Topot
A. Pengertian Umum
Kuliner tradisional, yang merupakan makanan khas daerah, memiliki peran penting untuk menarik wisatawan terutama yang menyukai wisata kuliner. Bali adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki beragam jenis kuliner tradisional. Misalnya Kabupaten Klungkung memiliki serombotan, Kabupaten Karangasem memiliki pelecing telengis, Kabupaten Buleleng memiliki sudang lepet, dan lain sebagainya.
Kabupaten Gianyar memiliki kuliner tradisional yang disebut topot, yaitu makanan tradisional khas dari Desa Peliatan, Kecamatan Ubud. Makanan ini sekarang mulai langka keberadaannya dan hanya diproduksi oleh satu keluarga di Banjar Tengah Kauh, Desa Peliatan yaitu keluarga I Wayan Sukra dan istrinya Ni Gusti Ayu Suardani. Alasan utama mereka untuk tetap memproduksi topot adalah rasa keterpanggilan untuk menjaga kelestarian kuliner tradisional khas Kabupaten Gianyar ini.
Kuliner tradisional topot adalah masakan yang berbahan dasar beras yang dicampur dengan minyak kelapa asli dan sedikit garam, serta dibungkus dengan daun bambu (hijau). Topot ini dimasak dengan cara direbus selama lebih kurang 6 jam.
Secara umum kuliner topot masih banyak peminatnya, selain rasanya yang gurih dan khas penganan topot cukup awet dan tidak mudah basi karena mengalami proses masak dan pematangan yang cukup lama. Namun dewasa ini, topot sudah semakin langka keberadaannya. Kelangkaan dari kuliner yang satu ini dikarenakan oleh berkurangnya minat warga masyarakat setempat untuk memproduksi topot dengan alasan proses pembuatannya yang membutuhkan waktu yang cukup lama, serta semakin sulitnya mendapatkan daun bambu muda sebagai pembungkusnya. Selain itu, dewasa ini masyarakat Peliatan juga memiliki banyak kesibukan serta lebih memilih pekerjaan lain dibanding memproduksi topot. Hal ini mempunyai pengaruh cukup besar terhadap menurunnya produksi topot.
B. Penamaan
Nama topot tidak diketahui secara pasti, bahkan kata topot tidak di jumpai dalam Kamus Bali-Indonesia (Warna, 1978). Hal ini menunjukan bahwa topot merupakan istilah lokal Kabupaten Gianyar dimana kuliner tradisional ini merupakan salah satu makanan khas yang tidak asing lagi bagi masyarakat Gianyar dan topot dibuat untuk berbagai kepentingan, selain sebagai penganan juga untuk kepentingan upacara adat dan agama.
C. Kondisi Saat Ini
Topot memang sudah sangat jarang ditemukan dalam khasanah kuliner seperti jajanan pasar. Topot dibuat dalam sekala kecil untuk dijual sehari-hari oleh si pembuat, namun dibuat dalam sekala besar jika ada pesanan. Hal ini mengisyaratkan bahwa topot kini telah mengalami degradasi akibat banyaknya persaingan dengan makanan jenis baru yang bisa dibuat dengan cepat.
Upaya nyata untuk menggali unsur-unsur kuliner tradisional khas Kabupaten Gianyar, yang dilakukan di tengah-tengah kelangkaan topot, memberikan angin segar bagi produksi makanan tradisional topot. Misalkan saja setiap perayaan HUT Kota Gianyar, pada jamuan makan malam, hajatan di keraton/Puri hendaknya kuliner tradisional seperti topot tetap menjadi salah satu menu utama. Hal ini secara tidak langsung dapat meningkatkan derajat topot sekaligus memberi rasa kebanggaan kepada pembuatnya.
D. Proses Produksi
Topot dibuat melalui beberapa proses. Proses tersebut meliputi tahap persiapan, tahap pengolahan, dan tahap penyajian. Kuliner tradisional topot membutuhkan beberapa bahan dasar. Menurut narasumber yang juga pengerajin pangan topot Bapak I Wayan Sukra, bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk membuat topot adalah seperti di bawah ini.
- Beras.
Beras yang digunakan bukan sembarang beras. Bapak Sukra biasanya menggunakan beras merk Putri Sejati, untuk menghasilkan topot yang legit.
- Minyak Kelapa Murni dan Garam
Bahan lain adalah minyak kelapa murni dan garam. Fungsi dari minyak kelapa adalah untuk membuat adonan tidak lengket pada saat proses pembungkusannya, memberi rasa gurih dan sebagai pengawet. Setelah masak akan memberikan rasa khas karena ada kombinasi rasa garam, minyak, dan aroma daun bambu muda/hijau.
- Daun Bambu
Sebagai pembungkus, kuliner tradisional topot menggunakan daun bambu pilihan, yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Menurut Bapak Wayan Sukra, alasan menggunakan daun bambu yaitu agar topot memiliki tekstur yang bagus selain untuk memberikan cita rasa yang khas.
E. Tahap Pengolahan
Pengolahan topot melalui beberapa fase. Pertama, beras dicuci sampai bersih lalu ditiriskan sampai kering. Setelah itu, beras dicampur dengan minyak kelapa murni dan garam secukupnya. Fungsi dari minyak kelapa itu sendiri agar adonan beras tidak lengket pada saat proses pembungkusan dan dapat memberikan rasa gurih yang menjadi ciri khas rasa penganan topot itu sendiri. Adapun komposisi atau perbandingan beras dan minyak kelapa yang digunakan yaitu 1kilogram beras diperlukan kurang lebih 250 ml minyak kelapa.
Setelah bahan utama tercampur rata, baru dibungkus dengan daun bambu yang sudah dibersihkan dengan takaran 1 sendok makan untuk 1 buah topot. Untuk 1 kg beras biasanya menghasilkan 40 buah topot.
Sebelum fase perebusan, dua buah topot digabungkan menjadi satu lalu diikat menggunakan tali kupas yaitu tali yang berasal dari kelopak pohon pisang. Namun perkembangan selanjutnya, tali kupas diganti penggunaannya dengan alat pengikat seperti benang. Sekarang pengikat topot sudah menggunakan benang.
Proses perebusan memerlukan waktu 5 sampai 6 jam untuk menghasilkan topot yang matang sempurna dengan tekstur yang legit dan awet karena topot bisa bertahan sampai 1 hari 1 malam. Dalam proses memasak topot, masih menggunakan sarana tradisional yaitu menggunakan kayu bakar demi menjaga rasa maupun kematangan, tekstur, dan aroma topot yang dihasilkan benar-benar sempurna. Pengrajin pernah mencoba menggunakan kompor gas
maupun fresto dalam memasaknya, namun hasilnya tidak sesempurna menggunakan kayu bakar. Terjadi perbedaan rasa, keawetan, dan aroma topotnya.
F. Tahap Penyajian
Dalam penyajiannya, topot biasanya disajikan dengan pendamping berupa sambal goreng dan saur serondeng. Saur serondeng adalah campuran kelapa parut dengan bawang merah, kunyit, jahe dan sedikit garam lalu disangrai. Setelah disangrai lalu ditumbuk dan diberikan sedikit gula pasir dan tekstur saur yang dihasilkan yaitu sedikit basah karena minyak dari kelapa parut itu keluar saat ditumbuk. Untuk mengefisienkan waktu, Bapak Sukra biasanya menghaluskan saur dengan mesin.
Setelah matang, selanjutnya topot disajikan di atas ingka yaitu piring tradisional terbuat dari anyaman lidi daun kelapa. Topot dibuka dari pembungkusnya, kemudian diletakkan pada piring tradisional tersebut yang sebelumnya dialasi dengan daun pisang, kemudian ditambah dengan sambal goreng, saur manis yang telah diulek, dan bisa juga ditambahkan dengan sayur urab. Penyajian pada kalangan tertentu seperti untuk pendeta, kaum bangsawan, maupun pejabat biasanya sajian topot ditambah dengan lauk olahan daging ayam atau bebek yang dikerem yang disebut be tutu. Be tutu khas Desa Peliatan ini sudah mendapat sertifikat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2018.
Bapak Sukra biasanya menjual 7 biji topot dengan harga Rp. 10.000 sudah termasuk pendampingnya seperti sambal goreng dan saur serondeng. Adapun suka duka yang dirasakan Bapak Sukra dalam menjual kuliner tradisional topot tidak jauh berbeda dengan kendala pedagang pada umumnya yakni tidak stabilnya hasil penjualan, semakin sulitnya mencari daun bambu, dan mahalnya harga kayu bakar. Rasa keterpanggilan untuk menjaga kelestarian topot yang merupakan kuliner tradisional khas Desa Peliatan dan Kabupaten Gianyar umumnya, disamping topot merupakan usaha yang dilakoni secara turun temurun, dari buyut, nenek, dan kedua orang tuanya, juga penganan topot mengandung nilai ritual yang dibutuhkan saat digelar upacara agama di wilayah Desa Adat Peliatan dan sekitarnya, menyebabkan bapak Sukra sampai saat ini masih tetap bertahan dan berusaha melanjutkan tradisi pembuatan topot tersebut.
G. Hubungan Makanan dan Ritual Agama Hindu Di Bali
Umat Hindu adalah masyarakat yang religios. Hal ini dapat kita saksikan dari aktivitas kehidupan sehari-harinya yang selalu menempatkan unsur kekuatan Tuhan sebagai muara konsekuensi tanggungjawab. Hal ini dapat dibuktikan dari rutinitas keagamaan melalui pelaksanaan upacara yadnya sebagai wujud pelaksanaan bhakti ke Hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/rohani dalam kehidupan ini, berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yaitu Veda. Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Ida Sanghyang widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Latar belakang timbulnya Yadnya karena adanya pengidentifikasian bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa adalah penguasa semua Yadnya. Maka timbul kesadaran bahwa manusia harus melaksanakan Yadnya, karena Yadnya adalah hukum kesemestaan yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Dalam kitab Bhagawadgita Adhyaya III Sloka 10, 14 menyebutkan tentang keutamaan melaksanakan Yadnya adalah dapat mendatangkan anugrah, seperti kutipan berikut ini :
“Annand Bhavati Bhutani, Parjanyad Annasambhavah, Yadnyad Bhavati Parjanyo, Yadnyad Karmasamudbhavah” yang dapat diterjemahkan : dari makanan, mahluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari Yadnya muncullah hujan dan Yadnya lahir dari pekerjaan.
Secara eksplisit, sloka di atas menyatakan bahwa semua mahluk hidup yang ada di dunia berasal dari makanan. Makanan berasal dari hujan. Hujan disebabkan oleh Yadnya. Yadnya lahir dari kerja dan kerja mempunyai pondasi kepada Brahman. Manusia dapat hidup bersama tumbuh-tumbuhan dan hewan, maka manusia melakukan Yadnya. Beryadnya bukan semata-mata upacara agama. Yadnya harus dilanjutkan dengan langkah nyata dalam perbuatan sehari-hari, sehingga tercapai keharmonisan sesuai dengan konsep Agama Hindu adanya tiga keserasian yang disebut Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan), keharmonisan hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), dan keharmonisan hubungan manusia dengan alam lingkungan (Palemahan) untuk tercapai tujuan Agama Hindu yaitu Moksartham Jagad Hittaya Ca Iti Dharma.
Dalam Agama Hindu, makanan memainkan peranan penting dalam ritual dan ibadah. Makanan bukan hanya untuk memuaskan selera, tetapi juga sebagai sarana untuk mendapatkan berkah dari sang pencipta. Oleh sebab itu masyarakat Bali selalu menyiapkan makanan untuk persembahan ritual keagamaannya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada makanan tanpa ritual dan tidak ada ritual tanpa persembahan makanan. Makanan harus selalu hadir sebagai persembahan sebelum dapat dinikmati oleh manusia, karena diyakini dan dipercaya bahwa semua alam adalah milik Tuhan. Dalam kitab Bhagawadgita Adhyaya IV, Sloka 31 yang berbunyi : “Yajna Sistamrta Bhojo-yanti Brahma Sanatanam – Nayam Loko Styayajnastya – Kuto Nyah Kuru – Sattama”, yang terjemahannya : mereka yang makan makanan suci yang setelah melalui suatu persembahan atau pengorbanan akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan).
Dalam pandangan Agama Hindu, makanan pertama-tama harus dipersembahkan kepada Tuhan yang mengatur kehidupan manusia dan alam semesta, dan kemudian baru dapat dinikmati oleh manusia yang disebut Prasadam. Prasadam merupakan istilah dalam Bahasa Sanskerta yang artinya anugrah Tuhan, yang berupa hasil atau sisa dari persembahan kepada Ida Sanghyang Wdhi Wasa yang telah disucikan. Pada masyarakat Hindu di Bali prasadam lebih dikenal dengan sebutan lungsuran/surudan, kalau kita telisik lebih dalam lungsuran/surudan menunjukan strata atau kelas yang bermula dari sebuah haturan persembahan dalam wujud sesaji (bebanten).
Berbicara tentang sesaji/bebanten, itu merupakan salah satu sarana dalam melakukan puja bhakti kepada Tuhan. Umat Hindu diberikan kebebasan untuk dapat mewujudkan bentuk Śraddā tersebut. Secara umum bentuk bhakti umat Hindu dapat dilakukan dengan melibatkan aspek :
- Yantra, yaitu alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian.
- Tantra, yaitu kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci.
- Mantra, adalah doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita, dan pandita sesuai dengan kewenangan dan tigkatannya.
Ketiga aspek itu dilaksanakan secara terpadu dengan berbasiskan “ketulus-ihklasan” sehingga membangun satu aktifitas yang disebut Yadnya. Yadnya atau persembahan suci umat Hindu di Bali lebih menekankan pada aspek Yantra yaitu menggunakan alat atau simbol-simbol keagamaan seperti sesaji/bebanten.
Sesaji yang lebih lasim disebut upakara atau bebanten pada dasarnya adalah sebagai niyasa/simbol perwujudan dari Dewa Siwa dalam bentuk Siwa Lingga. Dari sekian banyak keberadaannya, wujud upakara atau bebanten, pada intinya adalah terdiri dari tiga bentuk, yaitu :
- Berbentuk Segi Tiga, mengambil sifat api yang menyala yang berbentuk segi tiga merupakan lambang kekuatan Dewa Brahma manifestasi Tuhan sebagai pencipta.
- Berbentuk Segi Empat, yaitu mengambil sifat air yang selalu mendatar, sebagai lambang kekuatan Dewa Wisnu, manifestasi Tuhan sebagai pemelihara.
- Berbentuk Bundar, yaitu sebagai lambang udara yang selalu memenuhi segenap ruang yang merupakan simbol Dewa Siwa manifestasi Tuhan sebagai penyempurna atau pelebur.
Kalau dari ketiga bentuk ini kita rangkai akan menyerupai wujud Siwa-Linggam, Tuhan sebagai penguasa alam semesta, oleh sebab itu sarana atau bahan-bahan yang dipakai sebagai persembahan suci adalah yang terdapat di gunung, di darat, dan di laut. Bahan-bahan upakara untuk persembahan atau korban suci tersebut, semua diambil dari ciptaan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan di dunia ini dan kesemuanya itu dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu :
- Mataya, adalah sesuatu yang tumbuh. Bahan-bahan ini terdiri dari tumbuh-tumbuhan yang dipakai sarana upakara terdiri dari berbagai jenis daun, bunga, buah-buahan, biji-bijian, umbi-umbian (pala bungkah, pala rambat, dan pala gantung), dan lain sebagainya.
- Mantiga, adalah sesuatu yang lahir dua kali yaitu binatang berkaki dua/unggas, ikan (baik ikan air tawar maupun ikan laut), telor yaitu telor itik, telor ayam, telor angsa, dan lain-lainnya.
- Maharya, adalah sesuatu yang lahir sekali langsung menjadi binatang-binatang berkaki empat, misalnya babi, kambing, sapi, kerbau, dan lain sebagainya.
Ketiga jenis penggolongan ini, dalam konsep upakara/bebanten merupakan wujud dari Tri Bhuana/Tri Loka, yaitu Bhur Loka, Bhuah Loka, dan Swah Loka, dalam upakara diwujudkan dalam katagori kaki, badan, dan kepala. Hal ini ditegaskan dalam kitab Yajnya Prakerti, disebutkan : “Sahaning Banten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Rupaning Ida Bhatara, Pinaka Anda Bhuawana”. Jadi ada tiga hal yang dibahasakan dalam lambang bebanten tersebut, yaitu :
- Pinaka Raganta Twi, artinya bebanten lambang dirimu atau diri kita.
- Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara, artinya bebanten lambang kemahakuasaan Tuhan.
- Pinaka Anda Bhuwana, artinya banten sebagai lambang alam semesta (Bhuana Agung).
Dapat disimpulkan bahwa upakara/bebanten tersebut diwujudkan mendekati tubuh manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya keinginan kedekatan hubungan antara pemuja dengan yang dipuja yaitu Tuhan beserta manifestasinya. Sehingga dalam penataan sebuah persembahan/upakara diatur dalam ethika penataan yang disebut Tri Angganing Yadnya dan Astha Karaning Yadnya.
- Nilai Filosofis
Filsafat yang dalam agama Hindu disebut Tattwa merupakan uraian mengenai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tattwa/Filsafat adalah ilmu yang bertujuan untuk mendapatkan kebenaran obyeknya itu. Kata Tattwa jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia memiliki arti kebenaran, kenyataan ilmu. Tattwa berasal dari kata “Tat” berarti hakekat, kebenaran, kenyataan, dan “Twa” berarti bersifat. Jadi Tattwa merupakan hakikat, kenyataan, kebenaran hakikat dari obyek yang kongkrit, sari-sari dari suatu ajaran (Tim Penyusun, 1994 : 3 dalam Ayuk Denika Mayrina Ni Putu, 2017 : 108).
Sesuai uraian di atas yaitu hubungan makanan dan ritual Agama Hindu di Bali, menyatakan bahwa salah satu cara menumbuhkan bhakti ke Hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa adalah dengan mengunakan media dan simbol sebagai penghubung, seperti Upakara/Banten/sesaji. Dalam hal ini topot khususnya di Desa Peliatan memiliki peran penting disamping sebagai penganan juga mengandung simbol-simbol tertentu digunakan sebagai sarana Upakara/bebantenan, yaitu :
- Ditinjau dari bentuk Śraddā/ bentuk bhakti umat Hindu, topot mengandung aspek Yantra, yaitu alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian.
- Ditinjau dari wujud upakara atau bebanten, pada intinya adalah terdiri dari tiga bentuk, yaitu :
- Berbentuk Segi Tiga (Tri Kona) adalah lambang Shakti, energi feminim atau aspek penciptaan. Segi tiga/Tri Kona, mengambil sifat api yang menyala yang berbentuk segi tiga merupakan lambang kekuatan Dewa Brahma, manifestasi Tuhan sebagai Dari
- Berbentuk Segi Empat (Bhupura), yaitu mengambil sifat air yang selalu mendatar sebagai lambang kekuatan Dewa Wisnu, manifestasi Tuhan sebagai pemelihara. Diantara elemen-elemen sederhana yang menyusun yantra, maka sifat air yang mendatar diwujudkan dalam bentuk persegi/bhupura. Bujur sangkar biasanya merupakan batas eksterior dari yantra dan secara sombolis melambangkan elemen bumi (Prativi Tattva).
-
Berbentuk Bundar/Lingkaran (Chakra), yang melambangkan rotasi gerakan yang terkait erat dengan bentuk spiral yang merupakan dasar evolusi makrokosmik. Pada saat yang sama, bentuk bundar/lingkaran melambangkan kesempurnaan dan kehampaan kreatif yang membahagiakan.
teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Sad Ripu adalah enam macam musuh yang ada di dalam diri manusia yang terdiri dari Kama (nafsu), Lobha (tamak), Krodha (marah), Moha (bingung), Mada (mabuk), dan Matsarya (dengki). Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia. Fungsi mempersembahkan topot adalah mengingatkan kepada umat manusia bahwa jiwa seseorang yang digodok dengan berbagai pengalaman hidup, baik itu yang baik, suka duka, manis, pahit.
- Langkah Pelestarian
Upaya pelestarian kuliner tradisional topot adalah suatu upaya pemerintah desa untuk membangkitkan kembali (revitalisasi) ciri khas masakan tradisional daerah melalui pameran atau festival kuliner tradisional. Di samping itu, perlu diciptakan cara dan strategi baru untuk memasarkan makanan tradisional tersebut agar bisa bangkit kembali di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern. Langkah-langkah yang bisa dambil antara lain :
- Mengadakan Festival Jajanan Tradisional Berskala Lokal dan Daerah
Agar topot dikenal kembali dan digandrungi oleh masyarakat, perlu upaya-upaya serius dan sungguh-sungguh dari produsen atau pengusaha, pasar, dan pemerintah desa untuk menampilkan topot. Misalnya pemerintah desa mencanangkan atau memprogramkan acara pasar tradisional dengan menjajakan pangan-pangan tradisional secara berkala dimana topot dijadikan salah satu produksi unggulannya. Pemerintah desa juga dapat memberdayakan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) untuk membantu dalam permodalan usaha topot. Jika minat masyarakat terhadap topot sudah meningkat, topot bisa diproduksi secara masal dengan kemasan yang lebih menarik dan tahan lebih lama. Bisa dipakai perbandingan kuliner gudeg yogya yang dikemas dengan menarik dan bernuansa milenial mampu menembus pasar dunia.
- Lounching Kuliner Daerah
Topot juga dapat diperkenalkan melalui lounching oleh pemerintah daerah sebagai kuliner khas daerah. Pada hajatan seperti HUT Kota Ginyar, dan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, dalam acara ramah tamah harus disuguhkan kuliner topot. Jika memungkin, topot disuguhkan sebagai menu makan siangnya dalam rapat-rapat kantor di lingkungan Pemerintah Kabupaten Gianyar.
- Kebijakan Pemerintah Daerah
Peran pemerintah dalam membangkitkan kembali jajanan tradisional sangat dibutuhkan. Dengan berbagai cara, pemerintah harus bisa mempromosikan agar kuliner tradisional topot dikenal oleh para wisatawan atau tourism.
Jika ada kebijakan pemerintah terhadap pengusaha restoran dan rumah makan agar ikut menjual makanan topot akan mempercepat topot dikenal kembali oleh masyarakat luas.
- Rencana Aksi
Dalam upaya untuk membuat rencana aksi pelestarian topot, salah satunya dapat dilakukan melalui peran Dekranasda dan PKK Kabupaten Gianyar. Peran Dekranasdan dan PKK Kabupaten Gianyar dalam upaya membangkitkan kuliner tradisional topot dapat dilakukan, salah satunya, melalui pelatihan atau kaderisasi pengusaha kuliner tradisional.
Kaderisasi adalah proses pendidikan jangka panjang untuk pengoptimalkan potensi-potensi kader dengan cara mentransfer dan menanamkan nilai-nilai tertentu, hingga nantinya akan melahirkan kader-kader yang tangguh. Beberapa manfaat yang didapatkan dari kegiatan pengkaderan, yaitu: (1) kematangan diri secara psikologis yang tercermin dalam sikap dan moralitas individu dan organisasi. (2) kedalaman ilmu, wawasan, serta analisis yang baik dalam profesionalitas pengetahuan; (3) harmonisasi dan interaksi yang terjalin erat dalam kultur lembaga, saling menghargai antara kader baru dan kader lama kuliner tradisional.
Pengkaderan tidak lain adalah suatu proses pembentukan karakter seseorang agar sepaham dengan idelogi suatu kelompok, menumbuhkan aspek-aspek kepribadian seseorang menuju arah yang lebih bijak dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan agar terciptanya regenerasi yang kelak akan berjalan bersama untuk mencapai tujuan kelompok tersebut.
Esensi utama melakukan pengkaderan sehingga tidak membuat konsep yang melenceng atau bahkan mencederai tujuan pengkaderan itu sendiri. Sejatinya kaderisasi adalah proses belajar dan mengalami. Kaderisasi bukan hanya tentang perekrutan anggota baru, tetapi di saat belajar memahami kondisi atau belajar mempersiapkan diri dan mulai mengalaminya.