. Hari baik ini sangat menentukan hasil yang akan dicapai dapat berjalan lancar dengan hasil yang sempurna. Untuk memulai pembuatan layangan juga dihaturkan sesajen, memohon doa agar dalam prosesnya dituntun untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Awal mulai mengerjakan layangan disebut dengan “Nuasen” yang dilakukan oleh orang suci untuk menghaturkan sesajen. Sesajen untuk nuasen tidak begitu banyak sehingga terkadang dihaturkan oleh pembuatan layangan itu sendiri (undagi). Secara garis besar proses atau tahapan pembuatan layangan tradisional Bali dapat dipilah atau dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
- Pemilihan dan Penentuan Bahan
Material pokok yang digunakan dalam pembuatan layangan tradisional Bali adalah bambu, benang, kain, kayu, kulit, batang pinang dan rotan. Bahan-bahan lainnya seperti peralon, klip dan tali dobletis digunakan untuk mempermudah dan praktis secara teknis. Fungsi, jenis, dan penggolongan kayu yang digunakan untuk bagian kepala jenis janggan digunakan kayu pule, kepah atau kepuh. Pembuat layangan diawali dengan memilih bahan yang baik untuk dijadikan material layangan. Pemilihan bahan yang baik ini bertujuan agar kualitas layangan bisa berumur panjang, dan tidak patah ketika diterbangkan. Penggunaan pohon pinang, bambu, dan bahan lainnya dipilih dengan selektif agar tidak terjadi kerusakan setelah jadi. Pembuatan konstruksi dengan batang pinang maupun bambu, merupakan kerangka layangan yang paling utama karena akan sangat menentukan karakteristik bentuk layangan dan nilai terbangnya. Proses pengolahan batang pohon pinang maupun bambu sampai bahan tersebut dapat dijadikan bahan layangan cukup panjang. Berawal dari menebang pohon pinang maupun pohon bambu pada hari yang baik dan musim kering agar bahan yang digunakan tidak banyak mengandung air dan bahan cepat kering. Bahan dibelah sesuai dengan kebutuhan dan dijemur lagi pada tempat yang rindang agar kekeringan bahan bisa merata. Penjemuran bahan ini tidak boleh sembarangan, harus disandarkan pada tempat tertentu dengan penyinaran yang merata sehingga kekeringan bahan bisa sama. Bahan ini tidak boleh terlalu kering karena akan bisa pecah-pecah, dan bahan tidak bisa digunakan.
- Proses Pembuatan
Setelah bahan tersedia secara keseluruhan, pembuatan layangan baru bisa dimulai dengan menentukan besar kecilnya layangan yang akan dibuat. Bentuk ideal sebuah layangan sangat ditentukan oleh pengaturan ukuran, komposisi, dan proporsi pada setiap bagian sebuah layangan, seperti: bagian kepala, badan, ekor, tali timbang dan guangan. Untuk mendapatkan ukuran atau sikut yang tepat, seorang undagi layangan menggunakan sebuah alat yang disebut gegulak. Gegulak adalah alat ukur yang terbuat dari bambu yang berisi beberapa ukuran ukuran seperti; anyari, alengkat, acengkang, amusti dan easta yang digunakan untuk menentukan perbandingan ukuran pada setiap bagian. Perbandingan ini dilakukan dengan sistem tikel atau mengalikan. Perbandingan ukuran atau sikut antara bagian satu dengan yang lainnya juga berpengaruh terhadap keseimbangan layangan saat mengudara. Sikut adalah alat ukur yang digunakan untuk mencari ukuran keseimbangan, komposisi dan bentuk ideal dalam satu kesatuan struktur yang ada pada layangan. Kesatuan struktur yang dimaksud dalam pembuatan layangan tradisional Bali adalah unsur bagian yang ada, seperti: bagian kepala, badan, ekor, kepes, tali penimbangan, dan guangan.
Setelah menentukan ukuran, proses selanjutnya dengan membuat konstruksi secara keseluruhan. Batang pinang dan bambu dipotong-potong sesuai ukuran, kemudian diraut sampai halus dan sesuai dengan besar kecilnya ukuran yang diinginkan. Bilah yang sudah halus, kemudian dirakit, diikat dengan benang atau tali nilon yang kuat pada bagian-bagian tertentu. Ada tiga bagian pokok dalam pembuatan konstruksi layangan ini, yaitu: bagian kepala, bagian badan, juga bagian ekor. Terdapat standar ideal dalam menentukan ukuran dengan perbandingan yang sangat jelas yang disebut dengan gegulak. Standar ukuran yang dijadikan pokok utama adalah ukuran dada. Center ukuran adalah pada hulu hati, dari center diambil jarak lebarnya dada, besarnya kepala, dan panjangnya ekor. Benang atau tali plastik berperan besar untuk membentuk keseluruhan layang-layang yang diikatkan pada ujung-ujung batang konstruksi. Dari ujung yang satu dihubungkan ke ujung yang lainnya untuk membentuk kepala, membentuk dada, dan membentuk ekor. Konstruksi layangan telah terbentuk, proses selanjutnya adalah menutup konstruksi tersebut dengan kertas, plastik, atau kain. Proses penutupan ini ada dengan dilem, diiket, dan dijahit. Untuk layangan besar dengan warna-warni proses pengaturan warna dengan menjahit warna berbeda pada kain. Variasi warna yang digunakan adalah warna Catur Datu, yaitu: merah, putih, hitam, dan kuning. Untuk sayap dan ekor yang panjang menggunakan kain lepas sehingga ketika diterbangkan akan bergerak bergelombang dan berliuk-liuk. Lambaian sayap dan ekor ini merupakan bobot nilai estetika layangan itu sendiri. Untuk layangan bebean dan pecukan, proses pengerjaan terakhir adalah pemasangan guwangan untuk mengeluarkan suara. Untuk membuat guwangan yang dapat mengeluarkan suara nyaring memerlukan bahan dan proses yang tepat. Kesalahan pembuatan dan pemasangan guwangan, menyebabkan suara yang dikeluarkan kurang mulus dan nyaring.
- Penampilan.
Banyak cara membuat layangan, tergantung pada jenis, ukuran, dan bahan yang digunakan. Hal yang paling utama perlu diperhatikan adalah layangan dapat terbang dengan baik dan kencang. Pembuatan layangan dengan ukuran besar dan kecil sangat berbeda, demikian juga pembuatan layangan dengan tukuban (bahan penutup) kain, kertas, maupun plastik juga sangat berbeda. Selain karena jenis, ukuran, dan bahan yang digunakan, perbedaan pembuatan layangan juga sangat tergantung pada undagi layangan yang memiliki cara kerja yang berbeda. Mereka memiliki stailnya sendiri yang mewakili pribadinya, maupun wilayahnya. Demikian juga bahan dan peralatan yang digunakan sangat berbeda, untuk membuat layangan yang sangat besar diperlukan perlengkapan sangat banyak untuk membentuk layangan, tidak hanya menggunakan benang atau tali nilon, tetapi sebitan bambu kecil yang lentur untuk dapat dioleh dengan baik. Hal yang paling utama adalah bahan konstruksi utamanya sebagai dasar pembuatan kerangka. Ada tiga titik utama yang menjadi pokok konstruksi, yang dipasang seperti salib, yaitu titik dada, titik kepala, titik pinggang, dan titik ekor. Dari titik-titik ini akan menentukan bentuk layangan dengan menarik tali luarnya. Untuk membuat bentuk lengkungan layangan yang gemulai, digunakan sebitan bambu tipis yang menghubungkan antara titik satu dengan yang lainnya, dan dapat dibentuk dengan tarikan benang. Untuk mengokohkan konstruksi digunakan tarikan benang dari satu batang yang satu ke batang dengan yang lainnya dengan ukuran yang simetris. Proses penukuban layangan juga memiliki perbedaan antara bahan yang digunakan, baik kertas, plasti, maupun kain. Layangan kecil biasanya ditukub dengan kertas dan perekatnya menggunakan lem. Layangan yang lebih besar biasanya ditukub dengan plastik, dan untuk perekatnya menggunakan api dengan bantuan alat dupa atau obat nyamuk. Untuk layangan besar, ditukub dengan kain agar lebih kuat dan pemasangannya dengan dijahit dengan benang.
Pembuatan layangan dengan konstruksi knockdown (bongkar pasang), proses pengerjaannya sangat berbeda dengan pembuatan layangan biasa. Pembuatan layangan utuh, pada titik-titik pusat diikat dengan benang atau tali secara permanen, tetapi untuk layangan konstuksi bongkar pasang, pada titik tertentu dibuat konstruksi berlubang dan dapat dilepas apabila layangan akan digulung. Titik-titik sayap juga dibuat konstruksi bongkar pasang yang semua ujungnya diisi dengan lubang-lubang. Antara tukuban layangan dngan kerangka dasar terpisah dan dipasang ketika layangan akan diterbangkan. Kerangka konstruksi juga dibuat lepas dan dapat dipasang kembali ketika layangan akan diterbangkan. Pembuatan layangan dengan konstruksi bongkar pasang lebih rumit daripada pembuatan layangan dengan konstrksi utuh karena harus membuat konstruksi lubang-lubang pada titik-titik tetentu. Demikian juga penukub layangan yang digunakan adalah kain agar lebih kuat karena akan dibuka dan digulung berkali-kali.
Fungsi
Secara garis besar layangan memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sakral dan fungsi profan. Sebagai fungsi sakral layangan di Bali memiliki kaitan dengan masyarakat petani, yaitu Rare Angon. Dalam kepercayaan petani di Bali, Sang Hyang Rare Angon merupakan manifestasi dari Dewa Siwa yang turun ke bumi ketika masa panen padi di sawah telah berakhir. Sang Hyang Rare Angon diyakini oleh para petani dapat melindungi dan mengayomi segala tumbuhan petani yang ada di sawah maupun di kebun dari serangan hama dan penyakit. Sebagai fungsi profan, bermain layangan memiliki multi fungsi, yaitu fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Sebagai fungsi sosial, layangan dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan pada para penggemarnya. Layangan juga sebagai media ekspresi bagi pencinta untuk menuangkan ide dan gagasannya dalam menciptakan layangan yang sangat unik dan menarik. Layangan juga menjadi standardisasi stratifikasi sosial pembuatnya dan sebagai gengsi penciptanya. Layangan yang mewah dan mahal menunjukkan menunjukan bahwa status sosial yang memiliki adalah orang kaya yang sudah hidup mapan. Selain itu, layangan juga berfungsi untuk menjalin kerja sama antar pemuda yang ditunjukkan dalam proses kerjanya yang dilaksanakan di Bale Banjar. Para pemuda memiliki tanggung jawab bersama untuk mengerjakan layangan sampai selesai dan siap untuk dilombakan. Mereka mengerjakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, ada yang meraut bambu, membuat konstruksi, menjahit kain, melukis, dan menggulung tali. Bagi para pemuda yang memiliki kemampuan menabuh, mereka akan ikut sebagai penabuh untuk mengiringi atraksi layangan yang akan diterbangkan. Jiwa persatuan dan kesatuan terjalin sangat erat dalam kegiatan ini, segilik-seguluk-sebayantaka (bersatu padu dalam suka dan duka). Sebagai fungsi ekonomi, pada saat ini banyak masyarakat melihat bahwa membuat layang-layang berpeluang untuk untuk mendatangkan ekonomi. Orang memiliki keahlian untuk membuat layangan kategori bagus untuk dapat dinaikan secara sempurna, atau untuk dilombakan, banyak mendapatkan pesanan dari penggemar laying-layang yang ada di Bali, maupun luar Bali, bahkan dari luar negeri. Mereka bisa menentukan tarif berapa harga layangan yang bagus dan siap untuk terbang. Ini merupakan peluang yang sangat menjanjikan bagi pencipta layangan yang profesional untuk menghargai hasil kerjanya. Ahli pembuat layangan yang awalnya membuat layangan karena kesenangan, dan merasa puas setelah layangannya terbangnya bagus, tanpa memikirkan ongkos kerja, sekarang mereka sudah dapat menentukan berapa ongkos kerja yang harus dibayar. Ahli layangan sekarang sudah bisa menentukan harga berdasarkan bentuk, model, bahan, dan ukuran.
Makna
Layangan berkaitan erat dengan kepercayaan sehingga layangan bermuatan sakral dan bersifat magis. Dalam hal ini layangan selain sebagai hiburan, juga memiliki nilai atau makna filosofis untuk meminta kesuburan hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan pada Dewa Siwa agar dengan Wara Nugraha-Nya (Rahmat) semua yang ditanam petani mendapatkan hasil yang melimpah. Selain sebagai sarana upacara, permainan layangan juga dilaksanakan oleh petani untuk bersukaria bersama petani lainnya karena hasil pertaniannya melimpah. Lahan yang masih kosong dan deru angin yang sangat kencang, mendorong petani untuk bermain layangan sambil mengurus sawahnya, memperbaiki saluran air, membersihkan rumput untuk dijadikan pupuk. Kerja sama antar petani yang tergabung dalam wadah organisasi “Subak”, terjalin sangat erat, dengan bergotong royong mengerjakan sawahnya. Persatuan dan kesatuan anggota subak sangat kuat dan selalu patuh dengan aturan yang ada sehingga tidak ada perebutan air dan yang lainnya.
Perkembangan Terkini
Sejak munculnya layangan sampai sekarang mengalami dinamika yang cukup signifikan, model, jenis, material yang digunakan, dan teknik pembuatannya. Awalnya, bentuk layangan yang dibuat masih sangat sederhana, terbuat dari daun yang lebar dijahit dengan tali dengan konstruksi dari lidi atau bambu dan ekornya dari alang-alang. Orientasi utama penciptaan layangan adalah dapat diterbangkan dengan baik dan bergerak-gerak di udara. Tali layangan terbuat dari sebitan pelepah pisang yang kering, diplintir agar kuat, dan disambung menjadi panjang. Tali layangan ini cukup berat sehingga terbangnya layangan tidak bisa tinggi dan kencang, bahkan tali sering putus. Bentuk layangan bersudut empat, dan salah satu sudutnya dipanjangkan sehingga bentuknya seperti segitiga. Layangan jenis ini disebut layangan “Cotekan”, yaitu layangan utuh tanpa sayap dan ekor. Layangan ini sangat sulit untuk diterbangkan karena memerlukan keseimbangan yang sempurna. Apabila tidak seimbang layangan akan ngunting, berguling-guling jatuh ke bawah. Untuk mendapatkan keseimbangan yang sempurna, kanan-kiri layangan diisi sayap dengan menggunakan alang-alang. Tujuan utama bermain layangan ini bukan indahnya liak-liuk layangan di udara, tetapi suasana keakraban antar petani sangat rukun dan bersahabat.
Perkembangan selanjutnya, media kertas mulai muncul dalam bentuk lembaran yang sering disebut dengan kertas roti. Penggemar bermain layangan mulai menggunakan kertas roti untuk membuat layangan, namun bentuk masih sangat sederhana. Ukuran layangan secara umum masih kecil-kecil, mudah untuk dikerjakan juga mudah untuk dinaikan ke udara. Layangan masih menjadi kesenangan individu yang dinaikan ketika waktu senggang. Layangan sangat mudah untuk dinaikan ke udara karena bahannya sangat ringan. Konstruksi kerangkanya menggunakan bambu kecil tipis, dari batang bambu yang telah diraut dengan rapi. Tali untuk merakin konstruksi dan tali untuk menaikkan sudah mulai menggunakan benang. Dengan tali benang, layangan bisa naik dengan kencang dan berdiri tegak. Penggemar layangan sangat puas dengan munculnya bahan kertas dan tali benang yang kecil dan ringan. Bentuk dan model layangan mulai bervariasi, sudah mulai mengangkat bentuk binatang sebagai model dalam pembuatan layangan. Karena layangan itu akan diterbangkan, maka model layangan yang dibuat adalah binatang yang memiliki sayap dan bisa terbang seperti kupu-kupu, kalelawar, burung hantu, bebek, angsa, dan yang lainnya. Model layangan sudah mulai bervariasi, namun ukurannya belum ada yang spektakuler, dan masih standar.
Dengan menggunakan kertas, layangan tidak bisa tahan lama, cepat rusak dan robek sehingga tidak bisa dinaikan, juga untuk membuat layangan dengan ukuran besar sangat sulit karena sangat riskan untuk robek. Layangan mulai menggunakan bahan plastik yang memiliki kekuatan lebih apabila dibandingkan dengan dengan kertas. Selain lebih kuat, plastik lebih lentur, dan ukurannya lebih lebar dengan panjang sangat bebas. Dengan adanya bahan plastik, model dan bentuk layangan makin bervariasi. Para penggemar layangan bisa lebih bebas mengekspresikan ide dan gagasannya untuk membuat layangan yang lebih bervriatif. Berbagai bentuk layangan bermunculan, namun secara garis besar dapat dikatagorikan menjadi tiga bentuk layangan, yaitu layangan bebean, layangan Janggan, dan layangan Pecukan. Tiga kategori layangan ini memiliki kekhasan dan keunikan sendiri dengan penggemar yang berbeda.
Banyaknya tersedia bahan layangan yang mudah dicari dan harganya murah, animo masyarakat bermain layangan makin meningkat. Melayangan seakan sudah menjadi tradisi masyarakat secara umum dan berkembang di seluruh Bali, terutama Bali selatan. Dari bulan Juni sampai Agustus merupakan waktunya bermain layangan yang tersebar di berbagai area sawah yang luas dan di pinggir pantai. Bermain layangan sudah mendarah daging di kalangan masyarakat apabila pada saat musimnya tidak dapat bermain layangan, seakan ada sesuatu hal penting yang kehilangan. Bermain layangan makin semarak ketika munculnya bahan kain yang praktis dapat dijadikan layangan. Kain memiliki banyak pilihan warna maupun karakter sehingga layangan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Gairah masyarakat untuk bermain layangan makin meningkat, dengan munculnya layangan dengan ukuran besar dengan warna yang bervariasi. Semua kategori layangan mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan komunitasnya masing-masing. Dengan material kain, layangan dapat bertahan lama dan untuk menerbangkan sangat menantang, selain agak berat, menariknya harus kencang. Para penggemar layangan sangat puas dengan adanya material kain dan tali plastik dengan berbagai ukuran. Adanya kain memberi kebebasan pada para pencipta layangan untuk berekspresi menciptakan layangan yang lebih artistik.
Untuk mengakomodasi semangat dan antusias masyarakat untuk berkreasi dan bermain layangan, maka Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan menyelenggarakan Festival layangan yang diselenggarakan setiap tahun di bulan Juni atau Juli ketika angin sudah mulai kencang. Festival layangan telah diorganisir dan dikelola dengan baik, dengan berbagai ketentuan dan kategori sehingga penyelenggaraannya dapat berjalan baik. Dalam festival ini, tradisi layangan yang yang ada di masyarakat diakomodir dengan baik sehingga semua memiliki kesempatan untuk ikut, baik secara individu, komunitas, maupun kelompok banjar maupun desa adat. Terdapat empat kategori layangan yang dilombakan, yaitu layangan bebean, layangan janggan, layangan pecukan, dan layangan kreasi. Masing-masing layangan ini memiliki penggemmar dan pendukung tersendiri sehingga festival ini sangat semarak. Semua penggemar layangan ingin menunjukkan dirinya bahwa mereka memiliki layangan yang bagus dan mampu menciptakan layangan yang baik.
Upaya Pelestarian Karya Budaya
Menjaga kelestarian dan mengembangkan tradisi melayangan merupakan salah bagian tanggung jawab moral masyrakat Bali terhadap tradisinya. Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan melakukan langkah-langkah strategis sebagai upaya untuk melestarikan layangan tradisional Bali, sebagai berikut:
Perlindungan
- Menyelenggarakan kompetisi layangan tradisional Bali untuk meningkatkan minat masyarakat.
- Melaksanakan dokumentasi dan kajian tentang layangan tradisonal Bali.
Pengembangan
Layangan tradisional Bali awalnya bentuk layangan yang dibuat masih sangat sederhana dari bahan kertas dan plasti kemudian dikembangkan baik model, jenis, material yang digunakan, dan teknik pembuatannya. Dalam perkembangannya material layangan menggunkan bahan kain dan menggunakan tehnik bongkar pasang (knockdown) Sehingga layangan menjadi lebih awet atau tahan lama.
Pemanfaatan
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bekerjasama dengan Persatuan Layang-layang Indonesia (PELANGI) Bali menyelenggarakan Festival layangan yang diselenggarakan setiap tahun di bulan Juni atau Juli ketika angin sudah mulai kencang. Festival layangan telah diorganisir dan dimanajemen dengan baik, dengan berbagai ketentuan dan katagori, sehingga penyelenggaraannya dapat berjalan baik. Dalam festival ini, tradisi layangan yang yang ada di masyarakat diakomodir dengan baik, sehingga semua memiliki kesempatan untuk ikut, baik secara individu, komunitas, maupun kelompok banjar maupun desa adat. Terdapat empat katagori layangan yang dilombakan yaitu layangan bebean, layangan Janggan, layangan Pecukan, dan layangan kreasi. Dengan adanya festival layangan secara kreatif dan berkelanjutan dapat berkontribusi pada keberlanjutan eksistensi layangan tradisional Bali dan berkontribusi pada ekonomi masyarakat.
Pembinaan
- Pembentukan Komunitas atau kelompok Persatuan Layang-layang Indonesia (PELANGI) Bali yang bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan layangan tradisional Bali, dengan mengadakan pertemuan rutin, diskusi dan kegiatan bersama.
- Melaksanakan pelatihan yang mengajarkan teknik pembuatan layangan tradisional Bali kepada generasi muda, serta memperkenalkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang tekandung dalam layangan tradisional Bali