Dokumen Upacara Ngaben

Upacara Ngaben

Upacara ngaben termasuk ke dalam upacara pitra yajña, ngaben berasal dari bahasa Bali dari asal kata “api” mendapat prefiks nasal “ng” dan sufiks “an” sehingga menjadi “ngapian”, kemudian mengalami sandi sehingga menjadi “ngapen”. Terjadi perubahan bunyi konsonan “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “p, b, m, w (rumpun huruf bilabial) sehingga kata “ngapen” berubah menjadi “ngaben”. Kemudian kata ngaben diberi arti ’menuju api’. Dalam ajaran agama Hindu api adalah lambang kekuatan Dewa Brahma, jadi ”ngaben” berarti ’menuju Brahma’. Maksud dan tujuan ngaben adalah melepaskan atma dari unsur Panca Maha Butha dan mengantarkan sang atman menuju alam Brahman atau alam ketuhanan Menurut Wiana (2004: 25-27).

Dilihat dari keadaan jazad orang yang di-aben, maka upacara ngaben itu dapat dibagi menjadi tiga jenis. Ada yang disebut sawa wadana, asti wadana, dan swasta. Perbedaan jenis ngaben tersebut terletak pada pangawak. Dalam ngaben sawa wadana terdapat jasad (sawa) orang yang baru meninggal sebagai pangawak. Ngaben asti wadana adalah upacara ngaben yang menggunakan tulang belulang orang yang sudah lama meninggal dan sudah lama dikuburkan. Tulang belulang itu diangkat dari kuburan dan tulang belulang yang tersisa itulah yang dijadikan pangawak. Ngaben swasta adalah upacara ngaben yang tidak ditemukan jenazahnya, pangawaknya (jasad) menggunakan simbol dalam bentuk tirtha atau kusa (daun alang-alang).

Dalam lontar Sundarigama (Wiana, 2004:27) pe-ngaben-an dalam upacara pitra yajña dapat dibedakan menjadi lima tingkatan yang disebut Panca Wikrama. Lima jenis ngaben tersebut dari yang paling utama sampai yang upacaranya sederhana. (1) Sawa prateka, upacara ngaben ini dari segi bentuk upacaranya merupakan ngaben yang paling besar secara sekala. Ngaben sawa prateka ini arah sorga yang dituju disebutkan ring daksina artinya ’di Selatan’. (2) Sawa wedana, menggunakan damar angenan, pengawak kayu cendana, surganya ring pascima (Barat). (3) Pranawa, boleh menggunakan wadah dan juga boleh tidak, memakai banten teben, damar kurung dan patulangan, pangawak tirta. (4) Ngaben swasta, tidak menggunakan wadah atau bade, tidak menggunakan damar kurung, tanpa banten teben, dan tanpa patulangan. Saji lengkap dengan nasi angkeb, caru ayam putih lima ekor, sorganya ring wetan (Timur). (5) Ngaben mitra yajña, dari segi bentuk ngaben inilah yang paling sederhana, tetapi dari segi spiritual paling utama.

 

Tahapan Upacara Ngaben

  1. Mati dalam ajaran Hindu 

Kematian merupakan sebuah kepastian sebagai bagian dari trikona atau hukum alam, setiap uttpathi atau penciptaan selalu akan melalui proses sthiti atau pemeliharan dan mengalami pralina atau peleburan yang dalam hal ini, kematian termasuk di dalamnya, hal ini secara jelas termuat dalam teks Bhagavad Gita II.7 sebagai berikut:

Jatasya hi druvo mrtyur, Druvam janma mrtasya ca, Na tvam soritutn arhasi, Tasmad apariharye’rthe

Terjemahannya :

“Karena apa yang lahir, kematian adalah pasti dan pasti pula kelahiran pada yang mati, oleh karena itu pada apa yang tidak dapat di elakkan, engkau seharusnya tidak bersedih hati” (Maswinara, 2003).

 

  1. Ngeringkes (memandikan mayat)

Proses awal dalam upacara kematian adalah upacara Ngeringkes. Secara harfiah, ngeringkes dapat diartikan sebagai kegiatan membungkus jenazah orang yang meninggal dunia. Bagi tradisi Hindu Bali, Ngeringkes adalah proses paling awal dari serangkaian upacara Ngaben. Untuk tahapan ngeringkes sendiri dapat di bagi menjadi empat tahapan, yaitu pabersihan idup, pebaktian, pabersihan mati (ngelelet) dan ngeringkes.

  1. Pabersihan

Hidup Pabersihan hidup adalah sebuah proses memandikan jenasah dengan keyakinan jenasah tersebut belumlah meninggal dunia, maka dari itu disebut pabersihan idup karena sosok jenazah tersbut masih dinilai hidup. 

  1. Pebhaktian

Tahapan kedua dalam rangkaian proses ngeringkes adalah pebhaktian. Pebhaktian adalah sebuah tahapan bagi sanak keluarga untuk menghaturkan bhakti atau sembah kepada sosok yang meninggal. Pada dasarnya masyakat Hindu Bali di diperkenankan untuk menyembah jenazah, namun seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa pada proses pabersihan hidup, jenazah tersebut dinilai belumlah meninggal melainkan hanya tertidur, sehingga keluarga masih diperkenankan untuk melakukan sembah terakhir kepada jenazah.

  1. Pabersihan Mati (ngelelet)

Pabersihan mati juga sering di kenal dengan proses ngelelet. Proses ini dilakukan setelah upacara sembah bhakti dilakukan, karena sembah pabhaktian merupakan kesempatan terakhir bagi orang yang meninggal untuk menghaturkan bhakti diakhir hidupnya di dunia ini, sedangkan tahapan ngelelet adalah tahapan yang bertujuan agar semua bagian tubuh jenazah jika nantinya mengalami reinkarnasi akan berwujud lebih baik dari kelahirannya yang sekarang. 

  1. Pangeringkesan

Setelah eteh-eteh ngelelet (pabersihan mati) selesai dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan memercikkan tirta pengringkes. Tirta pengringkes ini dimohonkan dari Gria Sang Sulinggih.

 

  1. Singaskara

Setelah proses ngeringkes dilanjutkan dengan upacara ngaskara atau singaskara atau disebut pula dengan upacara pengaskaran atau samskara terhadap sang pitra. Upacara pengaskaran atau samskara biasanya dilaksanakan sebelum jenasah/sawa diberangkatkan ke kuburan/setra atau semasih sawa berada di rumah. Upacara pangaskaran adalah suatu upacara penyucian bagi sang roh (siwatma) orang yang meninggal, agar sang pitara terlepas dari papa klesa yang membelenggunya dan dapat kembali menyatu dengan kawitannya

 

  1. Mapegat

Proses berikutnya adalah proses ritual mapepegat. Upacara ini adalah lanjutan dari proses pengaskaran dan pamerasan. Setelah sang pitra disucikan melalui proses diksa dalam pangaskaran dan memperoleh pratisentana yang jelas dalam proses pamerasan maka berikutnya adalah adanya pemutusan ikatan badaniah antara orang yang meninggal dengan sanak keluarganya (pratisentana). Mapepegat ini hanya dilaksanakan oleh pratisentana dari yang meninggal, pratisentana nantinya akan diberikan sarana upakara berupa sasap yang diletakkan di punggung tangan lalu pratisentana akan berdiri melingkar dengan saling membelakangi lalu secara serentak melemparkan Sasap ini ke belakang sambil bersorak-sorai dengan wajah yang gembira. 

 

  1. Puncak Upacara Ngaben

Tahap puncak dari upacara kematian adalah upacara membakar jenazah atau dalam kasus pengabenan beya tanem prosesi menanam jenazah. Selepas pelaksanaan proses pengaskaraan, pemerasan dan pemegat maka jenazah yang sudah berada pada peti jenazah akan ditempatkan pada sebuah wadah pengusung berbentuk bangunan tradisional Bali yang bersifat sementara dan ringan berbentuk bebaturan dan pepalihan, di atasnya berdiri balai-balai, dirancang khusus untuk tempat janazah pada waktu akan diusung dari rumah duka menuju kuburan, wadah ini disebut juga dengan bade (Anadhi, 2016).

 

  1. Nganyut

Proses terakhir dalam upacara puncak ngaben adalah adegan puspalingga yang merupakan simbolisasi badan baru bagi orang yang telah melalui proses pengabenan akan kembali dijunjung oleh sanak keluarga dan melakukan proses prasavya sebanyak tiga kali, setelahnya adegan puspalingga akan dibawa kembali ke hadapan sang pandita selaku pemuput upacara untuk mendapatkan titha pangelepas atau tirtha pemralina dengan tujuan agar sang roh yang berada dalam adegan puspalingga tersebut kembali terbebas dari badan simboliknya, lalu badan simbolik ini akan dibawa oleh sanak keluarga menjalani proses Nganyut. Proses Nganyut sendiri adalah proses menghanyutkan badan simbolik berupa adegan puspalingga yang berisikan abu jenazah. Sesuai namanya yaitu “nganyut” prosesi ini biasanya akan dilakukan di tempat bermediakan air seperti sungai, danau, hingga laut, tergantung letak geografis pelaksanaan upacara Ngaben tersebut, jika lokasi dekat dengan sungai, maka akan ke sungai, jika dekat dengan laut, maka akan ke laut, dan seterusnya, namun perlakuan berbeda bisa saja diterapkan jika ada dresta yang berbeda. Misalnya bagi beberapa warga di daerah tertentu, akan proses nganyut yang tidak menggunakan media air, melainkan menggunakan media tanah atau prthiwi. Seperti misalnya di daerah Jimbaran, dan di daerah Abianbase Gianyar yang dilakukan oleh warga pandya bang (Ambarnuari, 2019).

 

Upakara dan Uparengga

  1. Panusangan 

Rangkaian pelaksanaan upacara ngaben didahului dengan proses memandikan mayat atau layon. Proses memandikan mayat membutuhkan sarana pepaga atau disebut pula dengan penusangan, yakni sebuah tempat yang digunakan untuk menaruh mayat yang akan dimandikan oleh sanak keluarga beserta masyarakat yang hadir di rumah duka. Panusangan dibuat oleh krama banjar yang hadir di rumah duka dengan ukuran panjang, lebarnya menyesuaikan dengan orang yang meninggal, dan tingginya disesuaikan dengan ukuran Jro bendesa (yang dituakan) seukuran dari kaki sampai dengan pusar. 

 

  1. Peti

Pada masyarakat Hindu di Bali, penggunaan peti menjadi salah satu sarana dalam pelaksanaan upacara ngaben. Peti dibuat dengan menggunakan sarana kayu dan triplek yang berbentuk kotak persegi panjang menyesuaikan dengan ukuran dari mayat yang bersangkutan. Lebar peti diukur dari lebar bahu mayat dan ditambah dua kepal tangan, sedangkan panjang peti diukur dari tinggi mayat dan ditambah empat kepal tangan. Penambahan ukuran itu agar selesai mayat dimandikan dan diberikan eteh-eteh kematian dengan digulung menggunakan tikar dan kain kafan ketika dimasukkan ke dalam peti menjadi pas.

 

  1. Tumpang salu

Sarana uparengga selain pepaga adalah tumpang salu yang digunakan setelah mayat selesai dimandikan dan selanjutnya akan diupacarai singaskara. Tumpang salu memiliki arti, yakni “tumpang” artinya tingkatan atau tingkat dan “salu” artinya tempat tidur atau tempat. Jadi tumpang salu merupakan tempat tidur yang bertingkat. Tumpang Salu adalah tempat jenasah yang secara simbolik memosisikan orang yang meninggal itu tidak lagi dibumi melainkan lebih di atas atau berada diambara, sehingga diharapkan atmanya dapat menemukan kesucian. 

 

  1. Patulangan

Dalam melaksanakan upacara pitra yajña selain banten sebagai sarana utamanya akan dibuat sarana pendukung lainnya, yakni petulangan. Petulangan berasal dari kata tulang atau galih atau jenasah yang akan diupacarai. Kata tulang mendapat awalan pe dan akhiran an, menjadi petulangan. Jadi petulangan berarti suatu alat atau tempat tulang atau jenasah pada pembakaran mayat. Petulangan sebagai tempat pembakaran mayat umumnya berbentuk binatang-binatang tertentu yang bersifat simbolis. Ada pula berbentuk peti sederhana (gerombong polos) yang diberi kaki dan ekor yang disebut petulangan bentuk tabla. Dalam keadaan darurat petulangan dibuat dari batang pisang, disusun demikian rupa, dilengkapi pula dengan bentuk kepala sehingga menyerupai bentuk binatang.

 

  1. Eteh-eteh Pangringkesan

Pada proses memandikan mayat atau layon akan diisi dengan eteh-eteh atau sarana kelengkapan yang menyimbolkan bahwa mereka yang diupacarai meninggal secara upacara. Eteh-eteh (sarana) ini diambil dari unsur alam yang mengandung makna sebagai simbolisasi pengharapan kepada mayat yang diupacarai dimana suatu ketika mereka lahir kembali membawa kesempurnaan. 

  1. Upakara (banten) inti pengabenan

Pada pelaksanaan upacara pitra yajña atau pengabenan, ada beberapa banten yang secara khusus wajib ada sehingga upakara ngaben dapat dilaksanakan. Adapun banten tersebut, yakni banten panjang ilang, bubuh pirata, dan nasi angkeb.

 

Fungsi Upacara Ngaben 

  1. Mengembalikan unsur panca maha bhuta

Prosesi kematian dalam ritual agama Hindu adalah dengan memproses tubuh melalui upacara ngaben yang bertujuan utnuk menyucikan dan mempercepat proses pengembalian unsur-unsur panca maha bhuta ke asalnya, yakni alam semesta. Di dalam Chaudaman Upanisad disebutkan bahwa Brahma hanya melahirkan jiwa yang tampak seperti api. Dari jiwa tersebut, terlahirlah langit, dari langit terlahir udara, dari udara terlahir api, dari api terlahir air, dari air terlahir bumi. Saat tubuh orang meninggal dikremasi dalam api, unsur-unsur tersebut akan kembali ke alam dari mana mereka awalnya berasal (Bhalla, 2010: 411).

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa antara unsur makrokosmos (alam) dan unsur mikrokosmos (tubuh) ada kesepadanan antara unsur-unsur yang membentuknya, yakni panca maha bhuta. Penggunaan api untuk mengembalikan panca maha bhuta ke asalnya bertalian dengan pentingnya kedudukan dewa api, yakni sebagai pembasmi segala kekotoran (Wiana, 2006: 81).

Api difungsikan sebagai penghancur dari yang berbentuk menjadi unsur yang halus, dapat pula sebagai simbol pembersihan yang terlihat dramatis. Api pembakaran jenazah secara khusus disebut dengan kravyada Agni (Titib, 2003: 170). Pada saat pengabenan atau pengabuan jenazah dalam upacara ngaben tidak saja unsur panca maha bhuta dikembalikan ke asalnya, tetapi juga menyerahkan kepada dewa-dewa yang mengaturnya.

 

  1. Melenyapkan sebel atau leteh 

Dalam perspektif budaya Bali, kematian dapat menyebabkan gangguan terhadap kesakralan, yang mereka sebut dengan cuntaka, sebel, atau leteh yang berarti terjadi desakralisasi atas berbagai aspek kehidupan manusia, baik bagi diri sendiri dan lingkungan keluarga, lingkungan rumah tangga atau keluarga tunggal dadia, bahkan bisa berlanjut pada lingkungan desa adat atau banjar adat sehingga melahirkan konsep cuntaka atau sebel desa. 

Dengan demikian kemunculan situasi leteh, sebel, atau cuntaka yang disebabkan oleh kematian pada manusia sangat berdampak besar pada lingkungan terutama pada lingkungan keluarga dan sosialnya. Terlebih lagi disebutkan dalam lontar catur cuntaka alat-alat upacara pengabenan, juga dipandang menimbulkan kecuntakan atau sebel. Demikian juga tempat layon (wadah), arang, abu, tumpang salu, dan semua perlengkapan upacara ngaben yang melekat pada jenazah seperti, rurub, kajang, rantasan, damar kurung, benang penuntunan, dan sebagainya semuanya merupakan sumber cuntaka (Majalah Sarad, 2011: 38).

Pendek kata, apapun yang terkait dengan orang mati bisa menimbulkan sebel. Kondisi sebel akan mengganggu hubungan manusia dengan alam beserta isinya, terutama hubungan mereka dengan kekuatan adi kodrati, yakni dewa-dewi atau roh suci leluhur yang mereka puja di pura. Karena mereka sebel atau cuntaka maka mereka tidak boleh masuk ke tempat suci/pura karena akan menyebabkan ke letehan pada pura tersebut. Seseorang yang masih dalam status cuntaka tidak dibenarkan melaksanakan upacara yajña. Hal ini diatur dalam lontar pretiwan yang menyatakan bahwa jika belum masa habis cuntakanya sudah menghaturkan banten ke kahyangan atau sanggah, maka akan menyebabkan para dewa melesat (pergi). Ini dipandang melanggar etika (sesana) dan karena itu dikutuk oleh bhatara kawitan (Majalah Sarad, 2011: 39). 

 

  1. Membedakan manusia dengan ciptaan lainnya

Pelaksanaan upacara ngaben sebagai proses daur hidup menjadikan posisi manusia istimewa dibandingkan mahluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Gagasan pos-strukturalisme menunjukkan bahwa struktur kognisi beroposisi biner atau dualisme yang melawan antara manusia dan binatang yang disertai dengan berbagai katagorisasi yang tidak netral melainkan bersifat ideologis. Manusia memiliki bayu, sabda, idep, mahluk yang berakal budi, berbudaya, beragama. Sedangkan binatang hanya memiliki bayu dan sabda, tidak berakal budi melainkan insting yang bertindak secara naluriah, tidak berbudaya, dan tidak beragama (Atmadja, 2015: 43). 

Gagasan ini menunjukkan bahwa manusia beroposisi biner dengan binatang. Pada lontar tattwajnana (Putrawan, 2009) yang menyatakan bahwa mahluk penghuni alam semesta adalah bertingkat. Begitu pula pada Garuda Purana yang menyatakan bahwa diantara mamalia, manusia adalah yang tertinggi kedudukannya. Ini dikarenakan sangat sulit untuk mendapatkan kelahiran sebagai manusia, manusia adalah yang tertinggi kedudukannya diantara mahluk yang berkecerdasan (Debroy dan Debroy, 2001: 96). 

Makna Upacara Ngaben 

  1. Makna Teologi 

Makna Teologis berarti makna terkait dengan ketuhanan serta hal-hal ilahinya. Merujuk pada hal tersebut maka sesungguhnya dalam proses Pengabenan dapat dilihat sebuah benang merah yang menghubungkan sarana uparengga dengan proses kepada pemaknaan yang bersifat teologis terutama pada dimensi konsepsi ketuhanan yang menjadi basis keyakinan umat Hindu di Bali. Berbeda dari agama lainnya yang cenderung memiliki satu konsespsi ketuhanan, Hinduisme merupakan sebuah keyakinan yang kompleks serta universal. Hinduisme mengandung segala macam isme yaitu animisime, dinamisme, totemisme, polyteisme, kathenoisme, monoteisme, pantheisme hingga monisme dalam pendangan yang benar, bukan pada pandangan komparasi yang yang digunakan hanya untuk mencari kebenaran sepihak yang subjektif (Donder, 2006:138). Pada tataran ini Hinduisme merupakan kebenaran objektif dan intersubjektif yang artinya Hinduisme adalah kebenaran fakta yang dapat menerima kebenaran dari manapun sepanjang tidak bertentangan dengan kesemestaan.

 

  1. Makna Soteria-Eskatologis

Makna berikutnya makna Soteria-eskatologis. Jika dipecah kata Soteria-eskatologis berasal dari dua kata yaitu Soteria yaitu ajaran tentang keselamatan manusia (Thiessen, 2010) yang merujuk pada keselamatan di dunia maupun di akhirat dan Eskatologi yang berasal dari bahasa yunani yaitu “eskatos” yang memiliki arti “yang terakhir” dalam hal ini dimaksudkan bahwa eskatologi merupakan sebuah ide-ide tentang akhir kehidupan atau akhir dunia (Blackburn, 2013). Kombinasi dua perspektif ini melahirkan sebuah konsep makna keselamatan yang melibatkan “dunia hidup” dan “dunia mati”. Banyak ide – ide yang berkembang guna menerka kondisi kehidupan setelah kematian, setiap kehidupan pasti memiliki akhir, sesuatu yang hidup, pasti akan mati meninggalkan dunia, tak terkecuali manusia. Upacara ngaben merupakan instrumen manusia dalam rangka mencapai keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini tidak dapat dilepaskan karena dalam proses ngaben diikuti oleh dua pelaku dalam dunia yang berbeda, sanak keluarga yang masih hidup dan jiwa dari orang yang meninggal tersebut.