Tari Rejang Gede
ASPEK SEJARAH:
Tari Rejang Gede di Banjar Adat Tihingan, Desa Bebandem memiliki sejarah yang sangat panjang yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Banjar Adat Tihingan itu sendiri. Berawal dari Banjar Adat Tihingan pada masa itu disebut dengan Bahung Teringan yang merupakan sebuah pusat pemukiman penduduk yang sangat penting pada masa Bali Kuno. Disebutkan pada tahun 1150 M terdapat sebuah pertapaan yang dinamakan Wihara Bahung, dikaitkan juga dengan kelahiran seorang anak yang dinamai Teruna Gede Bagus yang memiliki selera dan porsi makan sangat besar sehingga orangtua dan masyarakat tidak sanggup lagi untuk memenuhinya. Muncullah sebuah ide untuk membunuh Taruna Gede Bagus dengan cara disuruh membuat sumur kemudian akhirnya ditimbun dari atas. Namun sebelum meninggal Taruna Gede Bagus berpesan kepada warga bahwa apabila masayarakat sudah bisa melaksanakan Aci-aci desa maka bangkitkanlah dia dengan tumpeng 5 biji sebagai lambang Panca Maha Mertha yang disebut dengan Tumpeng Pingit. Setelah peristiwa tersebut berlalu kehidupan masyarakat di Karaman Bahung Teringan mengalami kesulitan ekonomi yang cukup berat, sehingga masyarakat tidak mampu lagi untuk membayar kewajiban, iuran maupun pajak kepada raja. Sehingga banyak masyarakat yang pergi meninggalkan Bahung Teringan untuk mencari kehidupan baru agar terhindar dari membayar kewajiban, iuran maupun pajak kepada raja, hal ini disebutkan dalam Prasasti Bebandem. Jadi dalam Prasasti Bebandem disebutkan bahwa Karaman Bahung Teringan sudah ada sebelum tahun 1056 Saka atau (1134 M), dan pada saat itu sedang mengalami kesulitan kehidupan serta banyak masyarakatnya yang meninggalkan desanya untuk menghindari pembayaran kewajiban (aktivitas gotong-royong dan persembahan), iuran (terkait dengan pemeliharaan ternak) dan pajak (terkait dengan aktivitas ekonomi) kepada kerajaan pada saat itu.
Masyarakat Bahung Teringan yang tersisa yaitu masih 11 kepala keluarga, kemudian menghadap raja Bali pada saat itu yaitu Sri Maharaja Jayasakti, untuk memohon keringanan pembayaran kewajiban, iuran dan pajak pada kerajaan. Raja merasa kasihan melihat kehidupan masyarakatnya kemudian beliau memberikan keringanan kepada Karaman Bahung Teringan untuk tidak membayar pajak maupun kewajiban lainnya. Setelah pembebasan pajak dan kewajiban berangsur-angsur kehidupan masyarakat mulai berkembang, perekonomian berkembang dan jumlah warga semakin bertambah dan wilayah Bahung Teringan semakin luas. Ingatlah masyarakat akan janji kepada Taruna Gede Bagus untuk melaksanakan Aci Desa (Upacara besar) sebagai rasa syukur telah memperoleh berkah kehidupan yang lebih baik. Aci Desa itu dilaksanakan sekitar tahun 1500-an dengan menghaturkan banten prani, tarian Rejang Gede, Pependetan dengan iringan Gong Gede. Dengan demikian diperkirakan Rejang Gede ini sudah ada semenjak itu sampai sekarang yang tetap dilaksanakan.
Struktur dan Bentuk Tari Rejang Gede:
1. Penari
Penari Rejang Gede adalah perempuan yang sudah menginjak remaja dan belum menikah yang berasal dari Banjar Adat Tihingan. Penari dipilih oleh Kelian Banjar Adat sebanyak 4 orang berasal dari tempek yang mendapatkan giliran untuk melaksanakan, misalnya jika yang giliran mengempon adalah Banjar Tengah maka penari akan berasal dari Banjar Tengah. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi penari Rejang Gede.
2. Tata rias dan busana
- Tata rias yang digunakan adalah menggunakan tata rias natural/soft seperti menggunakan krayolan/foundation (alas bedak), bedak padat, bedak tabur, eyeliner (mempertegas garis mata), blush on (pemerah pipi), lipstick (pemerah bibir) berwarna merah, eyeshadow (pewarna pada kelopak mata) berwarna coklat muda dan coklat tua seperti hiasan muka pada umumnya. Tambahan riasan adalah tapak dara yakni boreh yang digunakan pada bagian atas dada sampai ke punggung atas berbentuk + yang dibuat dari batang daun sirih.
- Tata Busana, meliputi:
- Gelungan berupa kekompol dengan rangka terbuat dari bambu, dihias dengan kain beludru merah, pada bagian kanan kiri gelungan disebut manggar yang berbentuk segitiga runcing sebanyak 7 di sisi bagian kanan dan 7 buah di sisi kiri, bagian paling atas dihias dengan onggar-onggar berbentuk bunga warna-warni yang terbuat dari kertas minyak (bukan bunga asli/ hidup), bagian belakang gelungan, digunakan bunga sandat/ kenanga hijau.
- Kostum yang digunakan adalah kain (kamen karah) berwarna merah, sabuk lilit atau stagen, angkin (penutup dada) berupa kain Gringsing, oncer (selendang) warna-warni, tepi (untuk menutupi bagian atas oncer) dililitkan dipinggang.
- Aksesoris yang digunakan berupa sepasang gelang perak, rantai perak yang dililitkan dipinggang menumpuk pada tepi, serta hiasana telinga (subeng) bisa terbuat dari emas, perak yang disepuh emas, atau lainnya.
3. Pola lantai
Pola gerak pada Tari Rejang Gede ini terdiri dari 3 komponen, yaitu:
- Tari Rejang Pinrih dengan bentuk pola lantai dari Tari Rejang Pinrih berbaris sejajar pelinggih yaitu menghadap ke utara sebagai tempat berstananya para Dewa dan Dewi serta dengan gerakan khas pada sikap kaki sirang pada dan gerakan tangan memainkan oncer kanan dan kiri serta berjalan ke arah depan.
- Tari Rejang Lilit, bentuk penyajianya yaitu penari berada dalam satu baris yang sama (berjajar) menghadap ke pelinggih (bagian utara) dengan pola kaki menyilang (melilit) namun hanya menari di tempat.
- Tari Rejang Manda, penari Rejang bergeser dari tempat masing-masing ke arah kanan ke kiri sambil menari. Sesudah penari Rejang yang di timur berada di selatan, penari Rejang yang di selatan berada di barat dan seterusnya, mereka berhenti sejenak sambil melihat upakara caru sebagai simbol Ida Bhatara Nodya (melihat) palemahannya sekaligus memberikan anugerah pada umatNya.
4. Ragam Gerak
Ragam gerak yang ditampilkan pada Tari Rejang Gede adalah gerak sederhana hanya terdapat satu motif gerak yang diulang-ulang, meliputi gerakan tangan memainkan oncer (selendang), ngukel (memutar pergelangan tangan), gerakan kaki miles (memutar), nanjek (maju).
5. Musik Pengiring
Musik pengiring Tari Rejang Gede ini adalah seperangkat Gamelan Gong Kebyar berlaras pelog lima nada.
6. Waktu dan Tempat pertunjukan
- Waktu pertunjukan Tari Rejang Gede menurut wuku yakni Wuku Medangsia akan dipentaskan selama 3 hari berturut-turut sebagai berikut:
- Hari Minggu (Redite Pon Wuku Medangsia)
- Hari Senin (Soma Wage Wuku Medangsia)
- Hari Selasa (Anggara Kliwon Wuku Medangsia)
- Tempat pertunjukan Tari Rejang Gede yakni pada hari Minggu dan Senin dipentaskan di Pura Banjar Adat Tihingan di Jaba Tengah, sedangkan hari Selasa dipentaskan di Pura Panti.
Proses Tari Rejang Gede:
Rejang Gede merupakan Tarian sakral pelengkap dalam pelaksanaan Upacara Aci Rejang yang dilaksanakan oleh masyarakat Banjar Adat Tihingan, Desa Bebandem sehingga tari ini tidak bisa dipentaskan sewaktu-waktu dan di sembarang tempat. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:
- Persiapan yakni pemilihan penari oleh Kelian Banjar Adat melalui masing-masing kelian tempek yang mendapat giliran sebagai pengempon (pelaksana).
- Pada hari pelaksanaan, diawali dengan upacara di Pura Wates yakni menarikan Rejang Alit (Rejang yang ditarikan oleh anak-anak kecil) yang dilaksanakan pada hari Kamis Kliwon Wuku Langkir.
- Hari kedua, Jumat (Sukra Umanis Wuku Langkir) juga dilaksanakan upacara di Pura Gaduh, Pura Panti, dan Pura Banjar juga dipentaskan Tari Rejang Alit.
- Hari Ketiga disebut ngembangin, pada hari Sabtu (Saniscara Paing Wuku Langkir kegiatan di Pura Banjar untuk mempersiapkan kelengkapan upacara.
- Hari keempat, hari Minggu (Redite Pon Wuku Medangsia) disebut ngendahin yakni dipentaskannya Tari Rejang Gede di Pura Banjar, namun hanya dipentaskan Tari Rejang Pinrih dan Rejang Lilit yang ditutup dengan pependetan.
- Hari Kelima, Senin (Soma Wage Wuku Medangsia), sebelum ditarikan terlebih dahulu masyarakat Banjar Adat Tihingan akan melaksanakan upacara prani (ngaturang banten prani) yang terbuat dari aneka hasil bumi, laut, sawah, dan alam lainnya. Setelah selesai acara meparani barulah dipentaskan ketiga komponen Tari Rejang Gede yakni Tari Rejang Pinrih, Rejang Lilit, dan Rejang Manda dengan iringan Gong Kebyar. Ini merupakan rangkaian terakhir pelaksanaan Aci Rejang di Pura Patokan Banjar Adat Tihingan.
- Hari Keenam, Selasa (Anggara Kliwon Wuku Medangsia), merupakan upacara di Pura Panti juga dipentaskan Tari Rejang Gede dengan komponen lengkap.
Jadi Tari Rejang Gede ditarikan selama 3 hari berturut-turut oleh penari yang sama di Pura Banjar dan Pura Panti.
Fungsi dan Makna Tari Rejang Gede:
1. Fungsi
- Religius, berkaitan dengan upacara agama yang dilaksanakan oleh masyarakat Banjar Adat Tihingan yakni sebagai sebuah persembahan sakral kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Sosial, dimana pada setiap pementasan Tari Rejang Gede ini adalah waktu masyarakat berkumpul dan berinteraksi dengan sesama untuk melaksanakan Aci Rejang tersebut.
- Edukatif, adanya transformasi nilai budaya kepada para penari Rejang Gede untuk membentuk karakter.
- Hiburan, penampilan Tari Rejang Gede dapat memberikan hiburan bagi masyarakat setempat
- Ekonomi, dimana dalam setiap pelaksanaan Aci Rejang dan pementasan Tari Rejang Gede akan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat setempat untuk berjualan menambah penghasilan mereka.
2. Makna
- Religius, makna yang terkait dengan kepercayaan masyarakat Banjar Adat Tihingan Desa Bebandem Karangasem terhadap adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sehingga Tari Rejang Gede dipercaya sebagai tarian sakral untuk menyambut turunnya Para Dewa ke pertiwi atau bumi, dan bersthana (menempati) pralingga atau bangunan suci yaitu pura.
- Estetika, makna estetika terlihat pada riasan atribut penari Rejang Gede yang tergolong rumit dan lengkap, namun sangat indah dengan tata rias yang sangat cantik, yang merupakan simbol bahwa para penari Rejang Gede tersebut merupakan para widyadari yang turun dari kahyangan, yang mengiringi, menyambut, serta menghibur dengan segala keindahannya
- Hiburan, sebagai sebuah penghiburan bagi masyarakat pendukung budayanya atau krama Banjar Adat Tihingan, Desa Bebandem, Karangasem, memiliki makna sebagai sebuah tontonan atau pertunjukan yang menghibur bagi masyarakat dalam hal seni geraknya yang lemah gemulai, atribut perlengkapannya yang indah dan menarik, suara tabuh Gong Kebyar yang mengiringinya.
- Edukasi, suatu proses yang memberi pembelajaran kepada masyarakat, mengenai arti berkah para Dewa serta rasa syukur masyarakat terhadap berkah tersebut.
Upaya Pelestarian Karya Budaya
1. Pelindungan
- Masyarakat Banjar Adat Tihingan telah melakukan pelindungan sejak dahulu yakni dengan setiap 6 bulan sekali dipentaskan Tari Rejang Gede dalam setiap Aci Rejang di Pura Banjar maupun Pura Panti.
- Melaksanakan inventarisasi berupa dokumentasi video dan kajian Tari Rejang Gede
- Menyiapkan kostum yang akan digunakan untuk menari sehingga penari tidak terbebani lagi
2. Pengembangan
- adanya pengembangan penggunaan kain bebali yaitu dulunya menggunakan kain Rembang, dan sekarang sudah menggunakan kain Gringsing yang lebih familiar bagi masyarakat Karangasem, dan sudah menjadi ikon kain tradisional asli masyarakat Karangasem
- bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Karangasem dalam rangka memperkenalkan Tari Rejang Gede secara lebih luas kepada masyarakat Bali melalui keikutsertaan Tari Rejang Gede dalam pementasan sebagai duta seni pertunjukan sakral
3. Pemanfaatan
- Penari Rejang Gede sering mendapat tawaran untuk menari di banjar-banjar lain karena kemampuan menarinya.
4. Pembinaan
- Melaksanakan pembinaan mulai dari mendata para anak gadis yang ada di lingkungannya, kemudian memberikan pelatihan Tari Rejang Gede di banjarnya masing-masing.
- melakukan pembinaan kepada para Sekehe Gong Kebyar yang merupakan pendukung pertunjukan Tari Rejang Gede. Mereka juga semua dilatih di Balai Banjar masing-masing untuk gending tabuh sebagai pengiring Tari Rejang Gede baik berupa tabuh Pinrih, Lilit maupun tabuh Manda, sehingga keberlangsungan Tari Rejang Gede di Banjar Adat Tihingan, Desa Bebandem tetap terjaga hingga kini.
Upaya pelestarian tersebut diatas dilaksanakan secara berkelanjutan di Banjar Adat Tihingan karena Tari Rejang Gede ini selalu ditampilkan setiap 6 bulan sekali pada pelaksanaan Aci Rejang di Pura Patokan Banjar Adat Tihingan.