Dokumen Mebayang-bayang

Mebayang-bayang

Masyarakat Desa Adat Sengkiding, Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung masih tetap menjaga dan melestarikan sejumlah tradisi dan budaya yang diwariskan oleh para leluhurnya. Salah satunya adalah tradisi Mebayang-bayang. Tradisi ritual Mebayang-bayang berupa aksi tarik-tarikan belulang godel betina digelar secara turun temurun sejak berdirinya Desa Adat Sengkiding tahun 1900-an. Ritual ini pernah tidak dilaksanakan sehingga terjadi peristiwa niskala dimana kelian banjar dicari sosok yang bertubuh besar dan sangat mengerikan

Desa Adat Sengkiding, Desa Aaan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung merupakan salah satu desa adat di Bali yang tidak melaksanakan tradisi mengarak ogoh-ogoh saat malam pengerupukan menjelang hari suci Nyepi tahun baru Saka, yang ada adalah tradisi ritual Mabayang-bayang yang dilaksanakan di atas genangan air sebagai simbul untuk mengusir pengaruh negatif yang masuk ke Desa Adat Sengkiding. Tradisi ritual Mebayang-bayang sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), tidak terlepas dari nilai-nilai religiusitas.  Secara ideologi masyarakat, pelaksanaan tradisi ritual Mebayang-bayang diyakini mempunyai pengaruh penting terhadap pembersihan diri dan sebagai penetralisir hal-hal yang bersifat negatif. Dalam konteks makrokosmos (bhuana agung), Mebayang-bayang adalah bentuk ucapan rasa syukur atas kesuburan yang telah dilimpahkan pada bumi pertiwi (bhuana agung) sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup ciptaan-Nya.  

Tokoh Kerta Desa Adat Sengkiding Ida Bagus Gede Yoga (maestro dan narasumber) menjelaskan, Tradisi Mebayang-bayang memiliki arti melakukan aktivitas atau gerakan saling tarik-menarik belulang godel  (kulit anak sapi). Godel yang digunakan sebagai sarana pun harus betina yang hidungnya belum dicocok dan diyakini masih suci. Tradisi ritual Mebayang-bayang ini bertujuan untuk mengusir pengaruh negatif yang datang dari luar Desa Adat Sengkiding. Prosesi Mebayang-bayang sebagai rangkaian menjelang hari raya Nyepi digelar dan dipusatkan di Catus Pata atau Perempatan  Agung Desa Adat Sengkiding pada Tilem Kesanga, pukul 18.00 Wita hingga malam pukul 20.00 Wita. Sebelum tradisi ritual Mebayang-bayang dilaksanakan, terlebih dahulu digelar upacara tawur agung kesanga yang mengambil tempat di Catus Pata Desa Adat Sengkiding, Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.

Prosesi upacara pecaruan (bhuta yadnya) juga diadakan dimasing-masing ujung perbatasan desa dari siang hari hingga malam pukul 18.00 Wita. Sesudah upacara pecaruan selesai digelar, maka belulang godel betina yang digunakan sebagai sarana kurban suci yang lengkap menempel dengan kepala, keempat kaki, dan ekornya diamankan oleh kerama Desa Adat Sengkiding. Belulang godel betina inilah yang kemudian dibayang dalam tradisi ritual Mebayang-bayang.

Saat tradisi ritual Mebayang-bayang digelar, sejumlah kulkul (Kentongan) besar dipukul sehingga mengeluarkan suara yang bertalu talu untuk menyemarakkan tardisi ritual Mebayang-bayang itu dan diiringi oleh suara teriakan yang gemuruh dari peserta tradisi ritual Mebayang-bayang tersebut. Pada saat yang bersamaan juga dinyalakan sejumlah perakpak (obor besar yang terbuat dari daun kelapa kering yang disatukan menjadi ikatan besar) dipasang di pinggir areal tradisi ritual Mebayang-bayang yang berfungsi sebagai penerangan jalan. 

Tradisi ritual Mebayang-bayang ini bukan hanya berupa ritual saling tarik menarik belulang godel, tetapi juga ditingkahi dengan cipratan air yang berasal dari parit kecil yang mengalir di kiri kanan jalan raya Desa Adat Sengkiding yang sebelumnya memang telah dipersiapkan oleh anggota kerama Desa Adat Sengkiding dengan memasang puluhan karung berisi pasir di parit, sehingga airnya menggenang dan meluber hingga ke jalan. Air dari kolam buatan itulah yang diguyurkan ke peserta tradisi ritual Mebayang-bayang hingga peserta menjadi basah kuyup disertai dengan teriakan yang gumuruh dari para peserta tradisi ritual Mebayang-bayang tersebut.

Dalam prosesi tradisi ritual Mebayang-bayang, yang ikut terlibat aksi saling tarik menarik belulang godel betina dan guyur mengguyur air adalah kerama lanang dari segala usia, mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Sementara kerama istri lebih sebagai penonton dan penyemangat dengan mengambil posisi di pinggir areal. Tradisi ritual Mebayang-bayang berlangsung hingga pukul 22.00  Wita. Tradisi ritual Mebayang-bayang diakhiri dengan mengubur belulang godel betina di ujung desa sebagai wujud bahwa prosesi tradisi ritual Mebayang-bayang itu telah berakhir dengan harapan Desa adat sengkiding terbebas dari gangguan roh negatif yang dapat mengganggu harmonisasi kehidupan masyarakat di Desa Adat Sengkiding.

Berdasarkan informasi dari Bendesa Adat Sengkiding, I Gede Suradnyana dan juga dari Kelian Banjar Adat Sengkiding, I Made Nata menyatakan bahwa tradisi ritual Mebayang-bayang ini digelar secara turun temurun sejak berdirinya Desa Adat Sengkiding sekitar tahun 1900-an. Tradisi ritual Mebayang bayang ini selalu digelar saat hari pangrupukan (sehari sebelum hari raya Nyepi). Di Desa Adat Sengkiding tidak mengenal tradisi mengarak ogoh-ogoh disaat hari pangrupukan menjelang hari Raya Nyepi. Kerama Desa Adat Sengkiding meyakini bahwa tradisi ritual Mebayang bayang merupakan implementasi dari pangrupukan menjelang hari raya Nyepi yang menjadi satu rangkaian dengan upacara Tawur Agung Kasanga untuk menyomiakan (menetralisir) Bhuta Kala. Tradisi ritual Mebayang bayang ini tidak boleh untuk tidak dilaksanakan, karena akibatnya bisa mendatangkan bencana bagi kerama desa Adat Sengkiding.

Di masa lalu tradisi ritual Mabayang bayang ini pernah tidak digelar. Akhirnya terjadi peristiwa magis dimana Kelian Banjar Sengkiding dicari oleh sosok bertubuh besar yang mengerikan. Sejak saat itu tradisi ritual Mebayang-bayang itu tidak pernah lagi tidak dilaksanakan kata tokoh adat Desa Sengkiding Ida Bagus Gede Yoga yang berusia 73 tahun yang menjabat sebagai Bendesa Adat Sengkiding sejak tahun 2017. Kenapa tradisi ritual Mebayang bayang kala itu sampai tidak digelar? Menurut keterangan I Wayan Wira Adnyana, Perbekel Desa Aan dan diperkuat oleh pernyataan Ida Bagus Gede Yoga, karena pada saat itu kerama Desa Adat Sengkiding didera musim paceklik, banyak mengalami kelaparan  sehingga tidak sanggup  membeli godel untuk sarana kurban ritual Mebayang bayang. Ternyata peniadaan pelaksanaan tradisi ritual Mebayang bayang dapat mengakibatkan munculnya peristiwa magis dimana Kelian Banjar Sengkiding dicari oleh sosok yang bertubuh besar dan sangat menakutkan. Hal ini dapat dimaknai sebagi bentuk peringatan dari alam gaib untuk tetap ingat akan tradisi leluhur yang telah diterima secara turun-temurun. Ida Bagus Gede Yoga mengatakan, krama Desa Adat Sengkiding biasanya melaksanakan iuran tiap bulan untuk bisa melaksanakan tradisi ritual Mebayang-bayang, termasuk membeli godel betina. Selain itu, juga ada bantuan dana dari Bantuan Kegiatan Khusus (BKK) dari Pemerintah Provinsi Bali.

Tradisi ritual Mebayang-bayang yang digelar oleh masyarakat Desa Adat Sengkiding, bertujuan untuk menghalau aura negatif yang ditimbulkan oleh Bhuta kala yang dianggap dapat mengganggu keharmonisan wilayah Desa Adat Sengkiding. Pelaksanaan tradisi ritual Mebayang-bayang dilaksanakan sehari sebelum datangnya hari suci penyepian. Masyarakat Desa Adat Sengkiding merupakan salah satu desa adat yang ada di Bali yang tidak melakukan arak-arakan ogoh-ogoh tetapi melaksanakan tradisi Mebayang-bayang.

Dalam pelaksanaan tardisi Mebayang-bayang itu, seluruh warga dari segala usia tumpah ruah datang ke areal Catus Pata untuk melaksanakan prosesi tersebut. Kaum perempuan tidak ikut dalam prosesi Mebayang-bayang, tetapi mereka bertindak sebagai penyemangat dan lebih berperan dalam mempersiapkan sarana upakaranya yang akan digunakan saat melangsungkan prosesi ritual Mebayang-bayang itu.

Sebelum prosesi tradisi ritual Mebayang-bayang itu dilaksanakan, pada pagi harinya diadakan upacara pecaruan baik di areal Catus Pata maupun di setiap batas desa diempat penjuru yaitu di Utara, Timur, Selatan, Barat dan di tengah yaitu di Catus Pata sebagi pusat pelaksanaan tradisi ritual Mebayang-bayang pada malam harinya yang dipimpin oleh Jro Mangku Kayangan Tiga.

Krama istri pada pagi hari mempersiapkan sarana upakara yang diperlukan dalam rangkain untuk membersihkan wilayah Desa Adat Sengkiding secara niskala melalui prosesi menghaturkan pecaruan pada setiap batas wilayah desa. Sementara kaum laki-laki mempersiapkan sarana upakara yang berkaitan dengan penyemblihan godel yang kubalannya akan digunakan sebagai sarana upakara Mebayang-bayang pada malam harinya. 

Kerama Desa Adat Sengkiding secara bergotong royong mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan prosesi ritual Mebayang-bayang tersebut, terutama melaksanakan penyemblihan godel dan selanjutnya pengolahan atas daging godel yang telah diambil kubalannya. Daging itu digunakan sebagai sarana upakara dan sisanya dibagi menjadi beberapa bagian dengan jumlah pembagian disesuaikan dengan jumlah kerama Desa Adat dan ditambah dengan beberapa kerama yang berstatus  sebagai penyada, sebagai rasa syukur telah dianugrahi kelimpahan oleh Yang Maha Kuasa.

Setelah segala persiapan dalam rangka pelaksanaan prosesi Mebayang-bayang selesai dikerjakan, maka pada malam harinya krama lanang Desa Adat Sengkiding mulai mempersiapkan diri untuk melaksanakan prosesi Mebayang-bayang tersebut yang di pusatkan di areal Catus Pata. Namun, sebelum diadakan prosesi Mebayang-bayang di Catus Pata, terlebih dahulu kubalan Godel itu diletakkan di Catus Pata sebagai sarana upara caru dengan posisi kepala menghadap ke utara. Setelah upakara caru selesai dilakukan barulah kubalan godel itu diarak ke empat penjuru mata angin dengan maksud untuk mendapat restu dari penguasa di masing-masing arah penjuru tersebut agar pelaksanaan tradisi Mebayang-bayang bisa berjalan dengan lancer.

Dalam rangka pelaksanaan tradisi ritual Mebayang-bayang, masyarakat Desa Adat Sengkiding, terlebih dahulu harus mempersiapkan sarana yang berupa godel betina yang  belum dicocok hidungnya. Dalam pemilihan godel ini perlu dilakukan pemilihan secara seksama, sesuai dengan aturan yang ada. 

Setelah memiliki sarana upaka yang berupa godel betina, godel tersebut terlebih dahulu diupacarai dan dibersihkan karena akan digunakan untuk sarana upakara dalam prosesi Mebayang-bayang. Kecuali sarana berupa godel betina, tentu juga dipersiapkan sarana-sarana lainnya berupa sarana upakara bebantenan yang akan dihaturkan saat sebelum prosesi Mebayang-bayang itu dilakukan yang dipimpin oleh Jro Mangku Kayangan Tiga.

Selain sarana diatas, masyarakat Desa Adat Sengkiding juga sebelumnya harus mempersiapkan genangan air pada areal pelakanaan tradisi Mebayang-bayang tersebut. Juga mempersiapkan prakpak sebagai sarana pelengkap ketika tradisi Mebayang-bayang itu akan dilaksanakan. Prakpak (obor yang terbuat dari kumpulan daun kelapa kering yang diikat menjadi ikatan-ikatan besar) dimaknai sebagai sara penerang pada areal prosesi Mebayang-bayang itu dilaksanakan.

Tradisi ritual Mebayang-bayang sebagai sebuah teks yang ditafsirkan oleh hermeneutika, tidak saja yang bersifat kekinian tetapi dan yang paling menentukan adalah teks masa lalu, yang pemahamannya masih belum jelas.  hermeneutika melihat sejarah itu sebagai sebuah dialog yang tersambung antara masa lalu, masa kini dan masa mendatang (atita, nagata dan wartamana). Pemahaman akan terjadi apabila cakrawala makna historis dan logika asumsi penafsir berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Ketersambungan itu terlihat dari makna di dalam teks yang terbuat di masa lalu, untuk kemudian ditafsirkan maknanya untuk masa kini. Selanjutnya di masa depan, generasi pun mampu membuat penafsiran baru atau justru karya dan ide baru yang berasal dari tradisi ritual Mebayang-bayang itu sendiri.

Upaya Pelsetarian Karya Budaya

Bagi masyarakat Desa Adat Sengkiding tradisi ritual Mebayang-bayang sebagai sebuah teks, merupakan wahana untuk menguatkan dan meningkatkan sradha dan bhakti terhadap Ida Hyang Widhi Wasa dalam prabawaNya sebagai penguasa alam yang telah memberikan karunia melimpah selama ini demi kesejahtraan krama Desa Adat Sengkiding. 

Tradisi ritual Mebayang-bayang di Desa Adat Sengkiding berfungsi untuk menetralisir pengaruh negative yang dibawa oleh bhuta kala. Diyakini oleh masyarakat di Desa Adat Sengkiding, bahwa dengan melaksanakan tradisi ritual Mebayang-bayang yang dilaksanakan di Catus pata, masyarakat Desa Sengkiding akan memperoleh keselamatan dan terlepas dari gangguan roh-roh yang negative. Dengan menggunakan sarana kubalan sapi yang diarah ke empat penjuru di wilayah Desa Adat Sengkiding diharapkan mampu mewujudkan suasana yang harmonis di antara warga di Desa Sengkiding sehingga bisa melaksanakan aktifitas keseharian secara baik. Dengan dapat dikatakan bahwa sarana upakara dengan menggunakan kubalan sapi betina yang dipermainkan oleh warga diyakini mampu mengusir aura negative yang masuk ke wilayah Desa Adat Sengkiding. Dengan demikian tradisi ritual Mebayang-bayang kental dengan nilai mitis religious

Makna tradisi ritual Mebayang bayang adalah bertujuan untuk menyucikan pikiran dari pengaruh kekuatan butha kala yang bersifat negatif yang akan menyebabkan orang melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan moralitas sehingga dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Secara filosofi makna tradisi ritual Mebayang bayang adalah untuk meningkatkan kwalitas berpikir agar selalu berpokir positif, dengan melaksanakan tradisi ritual Mebayang bayang akan dapat memberikan kekuatan positif pada pikiran manusia dan dengan demikian sifat-sifat makhluk buta tidak akan berpengaruh. Juga bermakna untuk menyerap kekuatan atau energi ketuhanan yang disimbulkan oleh korban suci berupa kubalan anak sapi (godel) yang belum dicocok hidungnya, sehingga setiap orang mempunyai kekuatan untuk bisa menetralisir hal-hal yang tidak baik yang ada dalam pikiran seseorang

  • Perlindungan

Tradisi Ritual Mebayang-bayang hingga kini tetap dilaksanakan dengan tetap menampilkan keunikan seperti awal mula ritual tersebut dilaksanakan dan berupa kajian akademis Tradisi Ritual Mebayang-bayang.

  • Pengembangan

Dengan ditetapkannya Tradisi Ritual Mebayang-bayang ini menjadi Warisan Budaya Tak Benda telah menjadi icon Desa Adat Sengkiding

  • Pemanfaatan

Dengan menjadi icon desa adat Sengkiding, Tradisi Ritual Mebayang-bayang sudah menjadi agenda rutin serta mempunyai potensi budaya yang bisa dimanfaatkan menjadi obyek pariwisata dengan konteks wisata budaya.

  • Pembinaan

Menerbitkan buku   tentang Tradisi Ritual Mebayang-bayang. Adanya buku hasil inventarisasi ini diharapkan tersedia satu dokumen dalam bentuk foto, video, dan buku.

Melalui penetapan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tradisi Ritual Mebayang-bayang sebagai salah satu karya budaya di Kabupaten Klungkung akan memiliki posisi legal sebagai warisan budaya bangsa Indonesia yang telah tercatat dalam database Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.