Dokumen Meburu

Meburu

Meburu dalam bahasa Indonesia berarti berburu. Tradisi Meburu dilaksanakan dalam untaian proses selama beberapa hari dan puncak upacara dilakukan saat Tawur Agung Kesanga atau sehari sebelum hari raya Nyepi. Tradisi Meburu merupakan pelaksanaan ajaran kuna dresta. Kuna Dresta yang merupakan bagian dari ajaran Catur Dresta (Kuna Dresta, Sastra Dresta, Loka Dresta dan Desa Dresta). Tradisi Meburu memiliki makna yang sakral dan magis dimana tradisi ini dipercaya dapat menciptakan keseimbangan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Secara kesejarahan, tradisi Meburu tidak bisa lepas dari sejarah Desa Adat Panjer. Memiliki pengaruh lintas waktu dengan mengedepankan konsep kolaboratif Masyarakat Desa Adat Panjer serta memiliki nilai mitologi, fungsi ritual, system nilai budaya dan mewujudkan bentuk simbolik serta konsepsi yang berkesinambungan dengan perkembangan Desa adat Panjer. Secara mitologi tradisi meburu dipercaya mampu menetralisir pengaruh energi negatif (Bhuta Kala) menjadi energi positif melalui rangkaian ritual nyomya Bhuta kala, sehingga tradisi meburu menjadi sebuah perilaku serta keyakinan yang telah ditetapkan sebagai wujud kebudayaan dan sekaligus menjadi acuan dalam merespon kehidupan social. Adapun sejarah Panjer dapat diceritakan sebagai berikut :

Diceritakan seorang raja yang memerintah di Kerajaan Toh Jaya yang bernama Arya Tegeh Kori. Meskipun telah memiliki seorang permaisuri, namun ternyata raja juga memiliki seorang selir yang bernama Luh Semi. Lambat laun hubungan antara raja dan Luh Semi mulai diketahui permaisuri dan hal itu tentu menyebabkan kemarahan permaisuri. Saat itu Luh Semi sedang hamil muda. Permaisuri kemudian memerintahkan Patih Dukuh Melandang untuk mengusir dan membunuh Luh Semi yang tak lain adalah anaknya sendiri. Luh Semi diajak ke hutan belantara di daerah Tonja menyusur ke arah selatan hingga ia menemukan pohon kayu besar. Dukuh Melandang mencoba untuk menghabisi nyawa Luh Semi, tetapi tiba-tiba datang seekor anjing bulu cemeng (berwarna abu-abu) yang menghalanginya. Akhirnya Patih Dukuh Melandang berfikir dan berkesimpulan untuk tidak membunuh Luh Semi. Untuk menutupi kegagalannya membunuh Luh Semi akhirnya Patih Dukuh Melandang membunuh anjing bulu cemeng tersebut dan dibuatkan gegumukan (kuburan) seperti menguburkan manusia. Sampai saat ini tempat ini dikenal sebagai setra (kuburan) Buung Keneng di daerah Kesiman. Untuk menghilangkan jejak, Dukuh Melandang memboyong Luh Semi ke arah selatan hingga menemukan hutan yang dikelilingi pohon paku. Di tempat ini Dukuh Melandang menyembunyikan Luh Semi dan meninggalkannya seorang diri. Patih Dukuh Melandang pun kembali ke kerajaan dan melapor kepada permaisuri bahwa Luh Semi telah dibunuh dengan bukti keris penuh darah yang dikatakan dipakai membunuh Luh Semi. Hingga pada suatu hari Luh Semi melahirkan seorang putra. Tempat ini akhirnya disebut dengan Pakubon atau berarti tempat tinggal. Lama kelamaan nama Pakubon dikenal sebagai Pakuon hingga dibuatkan pura yang diberi nama Pura Pakuon. Pura ini di-empon krama yang tinggal di Jalan Nusa Indah, Abian Kapas, Denpasar. Suatu hari, Raja Dalem Klungkung berencana melakukan persembahyangan ke Pura Sakenan di Pulau Serangan. Dalam perjalanan itu Raja Dalem Klungkung melewati hutan Nyanggelan yang tidak jauh dari alas Pakuon. Di tengah perjalanan rombongan kerajaan ini merasa kelelahan. Mereka memutuskan beristirahat karena melihat ada tempat beristirahat di hutan Pakuon. Ketika beristirahat segala sarana upacara berupa pengawin, tombak, tedung dan lelontekan harus ditancapkan agar tetap berdiri. Namun anehnya tidak satupun sarana upacara itu dapat ditancapkan. Satu per satu pengiring Raja Dalem Klungkung telah mencoba menancapkan, tetapi gagal. Hingga datanglah anak kecil yang dengan mudah menancapkan sarana upacara tersebut. Setiap sarana uapacara tersebut di-pancer (tancap) ke tanah. Untuk mengucapkan terima kasih, Raja menemui orang tua si anak. Di alas Pakuon raja menemui Luh Semi. Luh Semi menceritakan asal-usul anak tersebut yang merupakan keturunan Raja Arya Tegeh Kori. Si anak pun diajak ke Kerajaan Gelgel di Klungkung. Raja Klungkung memanggil Raja Arya Tegeh Kori untuk menceritakan bahwa anak tersebut merupakan keturunannya dan meminta untuk mengakui dan mengasuh anaknya. Sejak itu daerah tersebut disebut dengan Panjer. Hingga saat ini cerita asal usul nama Panjer diperkuat dengan adanya Pura Benculuk di Tatasan, Tonja, Kesiman dan Pura Pakuon di Ijo Gading Tukad Yeh Aya, Panjer. Tradisi Meburu dilaksanakan secara sukarela dengan mengedepankan konsep ngayah yang dilakukan oleh seluruh masyarakat desa adat Panjer. Dimulai dari persiapan pembuatan banten upacara. Di pimpin oleh Serati Desa dan difokuskan pada salah satu banjar yang mendapatkan giliran ngayah dari sembilan banjar yang ada di desa adat Panjer. Dalam satu waktu, Bale Panjang yang terdapat di Pura Bale Agung menjadi paruman (tempat berkumpul Ida Bhatara) yang datang dari segala penjuru desa Adat Panjer. Prosesi Ida Bhatara datang ke paruman di Pura Bale Agung dilaksanakan dalam beberapa hari dan dihantarkan oleh pemedek masing-masing. Mengingat kegiatan Meburu berjalan bersamaan dengan kegiatan Tawur Agung Kesanga, maka Ida Bhatara bersama dengan pratima upakara ikut dalam prosesi kegiatan melasti di pantai Mertasari, Sanur. Kegiatan Melasti utamanya untuk menghanyutkan kotoran alam dengan menggunakan air kehidupan. Prosesi mepekelem bagi caru bebek dan ayam dilaksanakan dengan tidak absen memohon air suci (ngelungsur tirta) yang digunakan melebur uparengga (perangkat upacara adat). Prosesi Melasti diwarnai dengan kerauhan dari para pemangku yang melaksanakan upacara.

Dalam satu waktu, masyarakat desa adat Panjer melaksanakan Meprani di banjar masing-masing. Berbagai panganan dipersembahkan secara simbolik kepada Ida Bhatara dan dipimpin oleh pemangku setiap banjar. Wujud syukur terpancar dalam kegiatan Meprani. Makanan yang dibawa selanjutnya dinikmati bersama dengan masyarakat tatkala upacara Meprani selesai dilaksanakan. Pada hari yang sama, masyarakat desa adat Panjer melaksanakan kegiatan caru dengan menggunakan Caru Panca Sata tepat saat waktu menunjukkan jam 12 siang. Caru Panca Sata merupakan caru tingkatan desa yang dalam hal ini dilaksanakan oleh desa adat Panjer dan memiliki makna perjamuan terhadap bhuta kala yang melingkupi lima arah mata angin. Selanjutnya, bertempat di Pura Bale Agung, upacara Pedatengan Sari dilaksanakan dengan dipimpin oleh para pemangku pura sejebag desa adat Panjer. Sembari menghaturkan kawas pemendakan, dilakukan juga kegiatan ngider bhuana yang menjadi simbolisasi perputaran bhuana agung dengan berputar di Bale Agung sebanyak tiga kali. Pada saat yang sama, di jaba sisi Pura Bale Agung dilaksanakan pagelaran Tari Rejang Dewa, Baris Meburu dan Tari Rejang Penyegjeg Pancer Sari. Seluruh masyarakat menunggu momen dimulainya prosesi trance yang akan mengantarkan seluruh warga ke Pura Tegal Penangsaran. Saat senja, pemedek yang trance diarahkan menuju Pura Tegal Penangsaran yang berjarak sekitar 1 km dari Pura Bale Agung, masyarakat yang mengalami kerauhan lalu beranjak tegas dan sesekali berlari layaknya orang berburu sesuatu. Kekuatan yang besar melingkupi prosesi Meburu hingga puncaknya dilaksanakan upacara mecaru dan nyambleh di sisi pura Tegal Penangsaran. Suasana mistis menyelimuti dari setiap teriakan, tawa dan tangisan yang tentunya datang dari spirit yang mengontrol kesadaran masyarakat yang kerauhan. Tradisi Meburu merupakan representasi kearifan lokal yang mewujud ke dalam bentuk praktik ritus peribadatan dengan nilai kesusilaan yang berlandaskan pada filsafat umat Hindu yang berada di desa adat Panjer.