Dokumen Siat Sarang

Siat Sarang

Tradisi ini merupakan runtutan dari perayaan Usaba Dimel (Usaba Dodol) yang dilaksanakan setia satu tahun sekali ada sasih Kaulu (bulan ke-8 ada perhitungan kalender Bali). Tradisi ini dilaksanakan 3 (tiga)    hari menjelang perayaan Usaba Dimel yakni pada saat melaksanakan Aci Petabuhan (pecaruan kepada Bhuta Kala). Siat Sarang berasal dari kata “Siat”  yang berarti perang/saling lempar dan “Sarang” yakni daun enau yang dianyam menyerupai bentuk segitiga yang digunakan sebagai alas untuk membuat jajan uli. Siat sarang dilakukan pada sore hari setelah selesai bertempat di perempatan Desa Selat.

Sebelum pelaksanaan, pada pagi harinya karma desa membuat Tenge yakni simbol dari bhuta kala yang terbuat dari empat jenis daun (daun aba, daun bambu, daun gegirang dan daun gunggung). Tenge ini diletakkan di pelinggih-pelinggih, sudut-sudut rumah dengan maksud menarik bhuta kala yang ada di pekarangan rumah.  Pada sore harinya semua tenge tersebut dikumpulkan di dalam sarang untuk selanjutnya diletakkan di depan pintu masuk  rumah dengan menghaturkan sesajen berua ulam caru yang diperoleh dari Bale Agung  dan api cakep dan disertai dengan ucapan “pesu-pesu ke Bale Agung merebutin tulang dedengkul” artinya semua bhuta kala yang digambarkan ada tenge agar ke luar dan berkumpul di Bale Agung untuk diberikan persembahan berupa labaan/caru supaya tidak mengganggu.

Setelah itu warga laki-laki mulai  mengumpulkan sarang yang ada di depan rumah masing-masing warga lalu dibawa ke depan Pura Dangin Pasar untuk digunakan sebagai sarana siat sarang. Para warga lelaki mulai berkumpul di catus pata (perempatan) di depan Pura Dangin Pasar dengan mengambil posisi:

  • Warga Baleran (berdiam di sebelah utara pasar) berada di posisi sebelah utara
  • Warga Belodan (berdiam di sebelah selatan asar) berada di posisi sebelah selatan

Setelah aba-aba dari keliang Desa yang didahului dengan mohon waranugraha Siat Sarang dimulai. Dalam melakukan siat sarang ada ketentuan yang harus diikuti masing-masing peserta yakni: sarang harus dilempar, tidak boleh memukul dengan sarang (dalam posisi dipegang)  apalagi sampai mengejar untuk memukul. Siat Sarang ini dilakukan sebanyak tiga ronde.

Tradisi Siat Sarang ini bertujuan untuk:

  1. Membuang mala (musuh atau kotoran) yang ada dalam diri kita secara niskala karena diyakini bahwa setiap manusia lahir membawa sifat-siat bhuta (tidak baik) sehingga perlu diperangi secara niskala.
  2. Mengharmoniskan alam dengan nyomia/menetralisir pengaruh jahat bhuta kala yang mengganggu manusia dan alam sekitar.