Tri Hita Karana
1. Pengertian Tri Hita Karana
Tri Hita Karana adalah kearifan lokal masyarakat Bali yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Bali dalam mewujudkan kedamaian dan keharmonisan hidup. Secara etimologi Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta yakni berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti kebahagiaan, dan Karana berarti penyebab. Sehingga Tri Hita Karana berarti tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan dalam kehidupan ini. Adapun pembagian ajaran Tri Hita Karana yakni Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Tri Hita Karana menjadi rumusan filosofis kearifan lokal masyarakat Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu tentang tujuan dan cita-cita tatananan kehidupan manusia di dunia. Sebagaimana dirumuskan bahwa tujuan hidup umat Hindu adalah Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma yang bermakna tujuan hidup dari pelaksanaan Dharma/ agama adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia (Jagad Hita) dan kebahagiaan abadi (Moksa). Terkait dengan pencapaian kebahagiaan hidup di dunia (Jagad Hita) literatur-literatur Hindu, susastra dan kepercayaan yang hidup di masyarakat Bali yang diwariskan dan diyakini secara turun-temurun diperoleh dengan mewujudkan keharmonisan hidup dengan tiga unsur yang disebut Dewa Hita (keharmonisan pada sang pencipta) yang dirumuskan pada ajaran Parahyangan, Jana Hita (keharmonisan hidup manusia) yang dirumuskan pada ajaran Pawongan, dan Bhuta Hita (keharmonisan semesta dan segala isinya) yang dirumuskan pada ajaran Palemahan.
2. Pembagian Ajaran Tri Hita Karana
Tri Hita Karana merupakan filosofis dan tata nilai masyarkat Bali sekaligus umat Hindu di Nusantara, yang telah diimplementasikan oleh leluhur Bali dan Nusantara sejak zaman dahulu, yang perumusannya dilakukakan oleh para sastrawan, agamawan, dan budayawan Bali dengan tujuan untuk menjadikan Agama Hindu sebagai Agama Resmi Nasional kala itu. Dari diskusi yang dilakukan saat Konferensi Daerah Badan perjuangan Umat Hindu Bali di Perguruan Dwijendra Denpasar pada 11 Npvember 1966, maka dirumuskanlah Tri Hita Karana sebagai konsep spiritual, kearifan lokal, dan sekaligus falsafah hidup masyarakat Hindu untuk mencapai keselarasan hidup ( I Wayan Pedet dan Ida Bagus Wika Krishna pada Jurnal Genta Hredaya Volume 2, Nomor 2, Septembe 2018). Tri Hita Karana terdiri dari tiga rumusan ajaran filosofis yang merepresentasikan tiga landasan hidup manusia Bali dalam melakoni kehidupannya kemudian dirumuskan dalam tiga unsur dengan menggunakan istilah berbahasa Jawa Kuna, sebagai bentuk pemikiran dan konsep orisinil kearifan lokal masayrakat Bali, yang lahir, hidup dan berkembang di Bali, namun memiliki nilai-nilai universal yang dapat diimplementasikan oleh masyarakat dunia. Adapun ketiga bagian ajaran Tri Hita Karana tersebut yakni sebagai berikut:
- Parahnyangan, berasal dari kata Para dan Hyang. Para berarti mulia, utama; sedangkan Hyang bermakna Tuhan dan segala manifestasi-Nya. Secara konseptual Parahyangan bermakna hubungan harmonis manusia dengan Sang Pencipta. Parahyangan diimplementasikan dengan pelaksanaan ajaran-ajaran agama, pelaksanaan yadnya (upacara keagamaan), memuliakan tempat dan kawasan suci sebagai upaya sujud bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, awal mula hidup dan pemberi hidup dan kehidupan di dunia ini.
- Pawongan, berasal dari kata kata Wong yang bermakna manusia. Secara konseptual Pawongan bermakna hubungan harmonis manusia dengan sesama manusia. Pawongan diimplementasikan dengan menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menerapkan etika, norma, dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku untuk mewujudkan tata kehidupan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ajaran Pawongan menitik beratkan pada upaya mewujudkan stabilitas, kondusifitas dan keharmonisan tatanan sosial masayrakat dalam proses interaksi sosial.
- Palemahan, berasal dari kata Lemah yang bermakna tanah, alam, lingkungan. Secara konseptual Palemahan bermakna hubungan harmonis manusia dengan lingkungannya. Palemahan diimplementasikan dengan kepekaan dan kepedulian lingkungan, menjaga kelestarian alam, dan tidak semena-mena mengeksplorasi alam untuk kepentingan manusia. Palemahan merepresentasikan pemikiran luhur masyarakat Bali menjadikan lingkungan, alam semesta beserta isinya sebagai bagian penting penopang hidup manusia yang harus dijaga kelestariannya dan dihormati keberadaannya.
3. Implementasi Ajaran Tri Hita Karana di Bali
Ketiga ajaran Tri Hita Karana tersebut diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Masyarakat Bali sejak lama telah mengenal yantra atau simbol suci berupa Tapak Dara, simbol suci berupa tanda tambah. Tapak Dara merupakan simbol keseimbangan/ keharmonisan. Poros tapak dara menjadi titik episentrum diri manusia itu sendiri, garis ke atas (vertikal) simbol harmonisasi hidup manusia pada sang pencipta (Parahyangan), garis horisontal ke arah kanan dan kiri simbol keharmonisan hidup dengan sesama manusia (Pawongan), dan garis vertikal ke bawah simbol dari harmonisasi hidup dengan lingkungan (Palemahan). Konsep tapak dara sejalan dengan konsep Swastika sebagai simbol Cakra Dharma dalam Agama Hindu, yang mana kata Swastika sendiri bermakna keharmonisan dan keseimbangan hidup.
Tri Hita Karana sebagai falsafah hidup diterapkan pada berbagai aspek kehidupan. Beberapa di antaranya yang secara nyata mengimplementasikan langsung ajaran ini adalah pada Lembaga Desa Adat dan Subak. Desa Adat menerapkan Tri Hita Karana yang secara tegas diatur pada Awig-awig Desa Adat. Pada Awig-awig Desa Adat mengatur tentang kawasan suci dan tatanan upacara agama di Desa Adat sebagai implementasi ajaran Parahyangan. Mengatur tentang tata hidup, aturan-aturan, rapat desa, dan tata cara penyelesaian konflik (wicara adat) sebagai implementasi ajaran Pawongan, dan mengatur tentang wilayah desa, batas desa, penggunaan dan pemanfaatan lahan pada wilayah desa adat merupakan implementasi ajaran Palemahan. Begitu pula pada masyarakat Subak (organisasi tradisional yang mengatur para petani dalam pengaturan air di sawah), ajaran Tri Hita Karana juga diterapkan secara nyata dan kensisten. Sama seperti Desa Adat, masayarakat Subak juga memiliki tempat suci dan upacara keagamaan pada setiap tahapan bertani yang menjadi implementasi nyata pelaksanaan Parahyangan. Masyarakat Subak memiliki aturan-aturan, kesepakatan, larangan, tata laksana dan tata kelola organisasi yang merupakan implementasi pelaksanaan ajaran Pawongan, serta pemanfaatan dan pengelolaan air, kawasan, dan fasilitas subak merupakan implementasi nyata pelaksanaan ajaran Palemahan pada masyarakat Subak