Dokumen Uyah Amed

Uyah Amed

ASPEK SEJARAH:

Uyah Amed merupakan salah satu potensi alam yang merupakan hasil penyaringan dan pengeringan air laut menjadi butiran-butiran yang memiliki rasa asin. Memproduksi uyah atau garam merupakan suatu mata pencaharian utama maupun sampingan bagi sebagian penduduk pesisir di Bali sejak berabad-abad yang lalu. Termasuk masyarakat di Desa Purwakerti Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. Munculnya petani Garam Amed di Desa Purwakerthi memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut budayawan Karangasem, Ida Made Giur Dipta, catatan tertua tentang Uyah Amed terdapat pada Lontar Pemunder yang dibuat oleh Raja Karangasem tahun 1500 Saka atau sekitar tahun 1578 Masehi. Pemunder adalah sebuah catatan yang tertulis di atas lontar berisi keputusan raja tentang desa pakraman, tugas dan kewajiban prajuru (pengurus desa), ketentuan pajak, awig-awig (peraturan) desa, dan lain-lainnya. Saat ini lontar tersebut disimpan di Pura Dadia Pasek Aan (tempat pemujaan keluarga besar Pasek Aan) di Desa Culik Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. Pada masa kekuasaan Kerajaan Karangasem, hasil produksi Uyah Amed digunakan sebagai upeti (pembayaran pajak) maupun oleh-oleh kepada Raja Karangasem. Di samping itu, Uyah Amed juga memiliki nilai tukar yang setara dengan nilai beras, sehingga dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam aktivitas barter.

Ciri khas Uyah Amed tampak dari proses pembuatan dan peralatan yang digunakan dalam produksi Uyah Amed. Proses produksi Uyah Amed merupakan bentuk warisan pengetahuan dan teknologi tradisional masyarakat yang telah diwariskan secara turun-temurun yang dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungan sehingga cita rasa garam yang dihasilkan memiliki ciri khas. 

Misalnya pemakaian tanah sari (tanah berwarna kekuningan yang terdapat di sekitar wilayah Pantai Amed) diyakini memberi rasa asin yang cenderung gurih dengan tidak ada sensasi rasa pahit. Warna Uyah Amed cenderung kekuningan dengan butiran-butiran yang relatif halus. 

Cita rasa yang gurih dan tidak pahit menjadikan Uyah Amed sebagai salah satu produksi garam unggulan di wilayah Kabupaten Karangasem. Kekhasan produksi Uyah Amed mengantarkannya menjadi komoditas yang telah dikenal pangsa pasar nasional dan internasional. Dalam lingkup nasional Uyah Amed telah menjadi bumbu dapur untuk restoran, hotel, bakery (perusahaan roti dan kue) di Denpasar, Kuta, Yogjakarta, dan Jakarta. Sedangkan pangsa pasar international menjadikan Uyah Amed sebagai gourmet salt (garam penyedap) sehingga hasil produksi Uyah Amed ke negara-negara asing seperti Singapura, Swiss, dan Perancis. 

Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan Uyah Amed terdiri atas; 

  1. Tanah petak adalah tanah yang dipersiapkan menjadi ladang garam, sebelumnya tanah dibersihkan dari kotoran seperti plastik atau pun zat-zat berbahaya lainnya. Tanah dibersihkan dengan cara diayak. 
  2. Teku atau timba adalah alat untuk mengangkat air laut ke petak tanah yang telah dipersiapkan menjadi lahan garam. Teku terbuat dari daun lontar masa pakai sangat singkat. Oleh karenanya sejak tahun 1980-an, timba mulai dibuat dengan bahan seng dengan bentuk hampir sama dengan timba berbahan daun lontar. Sejak tahun 2011 barulah digunakan pompa untuk membawa air ke lahan. 
  3. Gau atau garu adalah sebuah alat pertanian dengan pegangan panjang dan ujung berbentuk garpu. Digunakan untuk meratakan permukaan tanah serta mengaduk tanah yang sudah disiram dengan air laut supaya tanah bisa kering sempurna.
  4. Angkup, alat untuk memasukkan tanah ke tinjungan. 
  5. Tinjungan atau tinjung adalah sebuah alat filter air garam yang terbuat dari bambu yang dibentuk seperti kerucut yang dibalik. Di dalamnya dilapisi serabut kelapa, batu, pasir dan terpal untuk menyaring air garam. Hasil dari saringan ini masuk ke dalam penampungan air di bawahnya. Tinjungan biasanya diganti setiap 5-6 tahun sekali. 
  6. Penyusuan adalah tempat penampungan yeh nyah yang terbuat dari pangkal pohon ntal (lontar) yang ukurannya besar. Namun perkembangan saat ini penyusuan dibuat secara permanen
  7. Sibuh adalah sebuah alat seperti gayung yang digunakan untuk memindahkan yeh nyah ke palungan. Sibuh ini dibuat dengan ukuran berbeda disesuaikan dengan keadaan cuaca, yakni sibuh ukuran besar digunakan menuang yeh nyah ketika panas sangat terik karena yeh nyah akan cepat mengering.
  8. Palungan adalah batang pohon kelapa yang dibelah menjadi dua dengan panjang 2 (dua) meter dan dikeruk supaya berlubang. Kemudian batang kelapa ini dibuat lubang untuk menampung air garam
  9. Gaangan ini juga berfungsi untuk meniriskan air dari kristal garam yang baru dipanen.

    Proses pembuatan Uyah Amed terdiri atas tahapan-tahapan sebagai berikut. 

    • Penyiapan Lahan Petak. Tanah di Amed mengandung zat garam dan disebut juga tanah sari. Lahan disiapkan sebagai pesasahan yang dibagi menjadi petak-petak dengan luas yang sama. Setiap 4 (empat) petak tanah akan dikelola oleh 1 (satu) orang petani garam, dengan kisaran luas 200 m². 
    • Penyiraman Air Laut. Lahan yang sudah disiapkan dalam petak-petak tanah selanjutnya akan melalui proses awal yaitu dengan menyiramkan air laut ke tanah petak sebanyak 20-50 timba ke tanah sari di pesasahan dengan tujuan agar tanah mengandung kristal garam.
    • Mengeringkan Tanah. Setelah petak lahan disiram dengan air laut, selanjutnya para petani garam menunggu sampai tanah tersebut kering. Supaya tanah bisa kering sempurna sesekali tanah yang sudah setengah mengering diaduk atau dibolak-balik dengan gau agar bisa kering merata dan sempurna. Biasanya tanah akan mulai kering pada siang hari sekitar pukul 12.00 – 13.00 Wita. 
    • Memasukkan Tanah ke Tinjung. Tinjungan dibuat di awal masa persiapan dan diletakkan

    di tengah-tengah, di antara 4 petak lahan garam. Tanah sari yang sudah mengandung kristal garam yang sudah melalui proses penyiraman air laut, setelah benar-benar kering kemudian dimasukkan/dinaikkan ke tinjungan. Sebelumnya tinjungan sudah diisi dengan filter atau penyaring alami seperti serabut kelapa, batu, dan pasir agar air laut bisa menetes ke tempat penampungan. Tanah yang dimasukkan adalah tanah yang diambil dari petak pertama. Untuk petak tanah yang lain akan dimasukkan keesokan harinya secara bergilir setiap hari. Setelah semua tanah berada dalam tinjungan, dilanjutkan dengan proses pemadatan yaitu demgan cara menginjak-injak tanah dengan pola tertentu supaya tanah benar-benar padat

  10. Pengerikan untuk mengumpulkan kristal garam yang sudah siap dipanen. Petani garam akan menggunakan alat tradisional yang dirancang sedemikian rupa agar bisa menjangkau sepanjang palung (± 2 meter).

    • Penyiraman Air Laut ke Tinjungan. Tanah yang sudah mengandung kristal garam yang sudah dimasukkan ke tinjungan dan sudah dipadatkan selanjutnya akan dituangi air laut sebanyak 10 sampai dengan 12 timba. Penyiraman air laut ini biasanya dilaksanakan pada siang hari. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan yeh nyah yang berkualitas baik. Tinjungan yang sudah berisi air akan dibiarkan meresap sampai keesokan paginya.
    • Penampungan Yeh Nyah. Setiap tinjungan memiliki semacam tampungan air yang memiliki takaran sesuai dengan palungan yang disebut penyusuan. Air yang mengalir dari resapan tinjungan yang sudah mengandung kristal garam atau disebut yeh nyah akan dialirkan ke dalam penyusuan. Yeh nyah ini akan mengalir dari tinjungan dari usai disiram air laut sampai keesokan paginya.
      1. Pengembalian Tanah ke Petak Lahan. Pada pagi hari tanah yang terdapat di dalam tinjungan sudah sedikit mengering karena air sudah meresap dan mengalir ke penyusuan (penampungan). Kemudian tanah tersebut akan dikembalikan ke petak lahan asalnya. Proses selanjutnya akan berlangsung sesuai dengan tahapan-tahapan dari awal yaitu penyiraman air laut dan seterusnya.
      2. Pembentukan Kristal Garam. Yeh nyah yang tertampung akan diaduk dan dituangkan ke dalam palungan menggunakan sibuh ke masing-masing palungan. Menuangkan yeh nyah ke palungan juga mengamati cuaca, apabila terik matahari bagus maka yeh nyah akan dituangkan dalam sibuh ukuran lebih besar, sebaliknya apabila cuaca mendung maka akan digunakan takaran sibuh yang lebih kecil.
      3. Memanen Kristal Garam. Kristal garam yang sudah terbentuk di palungan selanjutnya dipanen pada sore hari setiap 4 hari. Kristal garam yang ada di palungan akan dipanen menggunakan alat panen khusus disebut pengerikan. Kristal garam dikeruk dan ditempatkan di wadah khusus disebut gaangan.
      4. Mengumpulkan Garam ke Gudang Produksi. Setelah dipanen, garam dimasukkan ke dalam karung dan dikumpulkan di gudang produksi kemudian diisi kode petani serta kode produksi guna menjaga quality control ketika terdapat permasalahan pada garam yang diproduksi. Di gudang produksi garam diberi kode keterunutan (first in, first out), panen yang pertama datang, maka hasil panen itu yang akan diproses pertama. 
      5. Pengeringan Garam. Garam yang sudah masuk ke dalam gudang kemudian dikeringkan di sebuah ruang khusus terbuat dari plastik transparan. Pengeringan dilakukan karena garam hasil panen biasanya masih dalam keadaan basah sehingga perlu untuk dikeringkan secara menyeluruh.
      6. Sortasi (Proses Sortir Garam). Setelah dikeringkan, maka garam akan masuk diproses sortasi. Proses sortir ini dilakukan secara manual, garam dibersihkan lagi dari zat yang pengganggu seperti pasir, pasir, dan serat kelapa. Petugas sortir Uyah Amed berjumlah enam orang dengan sistem upah sesuai jumlah garam yang berhasil disortir. 
      7. Kemasan. Pemberian kemasan dilakukan sesuai pesanan, ada yang berupa karung bila  dijual secara grosir ada pula yang menggunakan kemasan khusus. Beberapa jenis kemasan Garam Amed yang ada saat ini yakni; glass jar 80 gr, carton can 150 gr, keben, kemasan pouch 500 gr, kemasan plastik 100 gr.

      Dalam kehidupan sehari-hari uyah atau garam memiliki berbagai ragam manfaat. Dalam hal ini Uyah Amed berfungsi sebagai penyedap makanan, bahan obat, sarana upacara, penolak ilmu hitam, pengusir binatang, pengawet bahan makanan, bahan pelengkap dalam industri kerajinan perak, serta bahan perawatan tubuh. Sebagai bahan perawatan tubuh, Uyah Amed dapat digunakan sebagai garam mandi, mengatasi jerawat, menyembuhkan luka, mencegah ketombe, menjaga kesehatan gigi dan mulut. 

      Nilai budaya ataupun makna yang terkandung dalam Uyah Amed meliputi:

      • Makna ekonomi. Uyah Amed memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan jenis garam lainnya dikarenakan rasa khas yang dimiliki yakni gurih dan tidak pahit. Hal ini sangat berdampak kepada masyarakat setempat khususnya para petani garam yang juga bisa meningkatkan taraf kehidupan dari hasil bertani garam. 
      • Makna ilmu pengetahuan. Pada proses pembuatan Uyah Amed menggunakan dan menerapkan cara pengolahan yang telah diwariskan secara turun temurun dengan pengetahuan dan teknologi tradisional, seperti pemakaian tanah sari, Tinjungan, dan Palungan. 
      • Makna gotong royong. Di dalam pembuatan dan pengolahan Uyah Amed, juga dapat ditemui nilai gotong royong antara petani garam dan juga petani garam dengan Koperasi MPIG Garam Amed. Pada satu petak tanah akan dikerjakan oleh 4-5 petani garam yang bekerjasama, demikian juga petani garam yang menjual hasil garamnya kepada Koperasi MPIG Garam Amed yang selanjutnya dikelola dan dikemas serta dipasarkan oleh Koperasi.
      • Makna pelestarian lingkungan. Masyarakat setempat khususnya para petani garam mempercayai bahwa garam yang bagus berasal dari air laut yang jernih sehingga mereka selalu menjaga kelestarian lingkungan alam sekitar agar tidak membuang limbah ke laut.  
      • Makna Kesehatan. Penggunaan tasik atau uyah seringkali disertakan dalam proses pembuatan obat, baik sebagai campuran boreh (obat luar berupa tumbuh-tumbuhan yang digerus atau dipipis di atas batu ulekan) maupun campuran dalam pembuatan loloh (obat minum sejenis jamu yang terbuat dari saripati tumbuh-tumbuhan). Penggunaannya dapat dilakukan dengan cara dimakan, diminum, tutuh (dimasukkan melalui hidung ataupun mata), simbuh (disembur), boreh (dibalur), maupun templek (ditempelkan). 
      • Makna Religi. Penggunaan uyah atau tasik (garam dalam Bahasa Bali Alus), wajib ada dalam sarana upacara tertentu, seperti banten soda rayunan dan segehan. 
      • Makna Magis. Uyah (garam) diyakini memiliki kemampuan berbeda dalam mengusir kekuatan jahat dan menolak berbagai macam penyakit yang tertulis dalam Lontar Usada, menyebutkan bahwa uyah atau garam merupakan salah satu sarana penting dalam memusnahkan kekuatan gaib.

      Hasil produksi Uyah Amed merupakan bentuk ekspresi keterampilan teknologi tradisional yang telah diwariskan secara turun temurun yang memiliki ciri khas tersendiri baik dari segi proses produksi, peralatan yang digunakan, maupun rasa. Sistem pewarisan teknologi tradisional Uyah Amed berlangsung secara otodidak. Petani Uyah Amed mengajarkan cara mengolah air laut menjadi garam dengan melibatkan anak-anak berpartisipasi membantu orang tuanya membuat garam. 

      Kualitas produksi sangat dipengaruhi oleh cuaca dan pasang surut air laut yang memberikan ciri khas pada produksi Uyah Amed, seperti:

      • Hasil produksi garam yang memiliki rasa gurih dan tidak terasa pahit, yang dipengaruhi oleh keadaan air laut yang bersih, kandungan tanah, dan mineral alami yang terkandung pada tanah disana.
      • Tekstur halus dengan warna garam yang sedikit kuning karena pemakaian tanah sari sebagai media penyaring.
      • Uyah Amed merupakan garam laut murni tanpa penambahan bahan-bahan kimia yang diproses dengan menggunakan peralatan tradisional
      • memiliki kandungan iodium paling tinggi diantara produksi garam di Bali meskipun tanpa penambahan zat-zat lain.

      Kekhasan hasil produksi yang dihasilkan tidak terlepas dari proses pembuatan Uyah Amed itu sendiri yang membedakan dengan produksi garam di tempat lain, seperti: 

      • Media.

      Pada proses pembuatan Uyah Amed menggunakan media berupa tanah sari sebagai media penyaring yeh nyah (air garam) di dalam tinjungan yang diambil dari tegalan di kawasan tersebut. Sedangkan pada daerah lain (Uyah Kusamba) menggunakan media berupa pasir. Media penyaringan akan berpengaruh kepada warna kristal garam yang dihasilkan, Uyah Amed dengan media tanah sari memiliki warna yang agak kuning sedangkan media pasir akan menghasilkan garam dengan warna yang lebih putih.

      • Tinjungan (alat penyaring air garam). 

      Dalam penyaringan yeh nyah (air garam) pada proses pembuatan Uyah Amed menggunakan tinjungan, sedangkan di daerah lain (Kusamba) memakai belong (kayu besar yang dilubangi untuk menyimpan air garam.

      • Palungan.

      Palungan yang digunakan berasal daribatang pohon kelapa yang dibelah menjadi dua dan dibuat seperti ceruk untuk menjemur air garam, pada Uyah Amed palungan dari pohon kelapa langsung dituangkan air garam, sedangkan pada daerah lain sebelum dituangkan air garam akan dilapisi dengan perlak dari bahan plastik dengan tujuan untuk mempermudah panen.

      • Hasil produksi.

      Selain garam/Uyah Amed juga dikembangkan berupa bunga garam yaitu kristal-kristal garam yang bentuknya lebih kasar dari garam berwarna putih mengkilat yang dihasilkan dari air permukaan dalam palungan yang dikristalkan diluar palungan yang pengolahannya dilakukan dengan teknik khas produksi Garam Amed Bali. Sedangkan daerah lain (Kusamba) hanya menghasilkan garam.

      • Uyah Amed sudah mendapat sertifikat Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed, sedangkan garam lainnya belum memiliki.

        Kekhasan produksi Uyah Amed diatas akan berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan juga memberikan ciri khas yang membedakan dengan produksi garam di tempat lain, diantaranya:

        • Jika dibandingkan dengan garam ditempat lain Uyah Amed memiliki rasa garam yang gurih dan tidak pahit karena kandungan air laut yang jernih dan tanah sari sebagai medianya.
        • Uyah Amed memiliki tekstur halus dengan warna agak kuning karena menggunakan media tanah sari, sedangkan garam ditempat lain memiliki warna yang lebih putih karena menggunakan media pasir.
        • Uyah Amed selain serbuk garam juga dibuat dalam kristal garam, sementara garam di tempat lain hanya berupa serbuk garam.